Para 'Penghina Presiden'

Sejumlah pihak menentang kembalinya pasal penghinaan terhadap presiden. Termasuk mereka yang pernah jadi korban.

oleh SunariyahSugeng TrionoDewi DiviantaFX. Richo Pramono diperbarui 17 Agu 2015, 22:34 WIB
Diterbitkan 17 Agu 2015, 22:34 WIB
Ilustrasi penghinaan
Ilustrasi

Liputan6.com, Jakarta - Siang itu matahari sangat terik. Panasnya menyengat hingga membuat kulit terasa terbakar. Namun, hal ini tak meruntuhkan semangat anak-anak muda untuk menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Dari balik corong mikrofon, seorang pemuda terus berteriak mengritik kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dianggap tidak pro-rakyat.  

Selang berapa lama, mereka sampai di rumah anggota dewan, Gedung DPRD Bali. I Wayan Suardana, pemuda yang memimpin demonstrasi berorasi dengan lantang. Pria yang karib disapa Gendo itu menceritakan, demonstrasi berawal dari janji Presiden SBY untuk tidak menaikkan harga BBM pada 100 hari pemerintahannya. 

"Pada 2004 akhir, bersamaan dengan tsunami Aceh, paginya kita (Gerakan Frontier), aksi ke DPRD Bali," kata Gendo mengenang aksinya memimpin demonstrasi kepada Liputan6.com di Denpasar, Minggu 16 Agustus 2015.

Tuntutan yang disampaikan Gendo dan kawan-kawannya kala itu ada beberapa hal. Di antaranya menolak kenaikan harga BBM, rasionalisasi harga kenaikan BBM, dan beberapa tuntutan lainnya. "Yang paling mendasar kala itu adalah janji SBY yang menyatakan, dalam 100 hari pemerintahannya dia tidak akan menaikkan BBM. Ini belum 100 hari sudah menaikkan BBM," papar dia. 

Dalam aksinya, Gendo tidak hanya berorasi. Tapi juga melakukan teatrikal. Aktivis Frontier yang berbasis di Kampus Universitas Udayana membawa gambar SBY yang sudah dicorat-coret. Di antaranya gambar SBY yang menaikkan BBM dan disimbolkan sebagai drakula penghisap rakyat. 

Poster SBY itu dipegang ujungnya. Korek dinyalakan. Poster Presiden keenam itu pun terbakar, menyisakan ujung poster yang dipegang Gendo. 

Gendo tidak khawatir sedikitpun atas aksinya itu. Apalagi setelah aksi tersebut, kata pria yang kini berprofesi sebagai advokat, tidak ada peristiwa apapun.

"Setelah membakar itu tidak di tangkap langsung, tidak dibubarkan, hanya sisa gambarnya diambil oleh pihak kepolisian. Kita bubar baik-baik dan pulang,” ungkap mantan aktivis 98 itu. 

Beberapa hari setelah itu, masalah akhirnya datang. Polisi mengeluarkan surat penangkapan terhadap dirinya. Pria yang kini getol menolak reklamasi Teluk Benoa itu ditangkap di Sekretariat Frontier. 

Penangkapan Gendo memantik keprihatinan nasional. Sejumlah tokoh datang membesuk Gendo yang ditahan di LP Kelas IIA Kerobokan, Denpasar. "Di antaranya Faisal Basri, Adnan Buyung Nasution, Sri Bintang Pamungkas dan beberapa lainnya. Banyak kok yang datang besuk," tutur dia.

Gendo divonis enam bulan penjara atas tindakannya tersebut.

Tidak hanya Gendo, beberapa orang lainnya juga pernah terjerat pasal penghinaan presiden dan mendekam di penjara.

Pada 6 September 2002, Muzakir alias Aceh, dan Nanang Mamija dijerat Pasal 143 dan 147 karena menginjak gambar Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz.

Kemudian pada medio Januari 2003 atau 5 tahun usai reformasi, Ketua Gerakan Pemuda Islam (GPI) M Iqbal Siregar harus mendekam 5 bulan di penjara setelah demonstrasi dan berorasi di Istana Merdeka. Saat itu masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz.

Kemudian ada Supratman, redaktur harian nasional Rakyat Merdeka (RM) yang dibui selama 6 bulan dan dihukum masa percobaan 12 bulan.

Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, selain Gendo, Presidium Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia Monang J Tambunan, juga pernah dipenjara selama 6 bulan. Gara-garanya dia sengaja menghina Presiden SBY di depan umum pada Mei 2005. Dia akhirnya dijerat Pasal 310 KUHP.

Pada November 2005, Herman Saksono juga dijerat pasal penghinaan presiden setelah dia iseng mengutak-atik foto mirip artis Mayangsari dan Bambang Triatmojo dengan wajah Presiden SBY. Beruntung, Herman tidak dibui.

Seorang pengacara juga pernah dijerat pasal ini, yakni Eggy Sudjana. Eggy harus duduk sebagai pesakitan di ruang sidang pada Februari 2007 dan divonis 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan, gara-gara memberi pernyataan di KPK mengenai rumor bagi-bagi mobil Jaguar oleh seorang pengusaha kepada Presiden SBY dan sejumlah pembantunya saat itu.

Pada pemerintahan Presiden Jokowi, seorang pemuda bernama M Arsad, pada Oktober 204 dijerat Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal 156 dan 157 KUHP, Pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena membuli Presiden Joko Widodo melalui meme-meme berbau pornografi  di facebook milikinya. Ia tak dijeral pasal penghinaan presiden.

Beruntung pemuda yang bekerja sebagai tukang tusuk sate itu tidak mendekam di penjara karena akhirnya diampuni oleh Presiden Jokowi.

Kecuali Gus Dur

Saat pasal penghinaan presiden menjerat Eggy Sudjana, pengacara itu tidak terima begitu saja. Bahkan Eggy saat itu menyebut pasal yang menjeratnya adalah pasal hantu. Sebab, pasal itu telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi namun vonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat masih berdasarkan pasal tersebut.

Hakim yang mengadili Eggy saat itu mengatakan, vonis tersebut dijatuhkan karena putusan MK tak berlaku surut.

Pasal penghinaan presiden yang terdiri dari Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP sebelumnya diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji oleh  Eggy Sudjana dan 1 korban lainnya yakni Pandapotan Lubis.

Melalui pembahasan alot dan voting yang ketat, pada Rabu 6 Desember 2006, pasal-pasal yang selama ini selalu dipakai untuk menjerat para demonstran akhirnya dicabut oleh MK.

Majelis hakim konstitusi menilai pasal tersebut dapat menimbulkan ketidak pastian hukum karena sangat rentan menimbulkan multitafsir. Pasal itu juga dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahkan dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi seperti dijamin dalam Pasal 28F.

Hakim Mahkamah Konstitusi juga menilai keberadaan 3 pasal KUHP tersebut dapat menghambat proses ketatanegaraan.

Pasal ini sendiri dengan mudah dipakai oleh polisi atau orang lain meski orang yang dihina tidak membuat pengaduan. Ini karena Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP memang bukan delik aduan. Dengan dicabutnya 3 pasal tersebut, apakah berarti sudah bisa menghina presiden?

Kenyataannya tidak juga. Masih ada pasal lain yang digunakan untuk menjerat pelaku. Seperti kasus yang menimpa M Arsad. Pemuda yang dilaporkan oleh tim kuasa hukum Jokowi ke polisi, bukan oleh Jokowi, dijerat menggunakan Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal 156 dan 157 KUHP, dan Pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 UU ITE.

Kini, pasal-pasal yang sebelumnya telah dicabut MK kini hendak diaktifkan kembali. Pasal-pasal itu tercantum dalam draft RUU KUHP yang sudah diajukan ke Komisi III DPR untuk dibahas.

Gendo tentu saja menolak keras. "RUU ini bahaya untuk masa depan. Pertama, dia sudah dinyatakan inkonstusional oleh pengadilan Mahkamah Konstitusi tahun 2006," kata dia.  

Dalam konteks politik hukum, kata Gendo, pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP itu justru selaras kalau dikembalikan seperti saat ini. "Maksudnya, dia bukan lagi delik biasa. Dia harus delik aduan, sehingga dia masuk di Pasal 310 KUHP, sudah cukup," tegas Gendo.  

Karena itu, Gendo berharap agar Pemerintahan Jokowi tidak lagi menghidupkan pasal yang sudah mati itu. Penolakan juga dilontarkan Eggy Sudjana. Eggy menegaskan, rencana pemerintah menghidupkan kembali pasal yang pernah dihapus oleh MK bertentangan dengan semangat demokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan sejak zaman penjajahan.

 "Mengembalikan pasal penghinaan ini berarti menghidupkan kembali alam penjajahan. Setelah merdeka 70 tahun kok kita mau kembali dijajah?" ujar Eggy. 

Munculnya penolakan ini membuat Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly angkat bicara. Dia mengatakan, pasal penghinaan presiden telah dimasukkan dalam RUU KUHP untuk direvisi sejak pemerintahan SBY."Ini pasal sudah ada sebelumnya pada pemerintahan yang lalu. Ini belum sempat dibahas tapi sudah ada sejak dulu. Belum sempat dibahas," ujar Yasonna H Laoly di kantornya, Jakarta, Senin 10 Agustus 2015.

Karena itu Yasonna meminta masyarakat untuk tidak langsung menilai jika pasal penghinaan presiden yang pernah dihapus MK ini sedang coba dihidupkan kembali oleh pemerintahan Jokowi."Jangan ada kesan seolah-olah ini pemerintah mengajukan kembali pasal itu agar hidup," ucap Yasonna. (Sun/Ali)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya