Fahri Hamzah: Gaduh Tak Bisa Jadi Dasar Buwas Diganti

Pemerintah yang seakan-akan membiarkan. Terlebih, kasus yang didalami Budi Waseso berawal dari keluhan Presiden Jokowi soal dwelling time.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 04 Sep 2015, 13:03 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2015, 13:03 WIB
20150903-Budi Waseso-Jakarta
Kepala Kabareskrim Polri, Komjen Budi Waseso saat mengisi acara di Liputan 6, Jakarta, Rabu (3/9/2015). Budi mengaku belum mendapatkan panggilan dari istana terkait dengan isu pencopotannya. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai kegaduhan yang disebabkan Komjen Budi Waseso atau Buwas, tak bisa jadi alasan pencopotannya sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal. Lagipula, lanjut dia, langkah yang dilakukan Buwas merupakan keinginan DPR untuk menjadikan polisi sebagai garda pemberantasan korupsi.

"‎Kita sayangkan pemerintah tak ada observasi komprehensif soal pemberantasan korupsi dan cara menanganinya. Kalau Buwas timbulkan keributan, itu bukan dasar hukum. Semua enggak bisa diberhentikan kalau dasarnya ribut," kata Fahri Hamzah, di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (4/9/2015).

‎Selama ini, pemain utama dalam pemberantasan korupsi adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, DPR menilai KPK sebaiknya menjadi pemain cadangan dan polisi yang berada di depan.

"Buwas itu lakukan terobosan yang kita ingin polisi lakukan itu. Polisi jadi institusi inti pemberantasan korupsi agar yang lembaga semi tidak dominan. KPK itu pemain cadangan," tegas Fahri.

Politisi PKS ini juga menyesalkan sikap pemerintah yang seakan-akan membiarkan. Terlebih, kasus yang didalami Buwas berawal dari keluhan Presiden Jokowi soal dwelling time.

"Kan dia yang ngeluh dwelling time. Begitu dikerjain, kena kaki orang besar, dia berhenti. Yang ngeluh presiden, bukan pedagang, begitu ditelusuri dan banyak masalah, kenapa berhenti?" tutur Fahri.

Intervensi

Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK sempat menelpon Komjen Pol Budi Waseso, saat masih menjabat Kabareskrim Polri, pasca-penggeledahan Dirut PT Pelindo II. Fahri pun menilai hal tersebut sebagai bentuk intervensi.

"Kalau itu yang dilakukan, tidak merupakan keputusan atas kesadaran institusi Kepolisian. Bisa dibilang intervensi," kata Fahri.

Fahri mengatakan, 'kegaduhan' yang disebabkan Buwas tak bisa jadi alasan penggeseran jabatan. Lagipula, langkah yang dilakukan jenderal bintang 3 itu merupakan keinginan DPR, bahwa polisi menjadi garda pemberantasan korupsi.

"‎Kita sayangkan pemerintah tak ada observasi komprehensif soal pemberantasan korupsi dan cara menanganinya. Kalau Buwas timbulkan keributan, itu bukan dasar hukum. Semua enggak bisa diberhentikan kalau dasarnya ribut," kata ‎politisi Partai Gerindra itu.

Saat dikonfirmasi pada Kamis 3 September kemarin, ‎JK membenarkan dirinya telah menelpon Buwas, saat pertama kali terjadi polemik penggeledahan Kantor Dirut Pelindo II RJ Lino‎. Hal itu dilakukan sekembalinya dari Korea Selatan.

"Saya telepon waktu saya di Seoul (Korea Selatan), apa yang terjadi, dijelaskanlah apa yang terjadi," ujar JK.

Berdasar Telegram Rahasia (TR) dengan nomor ST/1847/IX/2015, Buwas dimutasi sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional. Telegram tersebut berisi Keputusan Kapolri Nomor: KEP/763/IX/2015 TGL 3-9-2015 tentang pemberhentian dari dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan Polri. (Bob)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya