Liputan6.com, Jakarta - Setelah resmi dipecat dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fahri Hamzah berniat menggugat partai berlambang padi dan bulan sabit itu melalui jalur pengadilan.
Pemecatan tersebut jelas mengancam karier Fahri yang cukup gemilang saat ini. Suka tidak suka, jabatan sebagai wakil ketua DPR bakal lepas, jika dia dipaksa mundur dari partainya.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Imam sendiri sudah menandatangani surat pemecatan Fahri, jauh hari sebelum beredar dokumen pemecatan pria kelahiran Sumbawa 10 Oktober 1971 ini.
"Bahwa ada keputusan Mahkamah Partai (di PKS disebut Majelis Tahkim atau MT) terkait saudara Fahri Hamzah itu betul," ujar Sohibul Iman saat dikonfirmasi Liputan6.com di Jakarta, Minggu 3 April kemarin.
Namun, Sohibul menegaskan, hingga saat ini partainya belum memberikan pengumuman resmi kepada media. Apalagi, menyebarkan surat keputusan pemecatan itu.
Baca Juga
Sohibul menegaskan, selaku Presiden PKS dirinya memegang penuh wewenang dalam menyampaikan keputusan internal partai.‎ Surat pemecatan Fahri, dia yang menandatangani dan sudah meminta bawahannya untuk mengirimkan surat tersebut kepada Fahri Hamzah.
"Saya selaku Presiden PKS adalah pihak yang berwenang menyampaikan keputusan MT tersebut kepada FH dalam bentuk SK DPP PKS. Saya sudah menandatangani SK DPP tersebut bertanggal 1 April 2016, dan tadi malam saya sudah meminta pihak sekretariat untuk segera mengirimkannya," papar dia.
Bagi Fahri, pemecatan ini sama halnya mengkriminalisasikan dirinya. Dia juga bingung dengan alasan pemecatan, karena merasa tidak pernah melakukan kesalahan di partai.
"Saya tidak ada catatan di fraksi, tidak ada catatan struktur, yang ada adalah keinginan pribadi, lalu saya dikriminalisasi dan dianggap saya tidak disiplin dan dipecat," ujar Fahri di DPR, Senin (4/4/2016).
Bermula di MPR
Sebelum menjabat sebagai wakil ketua DPR, Fahri memang sudah lama berkecimpung di Senayan. Persisnya sejak menjabat sebagai staf ahli Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 1999 hingga 2002.
Fahri kemudian terpilih menjadi anggota dewan pada pemilihan umum legislatif 2004, lewat daerah pemilihan (dapil) NTB, tanah kelahirannya.
Advertisement
Baca Juga
Ia terpilih ke Komisi III yang membidangi hukum dan menjadi wakil ketua. Jabatan Fahri di komisi ini terus berlanjut, sampai terpilih kembali dalam pemilihan umum legislatif 2009.
Pada 15 November 2011, Fahri dipindahkan ke Komisi IV yang membidangi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perdagangan, sekaligus ke Badan Kehormatan DPR, menggantikan Ansory Siregar.
Posisinya sebagai wakil ketua di Komisi IV digantikan Nasir Djamil, rekan sejawatnya di Fraksi PKS. Pada Mei 2013, Fahri dan Nasir--yang sebelumnya dipindahkan ke Komisi VIII, dikembalikan ke Komisi III.
Aktivis '98
Sebelum berkecimpung di dunia politik, Fahri pernah menempuh pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Mataram (Unram) pada 1990 hingga 1992.
Pada 1992, dia tidak melanjutkan kuliahnya di Unram dan memilih pindah ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI).
Di UI, kegiatan Fahri berkembang. Ia menjadi ketua umum Forum Studi Islam di fakultasnya. Ia juga tercatat sebagai ketua departemen penelitian dan pengembangan di senat mahasiswa universitas periode 1996 hingga 1997.
Seiring bergulirnya reformasi pada 1998, Fahri Hamzah yang aktif di sejumlah organisasi mahasiswa Islam di Jakarta, turut mencetuskan lahirnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Malang.
Fahri kemudian menjabat sebagai ketua pertama KAMMI pada 1998 hingga 1999. Ia ikut serta mengorganisir gerakan-gerakan melawan rezim Orde Baru.
Bahkan, setelah jatuhnya Soeharto, Fahri bersama gerakannya tetap mendukung Presiden baru BJ Habibie, meskipun sebagian besar mahasiswa saat itu mulai menentang pakar pesawat tersebut, yang dianggap tidak berbeda dengan pendahulunya.
Kini di puncak karier politiknya, Fahri Hamzah harus menerima kenyataan pahit. Sejumlah aksinya dianggap bertentangan dengan partai, sehingga dipaksa harus keluar dari partai yang telah membesarkan namanya itu.