Liputan6.com, Jakarta - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ‎menemukan dan menyita sejumlah uang di rumah Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi. Temuan uang itu terjadi saat penyidik menggeledah rumah mantan Kepala Biro Hukum dan Humas MA tersebut beberapa hari lalu.
Saat itu, penyidik KPK menggeledah rumah dan ruang kerja Nurhadi terkait kasus dugaan suap pengajuan peninjauan kembali perkara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarief mengatakan penyidik meyakini uang yang ditemukan di kediaman Nurhadi itu terkait perkara hukum.
"Kita punya keyakinan bahwa uang itu ada hubungannya dengan perkara," ujar Syarief di Jakarta, Selasa (26/4/2016).
Oleh karena itu, lanjut dia, penyidik masih mendalami sumber-sumber uang tersebut. Ini untuk menguatkan keyakinan penyidik.
"Kalau uang ada berhubungan di pengadilan, itu tidak mungkin tidak berhubungan dengan perkara," ujar Syarief. ‎Namun, KPK masih mencari tahu uang tersebut terkait perkara hukum apa.
Baca Juga
Sebelumnya, penyidik KPK menggeledah ruang kerja Nurhadi di Gedung MA, Jakarta Pusat, dan di rumahnya di Jalan Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Penggeledahan itu berkenaan ‎dengan penyidikan kasus dugaan suap pengajuan peninjauan kembali perkara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dari penggeledahan ini, KPK menyita sejumlah dokumen dan uang. Namun, belum diketahui berapa jumlah dan peruntukan dari uang yang disita tersebut.
Nurhadi kemudian dicegah berpergian ke luar negeri oleh KPK. 'Stempel' cegah diberikan agar ketika sewaktu-waktu Nurhadi dibutuhkan keterangannya oleh penyidik, dia sedang tidak bera‎da di luar negeri.
Pada kasus ini, KPK menetapkan 2 orang sebagai tersangka hasil operasi tangkap tangan yang dilakukan Rabu 20 April 2016. Keduanya, yakni Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, dan seorang swasta bernama Doddy Aryanto Supeno.
KPK menemukan uang Rp 50 juta dalam bentuk pecahan Rp 100 ribu dari operasi itu. Uang yang ditengarai bukan pemberian pertama tersebut diduga kuat merupakan 'pelicin' terkait pendaftaran atau pengajuan perkara peninjauan kembali (PK) di PN Jakarta Pusat.
KPK kemudian menjerat Doddy selaku pemberi dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara Edy sebagai penerima dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 64 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1‎ KUHP.