Kapal Asing Dilarang Beroperasi, Nelayan di Ambon Panen Ikan

Ali tak pernah menyesal diPHK dari perusahaan ikan milik asing, sebab kini dia bisa panen ikan dengan kembali jadi nelayan.

oleh Muslim AR diperbarui 03 Apr 2016, 17:08 WIB
Diterbitkan 03 Apr 2016, 17:08 WIB
20160304-Menteri Susi
Seorang nelayan di Ambon kini telah menjadi pengusaha setelah adanya kebijakan Menteri Susi . (Liputan6.com/

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ambon, Alie Abdoel Choliq mengatakan, semua nelayan dan anak buah kapal (ABK) berkewarga negaraan asing telah dipulangkan.

"Semua (nelayan) yang asing sudah kita pulangkan, rombongan terakhir pulang tanggal 31 Maret," ujar Choliq yang ditemui di ruang kerjanya, di Ambon, Sabtu (2/4/2016).

Kapal asing yang ada di kawasan perairan Ambon sudah tak lagi beroperasi. "Ada 3 kapal yang nongkrong di sini, bergerakpun mereka tak bisa," kata Choliq.

Dari data yang ia miliki, ada 244 kapal yang dulunya beroperasi di PPN Ambon dengan setengah dari 5.110 ABK adalah orang asing. Tapi, sejak kebijakan Menteri Susi lewat peraturan menterinya, membuat 137 kapal asing tak lagi beroperasi.

"2.136 ABK asing dipulangkan, sedangkan ABK yang bekerja di sana (kapal asing) 1.555 orang ABK di PHK," terang Choliq.

Sedangkan untuk kapal-kapal besar milik Indonesia, ada 69 kapal yang tak boleh lagi beroperasi di Ambon. Di kapal itu memperkerjakan 149 ABK asing dan 829 ABK Indonesia.

"Mereka juga sudah di pulangkan, yang ABK Indonesia juga di PHK," ucap Choliq.

Sementara, untuk kapal di bawah 30 Gross Ton masih dibolehkan beroperasi di kawasan Ambon. Kapal tersebut menurut Choliq merupakan kapal buatan dan milik Indonesia.

"Ada 38 kapal yang masih beroperasi, mereka memperkerjakan 441 ABK Indonesia," jelas dia.

Dengan tak beroperasinya kapal-kapal tersebut, produksi ikan di Ambon turun 83 persen. Di tahun 2014, Ambon memproduksi 68 ribu ton lebih dengan nilai Rp 1,1 triliun lebih, sedangkan di tahun 2015 hanya 8 ribu ton saja, dengan nilai Rp 185 milIar.

"Untuk ekspornya, tahun 2014 kita mengekspor 56 ribu ton dengan nilai Rp 835 milyar, tahun 2015 cuma Rp 9 milyar," terang Choliq.

Sementara, menurut Dullah, seorang nelayan di Kampung Baru, Negeri Laha, Kecamatan Teluk Ambon, kebijakan Menteri Susi justru membuat dia mudah mendapatkan ikan.

"Ibu Susi kasih larang kapal besar masuk, buat katong (kami) mudah tangkap ikan, jauh dapat, dekat juga dapat," terang Dullah (36) pada Liputan6.com, Sabtu 2 April 2016 sore.

Menurut pengakuan Dullah dan nelayan lainnya, sejak pelarangan transhipment dan penggunaan jaring besar serta kapal asing, mereka lebih mudah menangkap ikan. Padahal sebelumnya, mereka sulit menangkap ikan meski sudah berlayar bermil-mil.

"Kalau bisa dapat satu loyang (ukuran nelayan Ambon, untuk sebaskom ikan dengan berat rata-rata 3 kg) sudah syukur, tapi itu 2 tahun lalu. Sekarang katong tak begitu lagi, pulang sudah cepat, loyang sudah penuh," lanjut Dullah.

Lebih Bahagia

Sementara, salah satu pekerja di PT Arabikatama Khatulistiwa Fishing Industry, Ali Khaimudin (36) yang dulunya bekerja sebagai pemotong kepala ikan tak mempersoalkan pemecatannya pasca peraturan menteri.

Sebab, dia bekerja di perusahaan ikan itu karena tak ada pilihan lain. Sebagai nelayan, dia sulit menangkap ikan sendiri.

"Ya, dulu katong tak punya pilihan, ke laut tak dapat ikan, lebih baik kerja di pabrik, pergi pagi pulang sore," terang Ali.

Dia pun hanya mendapat gaji Rp 1,1 juta perbulannya.

Namun sejak di-PHK, ia kembali melaut dan merasa lebih bahagia. Begitu juga dengan perekonomian keluarganya yang mulai membaik sejak awal 2015. Ia mengaku bisa berpenghasilan Rp 3 juta perbulannya.

"Katong suka jadi nelayan lagi katong jadi bosnya, tak ada kerja masuk pagi keluar sore, cuma cukup bayar hutang saja. Sekarang katong sudah punya kapal katinting sendiri, kalau mau bantu, pemerintah kasi katong kapal pancing tonda saja," kata Ali.

Ucapan Ali diamini beberapa nelayan yang juga nimbrung kala Liputan6.com beserta Dullah melihat kapal-kapal mereka yang tertambat di belakang rumah.

"Kalau dulu, ada yang pulang sore hingga malam, sekarang tak lagi, batong sudah bisa pulang siang," kata Dullah yang sudah 20 tahun lebih menjadi nelayan.

Menurut Dullah, perubahan ini juga berdampak pada kehidupan keluarga mereka. Dengan mudahnya menangkap ikan, para istri nelayan tak lagi harus membekali suami mereka dengan bekal yang banyak.

"Sekarang berangkat jam 3 atau 4, siangnya sudah pulang," ujar Ina Sulisa (50) salah seorang istri nelayan yang juga berprofesi sebagai pengumpul ikan di Kampung Baru, Negeri Laha, Ambon.

Ina mengaku, sejak dua perusahaan yang ada di kampungnya ditutup tangkapan para nelayan semakin banyak dan mudah untuk dijual kembali.

"Sekarang katong bebas jual ke mana saja, mau ke Ambon ka, mau ke Batu Merah ka, mau ke Negeri seberang ka, tak ada larang. Kalau dulu, beli ikan saja mahal, dari laut juga tak ada ikan," cerita Ina.

Sebelumnya, Ina tak berprofesi sebagai pengumpul. Ia hanya menjual hasil tangkapan suaminya ke warga sekitar Negeri Laha, atau hanya untuk dikonsumsi.

"Kalau sukur banyak ikan, katong jual. Kalau tidak, untuk batong sakaluarga saja. Tapi lebih sering tak ada ikan," kata Ina.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya