Liputan6.com, Jakarta - Telepon berdering di ruang redaksi Liputan 6 SCTV. Di ujung sana, seorang pria memberi pengakuan mengejutkan: dia punya gambar video kekerasan di kampus Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
“Video ini merekam bagaimana para senior memukuli para junior di STPDN. Ini saya jual,” kata pria tak dikenal itu yang Liputan6.com kutip dari "Di Balik Layar Liputan 6" yang merekam 20 tahun perjalanan Liputan 6 SCTV. Rencananya, buku ini diluncurkan Senin 23 Mei 2016..
Sontak redaksi gempar. STPDN memang sedang disorot. Pada 2 September 2003, muncul kasus tewasnya Praja STPDN Wahyu Hidayat. Ia baru saja kembali ke kampus setelah liburan di kampung halaman di Cianjur, Jawa Barat. Malam harinya, keluarga menerima telepon yang mengabarkan bahwa Wahyu dirawat d RS Al Islam, Bandung. Keluarga kaget dan segera bersiap berangkat ke Bandung. Hanya sepuluh menit kemudian, ada telepon lagi: Wahyu telah meninggal dunia.
Keluarga mulai curiga. Pada 5 September, STPDN memecat tiga senior Wahyu, belasan praja diturunkan kelasnya, dan beberapa diturunkan nilai moralnya. Mereka dianggap melanggar kode kehormatan dan tata krama praja STPDN. Segera publik dan media massa mengendus ada yang tak beres dalam kematian Wahyu.
Polres Sumedang mulai bergerak. Tiga praja yang dipecat itu lalu ditetapkan menjadi tersangka. Mereka dijerat dengan pasal penganiayaan yang menyebabkan orang lain meninggal dan pasal penganiayaan yang direncanakan.
Di Bogor, makam Wahyu dibongkar dan jenazahnya diotopsi. Tim forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang dipimpin dr Mun’im Idris menyimpulkan adanya tanda-tanda kekerasan di tubuh Wahyu. Mun’im menjelaskan ada bekas benda tumpul yang menyebabkan saluran pernapasan almarhum terjepit. Juga ditemukan luka lecet dan memar.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Berita-berita terus digulirkan. Lalu telepon dari pria tidak dikenal itu datang. Kabar itu segera ditindaklanjuti. Senior Manajer Pemrosesan Berita Liputan 6, R. Nurjaman Mochtar bertanya, “Berapa harganya, Mas?”
Pria di ujung telepon menyebut angka puluhan juta rupiah. Nurjaman bilang, dia harus berdiskusi dulu dengan awak redaksi lain. Nurjaman membawa ke rapat pimpinan. Semua mengatakan mahal, tidak usah dibeli. Nurjaman bersikeras dan menemui Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV, Karni Ilyas. “Bang, ini video STPDN harus kita beli.”
“Elu yakin, Nur?” kata Karni.
“Kalau ini sampai gak jadi heboh, saya yang ganti uangnya.”
Lalu sambil menandatatangani surat, Karni bilang, “Nanti kita ganti bareng-bareng.”
Pertemuan di Hotel
Pada sore harinya, Nurjaman dan pria tak dikenal itu kembali berkomunikasi. Kesepakatan tercapai: harga video itu Rp 40 juta. Nurjaman segera mentransfer uang ke koresponden Liputan 6 SCTV di Bandung, Patria Hidayat. Giliran Patria yang berperan. Ia mencairkan uang itu di bank. Kesepakatannya, uang diberikan secara tunai.
Keesokan harinya, Patria dan pria tak dikenal itu memutuskan bertemu di sebuah kamar hotel di dekat Stasiun Kereta Api Bandung. Lokasi ini tak jauh dari kantor Polsek Cicendo dan kantor Polwiltabes Bandung -- yang sekarang menjadi Polrestabes Bandung.
“Sengaja di hotel, bukan di rumah saya atau si pemilik CD, demi keamanan. Jika membahayakan keselamatan saya atau pemilik CD, saya bisa langsung meminta bantuan polisi yang kantornya dekat hotel,” kata Patria.
Pertemuan berlangsung malam hari. Patria menunggu di dalam kamar. Cukup lama. Kemudian, terdengar ketukan di pintu hotel. Setelah pintu dibuka, terlihat seorang pemuda bertubuh agak kurus dan kulit putih dengan wajah penuh kecemasan. Setelah berbincang sebentar, video dalam bentuk compact disc (CD) yang ditunggu, diperlihatkan pada Patria. Kemudian, melalui alat pemutar CD yang dibawa Patria, mereka menyaksikan video dimaksud. Pesawat televisi hotel dipinjam.
Patria lalu menghubungi Nurjaman, “Kang, videonya sudah saya lihat.”
Nurjaman merespons, ”Ada gak pukul-pukulannya?”
“Ada, Kang, lengkap.”
“Ya, sudah, ambil. Uangnya serahkan.”
Uang dalam kantong keresek itu berpindah tangan. Patria menerima CD. “Setelah itu si pemilik CD bergegas pulang dan sejak saat itu hingga saat ini kami tidak pernah berkomunikasi. Wajahnya pun sudah tidak saya ingat lagi karena pertemuan begitu singkat dalam suasana yang tidak kondusif,” kenang Patria.
Malam itu juga Patria meluncur ke kantor redaksi Liputan 6 di Jakarta. Sementara, pria itu menelepon Nurjaman dan mengatakan, “Pak, transaksi sudah selesai. Setelah ini bapak tidak bisa menelepon lagi karena nomor ini akan saya buang,” kata dia.
Pada Senin 21 September 2003, video itu ditayangkan pertama kali dengan nama program "Siksaan di Balik Tembok STPDN." Di gambar terlihat kekerasan yang dilakukan para praja senior terhadap yunior mereka. Para yunior dipukul dan dihantam dengan sepatu lars di bagian perut atau dada. Peristiwa yang direkam itu terjadi pada Juni 2003, sebagai bagian dari acara pemberian lencana drum band.
Advertisement
Pro-Kontra Setelah Penayangan
Besarnya animo pemirsa, mendorong tim redaksi menayangkan ulang program "Siksaan di Balik Tembok STPDN." Tak cukup dua kali. Namun tayangan ketiga nyaris tak jadi, karena sidang redaksi mempertimbangkan pro-kontra yang merebak usai dua tayangan. Tapi, Karni Ilyas bilang, masih layak ditayangkan ketiga kalinya. Nama program dipoles menjadi "Kekerasan di Balik Tempok STPDN."
Benar saja, animo pemirsa makin besar. Rating-nya mencapai 9,6 – capaian tertinggi Liputan 6 SCTV sampai hari ini. Tapi Liputan 6 juga memanen banyak protes. Kebanyakan berasal dari para alumnus dan praja STPDN. Umumnya menganggap pemberitaan Liputan 6 berat sebelah, karena mendorong pembubaran STPDN.
Liputan 6 mencoba berimbang dengan mewawancarai para alumnus STPDN. Alumnus STPDN Bahtiar Baharuddin, misalnya, dalam wawancara dengan presenter Rosianna Silalahi mengakui telah terjadi kekerasan di kampus STPDN. Ada pembiasaan dalam sistem pendidikan di sana.
Begitupun, mereka tak terima bila STPDN dituding cuma bisa mencetak intelektual penyiksa. Mereka mengecam keras tayangan Siksaan di Balik Tembok STPDN. "Terkesan pembentukan opini agar lembaga ini dibubarkan. Sama dengan menangkap tikus sekaligus membakar gudangnya," kata Bahtiar, Selasa 22 September 2003.
Menurut Bahtiar, pemukulan dan penyiksaan dalam tayangan itu memang nyata. Tapi itu tidak sepenuhnya benar. "Kita tidak dididik untuk jadi Adolf Hitler," ujar Bahtiar. Menurut Bahtiar, sekolah plat merah itu tak perlu dibubarkan, tapi sistemnya yang harus diubah. Pola rekrutmen pun harus diganti, termasuk kurikulum yang berlaku.
Lalu giliran Departemen (kini Kementerian) Dalam Negeri, induk STPDN, yang bereaksi. Pada 26 September 2003, Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri Siti Nurbaya menyerahkan surat keberatan penayangan Liputan 6 tentang kasus penganiayaan sejumlah praja di STPDN kepada Dewan Pers. Menurut Siti, gambaran penganiayaan praja di STPDN dinilai mempertajam keresahan di masyarakat. Sebab, usulan agar STPDN dibubarkan terus mengalir
Redaksi Liputan 6 memiliki pendirian berbeda. Karni Ilyas menolak anggapan bahwa penayangan video kekerasan di STPDN merupakan sensasi belaka. Menurut Karni, redaksi Liputan 6 hanya menggambarkan kembali apa yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan masyarakat. Selain itu, di balik tewasnya Wahyu Hidayat, ada pelanggaran hukum. “Nah, sesuatu yang melanggar hukum itu terkait dengan kepentingan publik,” katanya.