Dapil DPR Mana yang Paling Banyak Habiskan Dana Kunker?

Sekretaris Jenderal DPR Winantuningtyastiti Swasanani menjelaskan tentang dana kunker usai diperiksa KPK.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 13 Mei 2016, 19:33 WIB
Diterbitkan 13 Mei 2016, 19:33 WIB
dugaan kunker Fiktif
dugaan kunker Fiktif (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Tata kelola keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kembali menjadi sorotan. Khususnya, pada laporan hasil kunjungan kerja (kunker) para legislator ketika reses.

Ada dugaan kunker fiktif yang menimbulkan potensi kerugian negara hingga Rp 945 miliar.

Sekretaris Jenderal DPR RI Winantuningtyastiti Swasanani mengatakan, akan mengecek dugaan tersebut. Dia kemudian menjelaskan, laporan keuangan reses para anggota DPR biasanya langsung diberikan ke masing-masing fraksi.

Hal ini sesuai dengan Tata Tertib DPR Tahun 2014, Pasal 211 ayat 6. Aturan itu menyebutkan, hasil kunjungan kerja dilaporkan secara tertulis oleh anggota kepada fraksi masing-masing.

"Setiap anggota dikumpulkan di fraksi. Setiap anggota kunker ke dapil, harus menyampaikan laporan ke fraksinya," ujar wanita yang akrab disapa Winan itu usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Jumat (13/5/2016).

Namun dia menegaskan, setiap anggota DPR mendapatkan dukungan administrasi keuangan dan pendampingan sesuai Tatib DPR tahun 2014 Pasal 211 Ayat 7.

Lalu, dapil manakah yang paling besar dananya?

"Itu tergantung. Tergantung tiap dapil. Kalau Dapil Papua lebih mahal dari Jawa Tengah. Misalnya (untuk) tiket pulang-perginya," ungkap Winan.

Sebelumnya, beredar surat Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang berisi keraguan Kesekretariatan Jenderal (Kesekjenan) DPR terkait laporan kunjungan kerja anggota dewan. Kunker itu diduga menimbulkan potensi kerugian negara mencapai Rp 945.465.000.000.

Wakil Ketua Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno mengakui adanya surat yang dikeluarkan pihaknya atas keraguan Kesekjenan DPR tersebut.

"Benar itu," kata Hendrawan saat dihubungi di Jakarta, Kamis 12 Mei 2016.

Hendrawan menjelaskan, surat itu berawal dari audit BPK dengan melakukan uji petik. Ternyata, terdapat laporan yang tidak memenuhi persyaratan, sehingga sulit diverifikasi.

"Apakah memang kegiatan yang dilakukan anggota dewan itu bisa dibuktikan atau tidak gitu loh," ucap Hendrawan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya