Penggugat Calon Tunggal Pilkada Kecewa Keterangan KPU di MK

Uji materi UU terkait calon tunggal peserta pilkada serentak itu digugat oleh 3 pemohon sekaligus.

oleh Oscar Ferri diperbarui 08 Sep 2015, 18:48 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2015, 18:48 WIB
20150908-MK Gelar Sidang Uji Materi UU Pengadilan HAM-Jakarta
Suasana sidang uji materi UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (8/9). Permohonan uji materi ini diajukan keluarga korban 1998. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Malik memberi keterangannya sebagai pihak terkait dalam sidang uji materi ‎Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada) terkait aturan calon tunggal peserta pilkada. Uji materi itu digugat oleh 3 pemohon sekaligus.

Husni mengatakan, pihaknya selaku penyelenggara pemilu selalu berpedoman pada UU Pilkada dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya.

"Selama ini pengaturan sistem pemilu jadi materi yang diatur dalam UU Pilkada," ujar Husni dalam Ruang Sidang Utama, Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (8/9/2015).

Usai sidang, Husni kembali memberi pandangan terkait adanya keinginan dari para pemohon agar sejumlah daerah bisa tetap menyelenggarakan pilkada walau hanya terdapat 1 pasangan calon alias calon tunggal. Dia mengatakan, KPU akan menerima apapun putusan dari MK.

Apalagi putusan MK yang bersifat final dan mengikat sudah pasti menjadi rujukan semua stakeholder terkait penyelenggaraan pemilu.

"Kami mengikuti saja apa yang menjadi diskusi di MK dan apa yang menjadi putusan MK ini. Putusan MK itu kan bersifat final dan mengikat, akan menjadi rujukan bagi semua," ucap Husni.

Meski begitu, Husni meminta MK mempertimbangkan juga soal pengadaan logistik pilkada yang dalam peraturannya hanya dilakukan 48 hari. KPU sendiri sudah menetapkan pengadaan logistik untuk pilkada serentak 2015 ini batas akhirnya sampai pada 23 Oktober 2015.

"Ya biarkan saja MK yang memutuskan itu. Yang jelas kami sudah memaparkan dalam pemilu itu ada tahapan-tahapan selain pendaftaran. Ada tahapan kampanye, waktu untuk penyediaan logistik yang perlu dipertimbangkan dalam mengambil keputusan ini," ucap Husni.

3 Daerah Ini Pasti Ditunda

Husni menambahkan, nantinya jika diputuskan pasangan calon tunggal ini tetap diakomodir ikut pilkada 2015, maka harus dituang dalam sebuah peraturan. Hal ini tentunya butuh waktu bagi DPR dan pemerintah untuk membuat aturan agar pasangan calon tunggal itu terakomodir.

"Yang berkewenangan membuat undang-undang ini adalah DPR dan Pemerintah. Tentu mereka juga butuh waktu untuk membuat peraturannya. Karena itu, kami juga butuh waktu untuk melaksanakan tahapan-tahapan yang ada," ujar dia.

Husni mengungkapkan, sudah ada 3 daerah yang pasti ditunda pelaksanaan pilkadanya karena tidak ‎memenuhi persyaratan 2 pasangan calon. Yakni, Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), dan Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT).

"Bahwa dari 269 daerah yang menyelenggarakan pilkada di tahun 2015, ada 3 daerah yang ditunda. Berdasarkan itu jumlah daerah yang harus menunda pelaksanaan pilkada hanya sebagian kecil saja," ujar dia.

Kecewa

Menanggapi keterangan KPU selaku pihak terkait, Edward Dewa Ruci, kuasa hukum Wakil Walikota ‎Surabaya Whisnu Sakti Buana selaku pemohon mengungkapkan kekecewaannya kepada KPU. Terutama soal 3 daerah yang tertunda pilkadanya dan dianggap hanya sebagian kecil.

"T‎ernyata KPU yang diharapkan bisa memperlakukan sama peserta pemilu itu punya pandangan yang menganggap persoalan calon tunggal di 3 daerah itu hanya bagian kecil dari proses yang kemudian mengabaikan kerugian-kerugian lain yang diderita masyarakat yang ditunda itu," ucap Edward mewakili Whisnu.

Dia menambahkan, masyarakat pemilih punya hak mengikuti pemilu dalam 5 tahun sekali. Tapi karena ditunda, hak-hak mereka jadi tidak bisa digunakan dan harus menunggu sampai 2017 nanti.

"Karena rakyat wajib bayar pajak dan taat hukum dan saat mau gunakan haknya terhambat harus menunggu 2 tahun lagi. Seharusnya (KPU) punya cara berpikir tidak yuridis formalis, harus punya cara berpikir substantif realitas di masyarakat agar jangan sampai ada keputusan dan kebijakan KPU yang melanggar UU sendiri," ujar Edward.

Menurut Edward, dengan menunda pilkada‎, maka KPU telah melanggar Pasal 201 UU Pilkada. "Dengan penundaan maka melanggar. Ada inkonsistensi di sini," ujar dia.

Edward juga menyayangkan, KPU yang memandang bahwa persoalan penundaan pilkada karena masalah pasangan calon tunggal‎ hanya terjadi di 3 daerah tersebut. Padahal, sejumlah daerah lain juga berpotensi mengalami masalah serupa. Misalnya Kota Surabaya di Jawa Timur.

"‎Jangan anggap persoalan itu kini hanya 3 daerah yang calon tunggal. Tapi persoalan warga negara yang tidak terpenuhi haknya 5 tahun sekali.‎ Untuk (pilkada) Surabaya misalnya, kalau nanti ada dua pasangan calon, tapi masa kampanyenya sudah berkurang, kan tidak adil," kata Edward.

Menghambat

Pemohon lain, Effendi Ghazali, menilai ada pertentangan logika‎ dalam keterangan-keterangan yang disampaikan KPU. Misalnya soal KPU menyatakan hanya 3 daerah saja yang ditunda pelaksanaan pilkada-nya.

Menurut pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia (UI) itu, penyelenggaraan pilkada terkait dengan kampanye. Di sejumlah daerah saja, waktu kampanye tidak dilakukan secara serentak.

"Kalau bilang toh cuma 3 daerah, kan sebetulnya ada daerah lain yang kampanyenya tidak serentak. Padahal hak memilih hak juga untuk mendengarkan kampanye," ucap Effendi.

Selain itu, dia menilai, dengan penundaan pilkada di suatu daerah, maka berpotensi akan menghambat pembangunan di daerah itu. Mengingat, biar bagaimanapun pelaksana tugas (Plt) kepala daerah tidak bisa mengambil keputusan strategis.

"Misalnya di Tasikmalaya. Di situ ada pembangunan pelabuhan, pembangunan jalan tol, pembangunan bendungan Leuwi Keris," pungkas Effendi.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada) diujimateri ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh 3 pemohon sekaligus. Pemohon pertama, yakni warga Surabaya atas nama Aprizaldi, Andri Siswanto, dan Alex Andreas.‎

Mereka mempermasalahkan Pasal 49 ayat (9), Pasal 50 ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4) dan ayat (6) UU Pilkada.

Pemohon kedua adalah Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana atas nama DPC PDI Perjuangan Surabaya yang menguji Pasal 121 ayat (1), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), dan Pasal 122 ayat (1). Terakhir, Pemohon atas nama Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru yang mengugat Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), serta Pasal 54 ayat (4), (5), dan (6). (Ndy/Yus)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya