Jubir Presiden: Jokowi Tegaskan KPK Diperkuat, Bukan Dilemahkan

Jika revisi UU KPK ditujukan melemahkan dan mengurangi kewenangan lembaga antirasuah itu, maka Presiden Jokowi akan menolak.

oleh Oscar FerriPutu Merta Surya Putra diperbarui 09 Feb 2016, 08:37 WIB
Diterbitkan 09 Feb 2016, 08:37 WIB
Johan Budi
Johan Budi (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) masih menuai pro dan kontra. Pro dan kontra itu timbul lantaran revisi yang sudah masuk pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR itu dinilai banyak pihak malah membuat KPK semakin lemah, namun tak sedikit pula yang menyebut justru KPK menjadi kian kuat.

Di tengah pro dan kontra, Staf Ahli Kepresiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP mengatakan, jika revisi UU KPK itu dilakukan, Jokowi tentunya sudah tegas menyatakan, KPK harus diperkuat untuk pemberantasan korupsi. Bukan sebaliknya malah dilemahkan.

"Presiden tegas menyatakan KPK harus diperkuat," ujar Johan di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin 8 Februari 2016.

Mantan Juru Bicara KPK ini menambahkan, jika revisi UU KPK ditujukan untuk melemahkan KPK dan mengurangi kewenangannya dalam upaya pemberantasan korupsi, maka Jokowi menyatakan menolak. Bahkan, pemerintah kata Johan, akan menarik diri dari pembahasan revisi itu.

"Sikap Presiden sudah jelas, jika revisi dimaksudkan memperlemah KPK, maka pemerintah akan menarik diri," ujar Johan.

Sekadar informasi, saat ini draf revisi UU KPK sudah masuk dalam pembahasan Badan Legislasi (Baleg) DPR. Ada 4 poin dalam revisi UU KPK itu yang menjadi sorotan publik.

Keempat poin itu, yakni soal pembentukan Dewan Pengawas, kewenangan penyadapan yang harus seizin Dewan Pengawas, kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), serta pengangkatan penyelidik dan penyidik independen.

Jokowi dan PDIP Diminta Hati-hati

Sementara pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, meminta Jokowi dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) hati-hati terkait dengan revisi UU KPK.

"Presiden dan PDIP harus hati hati," ucap Ikrar di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin 8 Februari 2016.

Ikrar mengatakan demikian, sebab di DPR sendiri usulan revisi itu salah satunya datang dari Fraksi PDIP. Jika revisi itu terealisasi sesuai dengan draf yang sekarang ini banyak dinilai dapat melemahkan KPK, maka yang rugi adalah PDIP sendiri.

Kerugian itu salah satunya adalah mencoreng citra partai berlambang banteng moncong putih sebagai pemenang Pemilu Legislatif 2014. PDIP juga dapat dipandang oleh publik sebagai partai yang melemahkan KPK. Karena publik sejauh ini masih percaya pada KPK jilid IV itu.

"Karena (fraksi) DPR yang ingin merevisi dari PDIP. Dan kalau tekanan itu terus terjadi bisa saja PDIP akan menerima persepsi sebagai partai yang membubarkan KPK. Ini harus kita perhatikan," ujar Ikrar.

Ikrar menilai, poin-poin revisi UU KPK yang beredar di masyarakat, tidak ada satu pun yang menguatkan KPK. Tetapi sebaliknya malah membuat KPK semakin lemah. Di sini revisi UU KPK justru menghilangkan independensi KPK sebagai lembaga spesialis pemberantasan korupsi.

KPK didirikan pada 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Adapun salah satu partai pendorong dilakukannya revisi UU KPK saat ini adalah PDIP, yang dipimpin oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

Teka-teki Naskah Akademik

Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK telah masuk dalam Prolegnas DPR RI 2016. Pro dan kontra mulai mencuat, salah satunya soal keberadaan naskah akademik.

Naskah akademik merupakan naskah hasil penelitian atau hasil kajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu, dalam suatu rancangan undang-undang. Itu disusun oleh pemrakasa atau yang mengajukan usul penyusunan rancangan undang-undang dengan Menteri Hukum dan HAM. Dimana dalam revisi UU KPK, DPR-lah yang menjadi pengusulnya.

Menurut Juru Bicara Presiden, Johan Budi SP, sampai saat ini pemerintah maupun Presiden belum mendapatkan draf tersebut.

"Sampai hari ini masuh belum clear (jelas). Kalau tidak salah, Menkum HAM (Yasonna H Laoly) sudah bertemu dengan Komisi di DPR," ujar Johan di Kantor Lembaga Survei Indikator Indonesia, Jakarta, Senin 8 Februari 2016.

Mendengar hal tersebut, mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto pun mempertanyakan hal itu. Dia menegaskan, jika tidak ada naskah akademik, bahkan belum diterima pemerintah, maka pembahasan revisi itu dianggap cacat prosedural.

"Kalau enggak ada naskahnya, itu cacat. Kalau enggak ada naskah, tapi diajukan, apa maksudnya? Ini kemudian melalui Johan kita tahu (pemerintah belum dapat naskah akademik)," ujar Bambang di Jakarta, Senin 8 Februari 2016.

Terkait hal itu kepada Liputan6.com, anggota Komisi III DPR Ichsan Soelistyo, selaku pengusul membenarkan hal tersebut. Hal ini lantaran, pihak DPR masih melakukan harmonisasi di tingkatan fraksi dan komisi.

"Gini lho. Ini kan bukan menjadi rahasia, bahwa revisi menjadi inisiatif DPR. Kita rapikan dulu, kita kan sedang harmonisasi dulu," tutur Ichsan.

Dia pun menegaskan, jika sudah dilakukan harmonisasi, maka pihaknya akan membawa ke Rapat Paripurna DPR, kemudian baru memberikan kepada pemerintah serta KPK.

"Setelah dikeluarkan, kita bawa ke rapat paripurna. Baru kita kasihkan, dan kita pindah pembahasannya dengan pemerintah dan KPK. Jadi harmonisasi di DPR (setiap fraksi) kalau sudah siap naskahnya baru kita kasih kok," ujar politikus PDIP itu.

Ichsan menegaskan, hingga saat ini, pihak DPR masih berkomitmen hanya ada 4 poin perubahan. Isu yang menegaskan ada 13 poin totalnya, dia pun menjawab hal itu merupakan penjabaran dari 4 poin yang disepakati.

"Kita enggak ada nambahin poin lagi. Poin itu tetap 4, soal SP3, Dewan Pengawas, Penyadapan, dan soal Penyidik KPK. Itu saja. Yang disampaikan (13 poin) itu cuma bentuk penjabarannya saja. Jadi enggak ada tambahan poin, kita ikuti apa mau publik kok," imbuh Ichsan.

Dewan Pengawas Batasi Wewenang KPK?

Pembentukan Dewan Pengawas KPK menjadi salah satu poin yang masuk dalam draf revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Rencana pembentukan Dewan Pengawas itu pun mendapat tanda tanya besar dari eks Komisioner KPK, Bambang Widjojanto.

Bambang melihat, fungsi dan tugas Dewan Pengawas yang mengawasi kewenangan KPK justru akan memangkas wewenang KPK yang kini dipimpin Agus Raharjo cs. Sebab, Dewan Pengawas yang dimaksud berbeda dengan lembaga pengawas lain seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Kejaksaan (Komjak).

"Kompolnas bertugas menyediakan calon Kepala Polri. Itu clear. Komisi Kejaksaan tugasnya mengawasi kinerja kejaksaan. Kinerja, bukan mengawasi kewenangan," kata Bambang di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin 8 Februari 2016.

Karena itu, Bambang melihat kehadiran Dewan Pengawas patut digarisbawahi. Mengingat keberadaannya juga berpotensi akan membuat KPK tidak lagi independen dan akuntabel dalam melakukan kerja dan tugasnya.

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti juga berpendapat serupa. Sama dengan Bambang, Ikrar melihat fungsi Dewan Pengawas yang mengawasi KPK akan membuat kerja lembaga antirasuah tidak independen.

Ikrar menilai, Kompolnas hanya memberi saran dan pertimbangan kepada Presiden mengenai calon Kapolri. Kompolnas dibentuk bukan untuk mengawasi wewenang Polri.

"Komjak juga sama. Sesuai peraturan presiden, Komjak bertugas melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap kinerja jaksa dan pegawai kedinasan. Bukan mengawasi kewenangan kejaksaan," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya