Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu melontarkan pujian kepada prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD. Meski dengan alutsista yang minim, Kopassus mampu menjadi pasukan elite nomor tiga di dunia. .
"Kita membentuk pasukan antiteror, pasukan kita hebat-hebat, ada polisi, darat, laut dan udara. Pasukan teror Kopassus nomor tiga setelah Israel dan Inggris. Alat segitu saja nomor tiga, apalagi diperbarui, bisa nomor satu," kata Ryamizard di Jakarta, Rabu 13 April 2016.
Pernyataan Ryamizard itu merujuk pada program Discovery Channel Military edisi Tahun 2008 yang pernah membahas tentang pasukan khusus terbaik di dunia.
Advertisement
Pujian juga dilontarkan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo pada acara Peringatan HUT ke-64 Kopassus di Markas Komando Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur.
Jenderal Gatot mengibaratkan Prajurit Kopassus seperti angin, tidak ada tempat bisa bersembunyi dari Kopassus selama masih ada angin. Jadi, Prajurit Kopassus bisa masuk dan keluar tanpa terlihat, makanya mereka hanya berlatih, berlatih dan berlatih.
"Kopassus tidak perlu dipuji, mati tanpa pusara dan prestasi tanpa pujian, karena mereka memang dibentuk sebagai prajurit-prajurit yang siap melaksanakan tugas," tegas Panglima TNI, Sabtu (16/4/2016).
Ya, hari ini memang bertepatan dengan HUT Kopassus. Dengan perjalanan panjang selama 64 tahun, Kopassus terus membuat namanya menjadi harum. Pasukan yang dilatih untuk siap di segala misi khusus di medan perang ini memang memiliki nama yang cukup disegani di mancanegara.
Bergerak dalam grup-grup kecil yang dibuat secera fleksibel dalam setiap pertempuran yang dijalankan, Kopassus muncul sebagai tim elite militer kebanggan Indonesia yang kerap mengemban tugas sulit dan berbahaya.
Operasi Mapenduma
Salah satu tugas sulit itu adalah ketika prajurit Kopassus mendapat perintah untuk membebaskan sandera dalam Operasi Mapenduma pada tahun 1996. Operasi pembebasan sandera Mapenduma adalah operasi militer untuk membebaskan peneliti dari Ekspedisi Lorentz '95 yang disandera Organisasi Papua Merdeka.
Personel yang terlibat dalam operasi ini sebagian besar berasal dari Kopassus dan dipimpin oleh Komandan Kopassus ketika itu Brigadir Jenderal TNI Prabowo Subianto. Selain itu, operasi juga dirancang dengan melibatkan kesatuan Marinir, Batalion 330 Kostrad, dan Batalion Organik Kodam VIII Trikora sebagai pasukan penyekat.
Pada 8 Januari 1996 didapat kabar dari Mission Aviation Fellowship cabang Wamena kepada Kodim Jayawijaya, Irian Jaya, sejumlah peneliti yang tergabung dalam Ekspedisi Lorentz '95 disandera oleh OPM kelompok Kelly Kwalik di desa Mapenduma, Kecamatan Tiom, Kabupaten Jayawijaya (kini Provinsi Papua).
Sejumlah proses negosiasi dilakukan dan melibatkan banyak pihak, seperti ABRI (kini TNI), Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan Palang Merah Internasional (ICRC). Namun, semuanya tak membuahkan hasil.
Pada 2 Maret 1996, Kelly Kwalik menyatakan tidak akan melepaskan sandera sebelum mendapat pengakuan pemerintah RI terhadap keberadaan negara Republik Papua Barat. Namun keinginan mereka tak bisa dipenuhi dan proses negosiasi terus diupayakan.
Â
Advertisement
Baca Juga
Pada 9 Mei 1996 pembebasan 12 sandera (lima sandera peneliti biologi Indonesia dan tujuh peneliti asing dari Inggris, Belanda, dan Jerman) buntu. Upaya pembebasan secara damai selama hampir empat bulan gagal total. Pesta babi yang diminta pentolan gerombolan, Kelly Kwalik, sebagai syarat pembebasan sehari sebelumnya, diingkari Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Segera setelah ada izin dari otoritas tertinggi di Jakarta dan persetujuan wakil negara-negara yang terlibat dalam negosiasi, delapan helikopter jenis Bell 412 dan Bolco 105 milik Dinas Penerbang AD bersegera mengangkut tim pemukul dari Kopassus menuju sasaran. Tujuannya Mapenduma, lokasi para sandera disekap pemberontak.
Operasi Pembebasan
Namun, sandera yang sudah dibawa kabur gerombolan ke tengah hutan gagal ditemukan. Operasi pencarian pun dilanjutkan kembali. Satuan pemburu jejak yang telah menguntit gerakan gerombolan selama berbulan-bulan diperintahkan mempertajam daya endusnya.
Unit ini terdiri dari anggota Kopassus dan tentara asal Papua yang sudah mendapat pelatihan memburu jejak dan survival di hutan. Hasil penelusuran tim inilah yang menentukan titik koordinat keberadaan para penyandera.
Pada 14 Mei 1996, Kepala Staf Umum ABRI Letjen Soeyono menyatakan setelah empat bulan ditempuh upaya persuasif tidak membawa hasil, termasuk melalui ICRC, maka ABRI memutuskan untuk membebaskan sandera dengan operasi militer.
15 Mei 1996, drama penyanderaan selama 129 hari itu diakhiri. Satu unit (sembilan orang) pemukul Kopassus menjepit gerombolan. Upaya ini berhasil menyelamatkan sembilan sandera oleh tim pencegat dari Batalion 330.
Dari 11 sandera yang masih bersama OPM, 9 sandera dibebaskan dengan selamat, sedangkan dua yang lain, keduanya warga negara Indonesia, masing-masing Navy Panekenan dan Yosias Mathias Lasamahu, meninggal dunia dibacok OPM.
Di pihak OPM, menurut keterangan ABRI, 8 orang tewas dalam pertempuran jarak dekat, dua ditahan. Sedangkan dari pihak ABRI yang didukung 400 personel dari berbagai kesatuan, sebagian besar dari Kopassus, tak satu pun menjadi korban. Namun, tercatat lima anggota TNI gugur akibat jatuhnya sebuah helikopter saat penyerbuan.
Operasi Mapenduma merupakan salah satu tugas paling sulit yang pernah dihadapi pasukan Kopassus, karena berada di wilayah yang sangat sulit secara geografis serta melibatkan sandera sipil. Sehingga, personel Kopassus harus memikirkan keselamatan para sandera sebelum memutuskan untuk bertempur dengan pihak lawan.
Dari sekian penugasan, Kopassus selalu memberi bukti seperti slogan yang mereka pegang erat: Lebih Baik Pulang Nama daripada Gagal di Medan Tugas.