Liputan6.com, Jakarta - Belum tuntas masalah kunjungan pimpinan DPR ke Amerika Serikat, DPR kini diributkan oleh persoalan lain. Kali ini tentang tunjangan anggota dewan yang diusulkan untuk dinaikkan.
Usulan ini kontan menuai pro kontra. Dibanding yang setuju, lebih banyak pihak yang menolak usulan tersebut. Selain disebut dapat melukai hati rakyat kecil, usulan kenaikan itu ditolak karena bergulir di saat perekonomian RI sedang lesu.
Usulan kenaikan tunjangan itu diketahui dalam draf Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 yang diajukan kepada pemerintah belum lama ini. Disebutkan, anggota dewan meminta tunjangan kinerja dinaikkan Rp 1,1 triliun.
"Memang ada permintaan dari BURT (Badan Urusan Rumah Tangga) ke pemerintah untuk perbaikan tunjangan anggota DPR," kata anggota BURT Irma Suryani saat dihubungi, Selasa 14 September 2015. Menurut Irma, kenaikan tunjangan diajukan karena inflasi terjadi setiap tahun. Sementara tunjangan anggota DPR tidak pernah naik sejak 10 tahun belakangan.
"Informasi dari kawan yang incumbent, sudah hampir 2 periode tunjangan tidak naik," tandas Irma. Kendati dia tidak membeberkan berapa kenaikan anggaran tunjangan yang disetujui Menteri Keuangan, namun politisi Partai Nasdem ini mengungkapkan, Kementerian Keuangan melalui surat Nomor S-520/MK 02/2015 telah menyetujui anggaran kenaikan tunjangan tersebut.
Kenaikan tunjangan tersebut meliputi tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran, hingga bantuan langganan listrik dan telepon.
Di Bawah Gaji Dirut
Baca Juga
Tidak hanya tunjangan untuk mereka, DPR juga mengusulkan menaikkan gaji presiden dan wakil presiden. Alasannya, gaji pemimpin negara sekaligus pemimpin pemerintahan ternyata lebih kecil dibandingkan gaji direktur utama BUMN.
"Gaji itu diukur berdasarkan tanggung jawab dan kewenangan. Jadi, saya lihat di negeri ini, gaji presiden hanya Rp 62 juta. Sementara gaji direktur utama BUMN dan yang lain Rp 200 hingga Rp 500 juta," kata politisi PDIP Tagoer Abubakar di kompleks parlemen Jakarta, Selasa 15 September.
Advertisement
Wakil Presiden Jusuf Kalla membenarkan gaji yang diterima termasuk kecil, bila dibandingkan dengan gaji pemimpin negara lainnya.
"Memang gaji presiden dan menteri di Indonesia, termasuk yang terkecil di banyak negara. Walau pun bukan yang terkecil jugalah," kata JK di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu 16 September 2015.
Saat ini gaji wakil presiden, ungkap JK, hanya berada di kisaran Rp 40 juta. Sementara gaji menteri sekitar Rp 20 juta, dan gaji presiden Rp 62 juta per bulan. Besaran gaji ini dianggap tidak cukup untuk menutupi kebutuhan seorang pejabat tinggi negara.
"Namun kita apresiasi para pejabat kita, menteri yang gajinya hanya tidak cukup Rp 20 juta, saya Rp 40 juta, tapi kan ada mobil, rumah, kan gitu," ujar JK.
Meski mengaku gajinya kecil, tapi JK menolak rencana kenaikan tersebut. Dia menegaskan, saat ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan gaji. Sebab, keadaan ekonomi dalam negeri dan juga global sedang kurang baik.
"Kalau mau dinaikkan kita lihat keadaan lah. Kalau memang ekonomi baik ya pastilah, tapi kalau ekonomi tak baik ya jangan dulu. Kalau ekonomi sudah naik sedikit bolehlah," tandas JK.
Presiden Menolak
Tidak hanya JK, Presiden Joko Widodo juga menolak usulan kenaikan itu. Menurut dia, usulan tersebut tidak pantas disampaikan ke publik dalam situasi perekonomi yang melambat seperti saat ini.
"Jangan aneh-aneh lah, ekonomi melambat kayak gini. Urusan gaji, urusan tunjangan malu," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/9/2015).
Jokowi mengaku tidak mengetahui adanya usulan kenaikan gaji presiden dan wakil presiden itu. Ia pun kemudian mempertanyakan asal muasal usulan kenaikan gaji tersebut. "Saya tanya, itu usulannya dari mana?" tanya Jokowi.
Setelah mengetahui kalau usulan tersebut berasal dari PDI Perjuangan, Jokowi pun langsung meminta kepada awak media menanyakan kembali ihwal kenaikan gaji itu kepada Fraksi PDIP.
"Ya tanyakan ke sana. Sekali lagi dalam ekonomi yang melambat seperti ini, malu kita ngurus-ngurus yang berkaitan dengan tunjangan dan gaji, itu saja," tegas dia.
Terkait usulan kenaikan tunjangan DPR, Jokowi juga mengaku tidak tahu. Dia bahkan mengaku tidak tahu kalau usulan itu telah disetujui Kementerian Keuangan. "Tanyakan Menkeu saya belum tahu," ucap dia.
Pernyataan Jokowi bisa saja benar, karena kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno, penentuan kenaikan tunjangan anggota DPR tidak perlu melalui keputusan presiden.
"Surat Keputusan (SK) itu kan dari Menteri Keuangan, tidak ada hubungannya sampai dikeluarkan Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden," ujar Pratikno, Kamis 17 September 2015. Dia mengatakan, kenaikan tunjangan DPR itu hanya rumusan satuan kerja Menteri Keuangan biasa.
Lepas dari pro kontra, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengaku telah menyetujui usulan kenaikan tunjangan anggota dewan. Tapi, pemerintah tidak langsung menyetujui usul kenaikan tunjangan itu. Pemerintah terlebih dulu mengkaji lalu menyesuaikan jumlah kenaikan tunjangannya.
Fahri Hamzah "Capek"
Ribut-ribut tentang usulan kenaikan tunjangan anggota dewan, ternyata membuat Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah gerah. Dia mengatakan lelah melihat cekcok tentang hal ini. Sebab kenaikan tersebut hanya 0,00191% dari total belanja negara dalam APBN.
"Anggaran tunjangan DPR itu hanya Rp 4 triliun di APBN 2015 atau hanya 0,00191% dari total belanja negara di APBN 2015. Jangan yang kecil-kecil diributkan, capek dong," kata Fahri di Gedung DPR, Rabu 16 September 2015.
Fahri memaparkan, tunjangan DPR yang telah disetujui pemerintah sekitar Rp 4 triliun. Anggaran itu sebagian besar untuk membiayai Sekretariat Jenderal DPR yang secara struktural berada di bawah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) dan Sekretariat Negara namun penggajiannya oleh DPR.
"Sehingga buat DPR tidak jelas hanya 0,00 berapa persen, sementara DPR harus awasi 99,999% atau Rp 2.035 triliun dari total uang belanja negara, plus kewenangan-kewenangan yang ada yang harus diawasi, plus aset negara lain, plus BUMN, plus seluruh pelaksanaan undang-undang di seluruh Indonesia," papar Fahri.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini berharap, semestinya sorotan publik dihadapkan kepada eksekutif, bukan sebaliknya menyoroti tunjangan DPR yang nilainya kecil.
"KPK saja yang penyidiknya dipilih DPR cuma 5 orang hampir Rp 1 triliun. DPR itu 560 orang ditambah DPD 132 orang yang pilih rakyat, jadi kalau yang dipilih rakyat diberikan kewenangan lebih besar itu karena maunya rakyat," tegas dia.
Bagi anggota dewan yang menyatakan tidak setuju kenaikan tersebut, Fahri mengimbau agar menyampaikannya ke forum resmi DPR, bukan melalui media massa.
"Silakan anggota tolak di Banggar (Badan Anggaran) DPR, jangan ngoceh di luar," kata Fahri, Kamis 17 September 2015.
Tercatat anggota dewan yang menolak kenaikan itu antara lain anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul. Dia mengatakan, baik gaji maupun tunjangan yang didapat anggota parlemen sudah jauh dari kata cukup.
"Kalau aku apa yang ada sekarang sudah cukup. DPR ini kan bukan tempat cari makan,” ujar Ruhut. Dia berharap, anggaran tunjangan kenaikan ini sebaiknya dialihkan ke sektor lain yang lebih membutuhkan. Terutama diberikan kepada masyarakat kecil yang lebih membutuhkan. (Sun/Rmn)