Liputan6.com, Jakarta - Kemunculan rombongan Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam acara kampanye bakal calon Presiden Amerika Serikat Donald Trump berbuntut panjang. Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR memutuskan memproses rombongan tersebut karena diduga melanggar kode etik.
Rombongan DPR bertemu dengan Donald Trump di Trump Tower, New York, Amerika Serikat pada Kamis 3 September 2015. Dalam rombongan itu, ikut serta Ketua DPR Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin, Wakil Ketua Komisi VII Satya Yudha, dan utusan Presiden Eddy Pratomo.
Baca Juga
Rocky Gerung Tantang Fadli Zon Datang ke Komunitas Seni untuk Perdebatkan Lukisan Yos Suprapto yang Batal Dipamerkan
Menteri Kebudayaan Fadli Zon Dukung Kegiatan Tribute Musisi 1960-an, Hormati Legenda Musik Indonesia
Fadli Zon Bantah Ada Pembredelan di Pembatalan Pameran Tunggal Yos Suprapto: Kami Tidak Ingin Membatasi Kebebasan Berekspresi
"Proses yang ada di MKD ini ada 2 yaitu pengaduan dan tanpa pengaduan. Kami di rapat ini sudah memutuskan ini akan ditindaklanjuti tanpa pengaduan," kata anggota MKD Sarifudin Sudding usai rapat internal MKD di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (7/9/2015).
Advertisement
Sebanyak 7 anggota dewan juga melaporkan rombongan tersebut ke MKD. Salah satunya anggota Fraksi PDIP Charles Honoris dan Anggota Fraksi PKB, Maman Imanulhaq.
Charles mengatakan, apabila nantinya laporan ini diterima, anggota Komisi I DPR ini mendesak agar Novanto dan Fadli mau meninggalkan jabatannya sementara waktu sampai proses di MKD selesai.
"Harusnya mereka sadar diri untuk non-aktif sampai MKD selesai," ujar Charles.
Sudding menjelaskan, laporan tersebut nantinya akan menjadi bahan yang menguatkan, apakah kedua Pimpinan DPR itu benar melanggar kode etik anggota dewan atau tidak.
"Bahwa kemudian ada yang ingin menyampaikan aduan ini untuk menguatkan aduan ke MKD. Yang melaporkan ini akan menjadi saksi," ujar Sudding.
Anggota Komisi III DPR ini menyatakan, bila terbukti melakukan pelanggaran ringan akan mendapat teguran. Pelanggaran sedang akan dihilangkan dari susunan kepemimpinan DPR dan jika terbukti melakukan pelanggaran berat maka akan di pecat.
"Ada 3 kualifikasi sanksi. Tergantung dari keputusan MKD. Apakah nanti masuk dalam kualifikasi pelanggaran yang mana. Apakah ringan, sedang berat," tandas Suding.
Petisi Pencopotan
Kehadiran Setya dan Fadli di dalam kampanye Donald juga memunculkan sebuah petisi di laman Change.org. Petisi tersebut meminta Mahkamah Kehormatan DPR mencopot Setya Novanto dan Fadli Zon sebagai pimpinan DPR.
Pada pukul 11.50 WIB, Senin 7 September 2015, petisi ini sudah mendapat dukungan dari 1.180 orang. Sang pencetus, A Setiawan Abadi mengunggah petisi tersebut Minggu 6 September 2015 dengan judul "Mempetisi Mahkamah Kehormatan DPR RI Mencopot jabatan Ketua DPR RI Setya Novanto dan Wakil Ketua Fadli Zon."
Dia juga menyertakan video kampanye Donlad Trump. Menurut dia, kehadiran dan pernyataan 2 tokoh itu dalam kampaye Donald Trump telah melanggar prinsip bebas aktif dari UUD 1945 dan merendahkan Bangsa Indonesia.
Sejumlah pendukung petisi ini pun setuju dengan pernyataan A Setiawan Abadi. Salah satunya, Yohannes yang mengimbuhkan alasan menandatangani petisi itu dengan kata, "Memalukan."
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok enggan menanggapi peristiwa tersebut. Eks politikus Partai Gerindra itu mempersilakan untuk menanyakan langsung kepada yang bersangkutan.
"Tanya sama mereka deh, saya kan bukan anggota DPR," ujar Ahok di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu 6 September 2015.
Pihak Istana juga membantah kedatangan Eddy Pratomo sebagai utusan presiden. Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Teten Masduki mengakui kalau ‎utusan khusus presiden bidang kemaritiman itu pergi ke AS untuk memberi nasihat kepada delegasi DPR soal batas wilayah Indonesia-Malaysia.
"Itu bisa dipastikan urusan pribadi. Itu (sebagai utusan presiden) kan masalah Malaysia, enggak ada urusan dengan Donald Trump," ujar Teten di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat.
‎Ia menegaskan, Istana tidak pernah mengutus Eddy untuk ikut bersama para pimpinan dewan bertemu dengan Donald Trump.
Ketua Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas menilai, publik dinilai wajar mempermasalahkan kemunculan rombongan Ketua DPR periode 2014-2019 itu.
"Pandangan publik menilai tidak pas. Publik menilai tidak tepat dan tidak pantas. Pandangan kami di DPRÂ keluar negeri itu pasti ada reasoning (alasan)," ujar Ketua Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono di kantor DPP Demokrat, Minggu 6 September 2015.
Meski demikian, menurut pria yang akrab disapa Ibas, keberadaan pimpinan DPR bertemu calon presiden AS pasti akan menyimbolkan sesuatu.
Kehebohan juga semakin terjadi kala Fadli Zon berencana mensomasi seorang tokoh muslim Indonesia di New York, Imam Shamsi Ali karena merasa difitnah. Imam mencurahkan rasa kecewanya di akun Facebooknya mengenai kemunculan rombongan DPR di acara Donald Trump
Tanggapan Setya Novanto dan Fadli Zon
Ketua DPR Setya Novanto mempersilakan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR menindaklanjuti pelaporan dirinya dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon oleh beberapa anggota DPR pasca-kehadiran mereka dalam jumpa pers bakal calon Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
"Langkah Mahkamah Kehormatan Dewan dalam merespons pengaduan terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik terkait kehadiran kami dalam jumpa pers Donald Trump patut diapresiasi. Hal ini menunjukkan bahwa MKD telah menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya," kata Setya dalam pesan tertulis yang diterima Liputan6.com, Senin 7 September 2015.
"Hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2015 dan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Kode Etik dan Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan," sambung dia.
Politisi Partai Golkar ini berharap, MKD bekerja secara profesional dalam menindaklanjuti pelaporan dirinya dan Fadli Zon, tanpa ada intervensi dari pihak mana pun. Dia menekankan, penyelidikan yang dilakukan MKD dalam dugaan pelanggaran kode etik anggota dewan adalah wewenang yang telah diamanatkan undang-undang.
Terkait tudingan dirinya telah melanggar Kode Etik DPR, dia membantahnya. Sebab, sama sekali tak ada niatan untuk mendukung Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat.
"Karena kami merasa, kehadiran kami dalam jumpa pers bersama Donald Trump tersebut tidak melanggar Kode Etik anggota DPR," ujar Setya.
Dia menyatakan, memerlukan keputusan MKD atas dugaan publik yang menyebutnya telah melanggar kode etik dewan atas kehadirannya tersebut. Agar, benar tidaknya dia melanggar kode etik bisa terjawab.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menjelaskan, kehadirannya bersama anggota DPR lainnya ke negeri Paman Sam untuk menghadiri Konferensi Ketua Parlemen Sedunia yang dilaksanakan di markas besar PBB, New York, Amerika Serikat. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan 148 negara, dan berlangsung dari 31 Agustus hingga 2 September 2015.
"Ketua DPR sampaikan pendapat atas nama Parlemen Indonesia, begitu juga dalam diskusi panel. Kami lakukan kegiatan bilateral dengan beberapa negara seperti Jepang, Jerman, Kroasia, Finlandia, dan beberapa negara lain," kata Fadli saat dihubungi, Senin 7 September 2015.
Usai acara, Setya Novanto dan Fadli bertemu Trump untuk bersilaturahmi. Fadli beralasan, dia dan Setya sudah mengenal Donald Trump sejak lama. Ditambah, Trump juga melakukan banyak investasi di Indonesia. Pertemuan itu sendiri digelar di Trump Plaza sekitar 30 menit.
"Setelah itu kami diajak turun ke bawah, diajak untuk lihat konferensi pers dan dilakukan di lobi kantornya. Bukan di hotel atau di lapangan. Kemudian, ternyata sudah ramai dan sambil berdiri, Donald ceritakan apa isinya, kemudian Ketua DPR diperkenalkan, itu saja," ujar Fadli.
Fadli menyimpulkan, maksud pertemuan tersebut sudah dipelintir karena dianggap kampanye. Hal itu menurutnya jadi lucu karena jadwal kampanye di AS belum berlangsung hingga kini.
"Jadi sekarang itu seolah-olah diplintir, bahwa itu kampanye, bukan. Kampanye presiden AS belum berlangsung. Untuk penentuan kandidat saja belum. Ini masih seorang individual, seorang pengusaha, bukan sebagai calon presiden," tandas Waketum Gerindra ini
Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK menilai, Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon tidak perlu meminta maaf, karena telah melakukan pertemuan dengan Donald Trump.
"Saya kira tidak sejauh itu," kata JK, di Kantor Wakil Presiden, Jakarta.
Kendati, JK menyerahkan masalah tersebut kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Sebab bisa saja MKD memutuskan pimpinan DPR itu minta maaf. "Tapi ini urusan DPR lah, nanti DPR yang menyelesaikannya," ucap JK.
Kekayaan Donald Trump
Dalam kampanyenya Donald Trump, salah satu orang terkaya di Amerika Serikat (AS) yang mencalonkan diri sebagai kandidat presiden dari Partai Republik, berjanji akan menjadi presiden yang paling banyak memberikan pekerjaan kepada warga AS. Salah satu alasan ia bisa menjanjikan hal tersebut karena dirinya merupakan pengusaha yang sukses.
Selama hidupnya, Trump mengklaim telah menciptakan banyak lapangan kerja. Oleh karena itu, ia pun memastikan jika menjadi presiden, tetap akan membuka lowongan pekerjaan dan tentu saja dengan skala yang lebih besar lagi. Jika ditengok, sebagai seorang pengusaha, seberapa banyak sebenarnya Trump telah memberikan pekerjaan?
Mengutip CNN Money, Minggu (6/9/2015), setidaknya ia telah memberikan 34 ribu pekerjaan kepada masyarakat di AS. Sebenarnya ini bukan merupakan perhitungan yang sederhana.
Dalam penelusuran CNN Money, perusahaan milik kandidat presiden AS tersebut merupakan perusahaan tertutup sehingga sulit untuk mendapatkan data berapa keuntungan yang sudah dicetak dan berapa banyak karyawan yang telah dipekerjakan.
Sebuah analisis terbaru mengungkapkan miliarder dunia, Donald Trump ternyata bukanlah orang kaya karena otaknya. Trump menjadi miliarder karena warisan.
Seperti dikutip dari VOX, Senin (7/9/2015), analisis itu menyebutkan, Trump akan tetap jadi seorang miliarder meski dia tak pernah sukses di bisnis real estate. Warisan dari ayahnyalah yang membuatnya menjadi seperti ini.
Dalam Jurnal Nasional, reporter S.v, Date mencatat pada 1974, kerajaan bisnis real estate milik ayah Trump senilai US$ 200 juta. Trump sendiri adalah anak pertama dari 5 bersaudara, yang saat itu punya porsi warisan senilai US$ 40 juta.
Jika seseorang menginvestasikan uang senilai US$ 40 juta di S&P 500 pada Agustus 1974, menginvestasikan kembali dividennya, kemudian tidak menarik tunai dana tersebut, lalu tak harus membayar capital gain, tidak membayar biaya investasi, maka di Agustus 2015 dia akan punya US$ 3,4 miliar. Itu menurut penghitungan kalkulator S&P.
Cukup sulit untuk mengetahui berapa kekayaan Trump secara pasti, tapi Bloomberg mencatat kekayaannya US$ 2,9 miliar. Sementara Forbes menyebut US$ 4 miliar. (Mvi/Ron)