Penjajahan Inggris di Bengkulu Awali Sejarah Paroki Santo Yohanes

Ketika menjejakkan kaki di Bengkulu, mata tidak bisa lepas dari 2 situs sejarah.

oleh Yuliardi Hardjo Putro diperbarui 27 Des 2015, 18:00 WIB
Diterbitkan 27 Des 2015, 18:00 WIB
Paroki St. Yohanes
Paroki St. Yohanes. (Yuliardi/Liputan6.com)

Liputan6.com, Bengkulu - Ketika menjejakkan kaki di Bengkulu, mata tidak bisa lepas dari 2 situs sejarah. Adalah Benteng Marlborough atau yang dulunya diberi nama Benteng York dan bangunan rumah gubernur jenderal Inggris, yang saat ini digunakan sebagai kediaman resmi Gubernur Bengkulu.

Rumah itu berhadapan langsung dengan monumen pemantau tsunami atau view tower. Tepat di seberang kirinya, ada sebuah patung besar yang berdiri gagah di halaman sebuah paroki atau gereja besar, patung Santo Yohanes. Patung setinggi 5 meter itu berdiri di dalam lingkungan Paroki Santo Yohanes Penginjil Bengkulu.

Sejarah berdirinya paroki ini tidak bisa lepas dari sejarah pedudukan Inggris di Bengkulu yang lebih dikenal dengan nama Bumi Rafflesia. Berikut sejarah Paroki seperti yang dituturkan Pastur Romo Julianus Sukamto SCJ.

Pada 24 Juni 1685, Inggris menjejakkan kakinya di Bengkulu, ada 3 orang utusan Inggris yaitu Ralp Ord, Benyamin Bloome, dan Joshua Charlton tiba di Bengkulu untuk menjalin hubungan dagang. Pada 16 Agustus 1685, ditandatangani perjanjian yang mengatur hubungan perdagangan antara Charles Baswell Esq dengan Pangeran Ingalu Raja, dari Silebar. Pada pertengahan 1685, Inggris membangun Benteng York di antara laut dan Sungai Serut.

Bengkulu menjadi daerah yang ramai, banyak orang-orang Eropa yang datang dan menetap di Bengkulu. Dari mereka, ada pula yang beragama katolik. Penguasa East Indie Company atau Serikat dagang Inggris di Madras meminta para misionaris dari Ordo Theatin untuk melayani kehidupan rohani para tentara, dan masyarakat Eropa katolik di Benteng York. Pemimpin ordo Theatin mengirim Pastor Martelli yang tiba di Bengkulu pada Desember 1702, dan tinggal di Benteng York. Dalam suratnya 28 Januari 1703, Pastor Martelli melaporkan, jumlah umat Katolik di Bengkulu mencapai 300 orang.

"Saat itu pos misi di Sumatera hanya ada di Pantai Utara Aceh yang dilayani misionaris Fransiskan dan Bengkulu sendiri. Kedua pos misi ini berada dalam Keuskupan Malaka. Pastor Martelli mendapat bantuan tenaga dari Pastor Castelli," ujar Pastur Sukamto, Minggu (27/12/2015).

Pada 1706 Pastor Martelli dibunuh saat melayani umat di daerah pedalaman Kalimantan. Pastor Castelli pun bekerja sendiri melayani umat di Bengkulu. Pada tahun 1708 Pastor Johannes Maria Comini membantu karya misi di Bengkulu. Saat itu konflik antara rakyat Bengkulu dengan bangsa Inggris mulai sering terjadi. Konflik ini pula yang membawa dampak buruk bagi karya misi gereja di Bengkulu.

Rumah kediaman Pastor Castelli pernah diserang dan dihancurkan rakyat Bengkulu. Benda-benda suci diambil. Karya misi yang sudah bertahun-tahun dilakukan seakan hancur dan tidak ada lagi harapan. Akhirnya Pastor Castelli meninggalkan Bengkulu dan menuju ke Kalimantan.

Tugas Pastor Castelli digantikan Pastor John Milton. Namun belum lama ada di Bengkulu, beliau sudah sakit dan akhirnya meninggal pada tanggal 14 September 1714. Pastor Johannes Maria Comini kembali bekerja seorang diri.

Pada tahun 1712 Yoseph Collet diangkat menjadi Deputi Gubernur, ia meminta izin pada EIC (East Indie Company) untuk menggantikan Benteng York dan membangun sebuah benteng baru di atas karang, sebuah bukit kecil yang menghadap ke laut sekitar 2 kilometer dari Benteng York. Pada 1714 dimulailah pembangunannya dan selesai pada 1718. Yoseph Collet menyebutnya Benteng Marlborough, sebagai penghormatan terhadap Winston Churchill yang mendapatkan gelar 'Duke of Marlborough'. Selain itu, Inggris juga mendirikan Benteng Anna di daerah Muko-Muko.

Pastor Comini ditarik ke Goa India karena diangkat menjadi pimpinan Ordo Theatin Asia. Tugasnya di Bengkulu digantikan Pastor Josef Maria Ricca. Ia berhasil membangun kapel di dekat Benteng Anna. Namun konflik yang terjadi antara Inggris dan masyarakat Bengkulu saat itu sungguh tidak menguntungkan.

Pemberontakan terjadi pada 1719. Benteng, gereja diserang dan dibakar, Pastor Ricca menolak untuk melarikan diri, ia memilih tinggal bersama umatnya. Pada saat itu ia juga sedang mengadakan misa Jumat Agung, pada saat penghormatan salib, penduduk pribumi memberontak masuk dan akhirnya membunuh Pastor Ricca.
 

Perjuangan para Misionaris

Perjuangan Para Misionaris
 
Pada 1721, pasukan Inggris merebut benteng kembali. Usaha mengirim misionaris dari Ordo Theatin tidak berhasil. Tetapi berkat keteguhan Pastor Johanes Maria Comini sebagai pimpinan Ordo Theatin kawasan Asia, 2 orang misionaris dapat dikirim ke Bengkulu. Mereka adalah Pastor Carolus Fideli dan Pastor Alexander Rotigno. Selama pelayanannya, Pastor Fideli dapat membangun kembali kapel yang rusak saat pemberontakan tahun 1719 dan juga membangun kapel di daerah Muko-Muko.

Tugas Pastor Fideli digantikan Pastor Johanes Fransiscus Rescala karena ia diangkat menjadi pimpinan Ordo Theatin. Situasi yang kondusif membuat para pedagang dari Eropa kembali ramai mendatangi Bengkulu. Bengkulu mendapat tambahan tenaga misionaris ketika Pastor Johanes Maria Uguccioni datang ke Bengkulu pada 1736.

Konflik yang terjadi antara Inggris dan Prancis di Eropa semakin menghebat. Pada awal April 1960 benteng Marlborough direbut Prancis. Saat itu Pastor Johanes Maria Uguccioni meninggalkan Bengkulu dan pergi ke Manila yang sudah dikuasai Inggris. Saat singgah ke Bengkulu, dia melihat bahwa karya misi yang sudah lama dimulai telah hancur akibat peperangan antara Inggris dan Prancis.

Tahun-tahun sesudahnya, Bengkulu menjadi rebutan antara Inggris dan Belanda. Inggris dapat mempertahankan Bengkulu. Saat Sir Thomas Stamford Raffles menjabat sebagai Gubernur di Bengkulu, ia berusaha melebarkan kekuasaannya ke Palembang. Namun, berdasarkan persetujuan damai antara Belanda dan Inggris di tahun 1824, Inggris akhirnya pergi dari Sumatera, termasuk Bengkulu.
 

Kehadiran para Misionaris SCJ

Kehadiran Para Misionaris SCJ
 
Tahun 1811 sampai 1923, wilayah Bengkulu dan Sumatera Selatan masuk dalam Prefektur Apostolik Sumatera yang berpusat di Padang. Saat itu, yang menjadi Prefek Apostolik pertama adalah Mgr. Libertus Cluts, OFM Cap. Ordo Kapusin dipercaya untuk mengerjakan karya misi di daerah ini. Namun setelah kepergian Inggris dari Bengkulu, karya misi yang semula dilaksanakan Ordo Theatin tidak dapat diteruskan.

Pada 27 Desember 1923, sesuai 'breve' dari Tahta Suci daerah Sumatera Selatan dan Bengkulu menjadi Prefektur Apostolik yang terpisah dengan Prefektur Apostolik Sumatera (Padang). Prefektur Apsotolik yang baru ini dinamakan Prefektur Apsotolik Bengkulu yang pos misinya ada di Tanjungsakti.

Pada 23 September 1924, para misionaris dari Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ) tiba pertama kalinya di Tanjungsakti. Mereka adalah Pastor H.J.D. van Oort SCJ, Pastor K. van Steekelenburg SCJ, dan Bruder Felix van Langenberg, SCJ. Ketiga orang ini disambut oleh Pastor Spanjers OFM Cap. Dengan kedatangan para misionaris ini, maka tenaga misi untuk melayani umat di daerah Sumatera Selatan dan Bengkulu bertambah.

Pastor van Oort SCJ diberi kepercayaan sebagai kepala misi. Dalam perkembangan yang sangat singkat, Palembang dan Bengkulu ditetapkan sebagai pos misi yang kedua dan ketiga. Dalam perkembangan selanjutnya, Tanjung-Karang dan Jambi menjadi pos misi selanjutnya. Pada 28 Mei 1926 Mgr. H.L. Smeets SCJ menjadi Prefektur Apostolik yang pertama walaupun beliau baru tiba bulan September 1925. Jabatan ini tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 19 Januari 1927 beliau kembali ke Nederlands. Pastor van Oort, SCJ menggantikan tugas beliau sampai tanggal 19 Januari 1939, saat Pastor H.M. Mekkelholt, SCJ diangkat sebagai Prefek Apostolik.

Pada saat itu, di Bengkulu masih ada sedikit umat Katolik. Salah satunya adalah keluarga Van der Vossen. Keluarga ini memiliki kedudukan yang amat penting. Dari keluarga ini pulalah maka pada November 1926 dibeli sebuah rumah di Jalan Pasar Melintang. Rumah ini ditempati Pastor M. Neilen SCJ sebagai pastoran sekaligus tempat ibadat, dan beliau adalah pastor paroki pertama Paroki St. Yohanes Penginjil. Pastor Neilen SCJ mendapat bantuan dari Pastor N. Hoogeboom, SCJ.

Dalam tugas pelayanannya, Pastor Neilen, SCJ juga memulai HCS (Hollandsch-Chineesche School) pada 31 Desember 1926. Untuk itu, ia mengirim surat undangan kepada pimpinan kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus (CB)untuk berkarya di Bengkulu. Undangan itu ditanggapi pemimpin umum para suster dengan mengirim 4 orang suster pada tanggal 21 November 1921, yaitu Sr. Hadeline, Sr. Carolus, Sr. Fabiola --ketiganya berkarya di bidang pendidikan dan Sr. Jacquiline yang berkarya di bidang kesehatan. Dengan kehadiran para suster, maka pendidikan HCS diserahkan secara penuh kepada mereka pada 6 Januari 1930. Saat ini, sekolah HCS menjadi SD Sint Carolus yang dengan setia masih dilayani oleh para suster CB.

Pada 1929 dibeli tanah dan rumah di daerah Kampung Cina. Ada 2 bagian, bagian yang lebih dekat dengan laut digunakan untuk susteran dan sekolahan dan bagian lainnya yang lebih tinggi digunakan sebagai pastoran dan asrama putra. Di sebelah pastoran itulah didirikan gereja. Dalam Liber Baptizmorum (Buku Baptis), ada beberapa orang yang dibaptis pada awal gereja Bengkulu, yaitu Corry Rosmini yang dibaptis 19 Mei 1917, Maria Tjoa Goei Nio (Mariani Tjimantara) dibaptis 1930, dan Josephus Lie Hian Soen yang dibaptis 1930.

Pada 1 Januari 1967, berdirilah paroki lain di daerah Lebong, yaitu Paroki St. Stephanus, Curup. Pastor Andreas Lukasik (1972-1975) mulai merintis pembukaan daerah selatan. Saat itu, persebaran umat masih terbatas di sekitar gereja dan Kampung Cina. Tahun 1981, saat Pastor Darricau, MEP menjadi pastor paroki (1978-1984), dibangunlah gereja baru di samping gereja lama. Pada masa Pastor Nico van Steekelenburg, SCJ pembangunan gereja selesai. Ia juga banyak merintis stasi dan wilayah-wilayah di lingkungan Paroki St. Yohanes Penginjil. Gedung gereja yang baru ini akhirnya diberkati oleh Mgr. J.H. Soudant, SCJ pada Hari Raya Pentakosta, 22 Mei 1983.
  Paroki St. Yohanes. (Yuliardi/Liputan6.com)

Paroki St. Yohanes terdiri dari 38 stasi. Jumlah umat katolik Paroki St. Yohanes Penginjil sebanyak 7.304 jiwa. Dari keseluruhannya itu, 60% tinggal di Kota Bengkulu. Dilihat dari latar belakang budayanya, umat katolik di Bengkulu sungguh beragam seperti Jawa, Tionghoa, Batak, Flores dan lain sebagainya. Sebagai daerah misi gereja katolik, Bengkulu sudah dilayani oleh misionaris Ordo Theatin sejak tahun 1702, Perkembangan misi mengalami pasang surut. Misi gereja mulai mengakar dan menguat ketika para misionaris SCJ mendapat kepercayaan dari Takhta Suci untuk melayani daerah Sumatera Bagian Selatan, termasuk Bengkulu.

Ketika Indonesia merdeka, Pastor Neilen SCJ yang memulai menaburkan benih paroki kembali bertugas di Bengkulu, menggantikan tugas Pastor J. Keeper SCJ. Saat zaman penjajahan, sudah banyak penduduk dari Jawa yang 'dipindahkan' ke Bengkulu dalam rangka program kolonialisasi. Program transmigrasi ini dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia pada 1950 dengan membuka lahan di daerah Kemumu. Pada tahun 1969, daerah Talang Boseng dan Pasar Talo menjadi daerah transmigrasi penduduk Jawa. Dari antara mereka juga terdapat beberapa keluarga katolik.

Pada 1972, Pastor Andreas Lukasik SCJ memulai pelayanan daerah Selatan dan mulai mencari keluarga-keluarga katolik dari kalangan para transmigran. Reksa pastoral kemudian dipercayakan pada Pastor Nico van Steekelenburg (1981-1991). Setelah Pastor Nico van Steekelenburg SCJ, dimulailah periode imam-imam pribumi seperti Pastor YG Marwoto, SCJ dan Pastor Harry Subekti, SCJ. Pastor Endrokaryanto SCJ menjadi imam pribumi pertama yang menjadi pastor paroki.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya