Proyek Kereta Cepat, Tuntunan Arah Kebijakan Ekonomi Jokowi

Proyek ini sangat penting bagi Presiden Jokowi, karena menjadi lambang kemajuan Indonesia.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 15 Agu 2015, 23:54 WIB
Diterbitkan 15 Agu 2015, 23:54 WIB
Jokowi Temukan Ketidakefisienan Senilai Rp 780 Triliun di Tanjung Priok
Presiden Jokowi memantau Ruang Pemantauan Ekspor Impor di Indonesia Port Corporation (IPC) Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (17/6/2015). Jokowi mencatat ada ketidakefisienan mencapai Rp 780 T dalam pengelolaan pelabuhan tersebut. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi berencana membangun jalur kereta super cepat yang membentang dari Jakarta ke Bandung, dengan total jarak sekitar 150 km. Proyek ini akan memperpendek waktu perjalanan 2-3 jam lewat jalan tol, menjadi 36 menit dengan kereta api kecepatan tinggi ini.

Untuk memulai proyek itu, pemerintah dihadapkan dengan dinamika panjang, persaingan antara China dan Jepang untuk membangun kereta api super cepat.

Terkait hal tersebut, sastrawan yang juga ilmuwan politik senior, Mochtar Pabottingi mengatakan arah pembangunan Indonesia bisa terlihat dari proyek tersebut. Apakah akan ke China atau Jepang?

"Ini diuji melalui proyek kereta super cepat. Ini bisa pembuktian ke mana arah kebijakan ekonomi kita. Apakah ke China atau Jepang? Meski pun memang ada rekan ekonomi lama Indonesia yang tidak bisa dihilangkan, Amerika (AS)," ujar Mochtar di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (16/5/2015).

Ketua Populi Center Nico Harjanto menilai, proyek ini sangat penting bagi Presiden Jokowi, karena menjadi lambang kemajuan Indonesia.

"Ini penting bagi Presiden Jokowi. Di mana kereta cepat ini sebagai perwujudan kemajuan Indonesia. Sama halnya saat Indonesia membangun Tol Jagorawi. Pembangunan tol itu kan sempat dijadikan contoh oleh Malaysia dan Singapura," tegas Nico.

Dia pun menyarankan agar Presiden Jokowi bisa merangkul China dan Jepang, harus ada langkah antisipasi dalam mengajak kerja sama untuk pembangunan proyek itu.

"Misalnya Indonesia memilih China, tetapi nanti ada yang diambil dari Jepang juga. Ini bermanfaat bagi pemerintah nantinya," pungkas Nico. (Bob/Rmn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya