Liputan6.com, Jakarta - Penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri saat ini turun ke lapangan memburu tersangka baru bisnis vaksin palsu di Jakarta. Pada Selasa dini hari tadi, penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim kembali mengejar terduga lain kasus dugaan pemalsuan vaksin untuk balita tersebut.
"Sekarang sedang ada pengejaran, mudah-mudahan pagi nanti sudah ada hasilnya," ucap Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Brigadir Jenderal Pol Agung Setya di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (28/6/2016) dini hari.
Baca Juga
Dijelaskan Agung, perburuan terduga yang baru ini dilakukan di wilayah Jakarta. Tetapi, ia enggan menjelaskan lebih jauh siapa pelaku tersebut. Sebab, hal ini untuk mencegah para pelaku dalam praktik vaksin anak palsu itu melarikan diri.
Advertisement
"Nanti kami rilis hasilnya," ujar Brigjen Pol Agung Setya.
Sebelumnya, sudah ada 15 tersangka yang ditangkap penyidik Bareksrim. Mereka adalah J yang memiliki apotik dan toko obat di kawasan Bekasi, Jawa Barat. Pemilik apotik lain yang ditangkap adalah MF, dia punya apotik di Kramat Jati, Jakarta Timur. Kemudian T dan S yang diduga berperan sebagai kurir.
Lalu ada HS, H, R, L, dan AP yang diduga berperan sebagai produsen atau pembuat vaksin palsu di kawasan Bekasi. Sedangkan AP biasanya menjalankan bisnis haramnya di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten.
Kemudian ada tiga distributor yang ditangkap di kawasan Subang, Jawa Barat. Selain itu, polisi juga menetapkan seorang tersangka yang berperan sebagai pencetak label.
Terakhir, penyidik meringkus pasangan suami istri dari wilayah Semarang, Jawa Tengah berinisial M dan T. Mereka diduga berperan sebagai distributor penjualan vaksin palsu.
DPR Soroti Kelemahan Sistem Pengawasan
Terkait peredaran vaksin palsu bagi balita, Komisi IX DPR menggelar rapat kerja dengn Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Djuwita F Moeloek, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Ikatan Doter Anak Indonesia (IDAI).
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menduga, langgengnya peredaran vaksin palsu hampir selama 13 tahun, tidak akan terjadi tanpa adanya campur tangan pihak pelayanan kesehatan yang ada.
"Intinya, pasti ada kesalahan dalam tata sistem pembelian barang, walaupun bila menurut runutan melalui e-katalog sudah sangat ketat sekali," kata Dede di ruang Komisi IX Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 27 Juni 2016.
Sebab, menurut dia, selama ini dalam proses pembelian hingga pengiriman terhadap produk obat-obatan kepada pihak pelayanan kesehatan, baik rumah sakit dan poliklinik harus melalui e-katalog.
"Namun, ada kebocoran dan kebocoran ini bisa terjadi jika ada oknum di dalam sistem tersebut, karena semua pembelian melalui e-katalog, yang belanja (obat-obatan) melalui sistem online, di mana dari distributor jelas, pengiriman dan pemesanan sudah sangat jelas," Dede menambahkan.
Namun demikian, politikus Partai Demokrat ini mengaku belum mengetahui secara rinci pihak-pihak yang ikut mengambil keuntungan dengan bermain mata bersama para tersangka pembuat vaksin palsu tersebut.
"Karena (beredarnya vaksin palsu) hanya bisa terjadi bila ada oknum yang coba mengambil keuntungan dari sistem tersebut. Nah, saya belum tahu detail siapa pelaku-pelakunya yang katanya ada farmasi, apoteker dan juga sampai ada main mata antara dokter rumah sakit hingga dinas kesehatan, tapi ini belum jelas," ia memaparkan.
Meski demikian, sambung Dede, Komisi IX dengan terbongkarnya kasus tersebut lebih memberikan penegasan kepada Menteri Kesehatan untuk memastikan dampak yang terjadi.
"Saya sudah tegaskan kepada Menkes yang terpenting saat ini adalah bahwa sudah berapa lama vaksin palsu terjadi dan kemudian apakah berdampak terhadap bayi atau anak-anak kita yang mendapat vaksin. Karena saya beberapa bulan lalu mendapat laporan tentang seorang anak ketika mendapatkan vaksin lalu panas tinggi kemudian meninggal," Dede menegaskan.
Hujan Pertanyaan
Sementara, anggota Komisi IX DPR Saleh Daulay langsung menghadiahkan bertubi-tubi pertanyaan yang ditujukan kepada Menkes Nila F Moelok, terkait terbongkarnya pembuatan dan peredaran vaksin palsu bagi bayi yang telah menjadi perhatian publik.
Bahkan, Saleh mempertanyakan maksud tanggapan dari pihak Menkes melalui media sosial Twitter terhadap kasus tersebut.
"Saya tidak puas mendapatkan penjelasan Menkes di twitter yang mengatakan bahwa hanya 1 persen perdaran vaksin yang terjadi baik di DKI, Banten, dan Jawa Barat," tanya Saleh.
Pernyataan Menkes itu, sambung Saleh, sebagai bentuk penyepeleaan masalah yang mengatakan bahwa hanya 1 persen saja peredaran vaksi palsu yang terjadi hampir 13 tahun lamanya.
"Itu menyepelekan masalah namanya. Itu tidak bisa dibenarkan, ini yang saya katakan bahwa kalau pemerintah sudah mulai meremehkan permasalahan," ketus dia.
Padahal, lanjut Saleh, pemerintah dituntut melalui konstitusi untuk mampu menjaga dan melindungi setiap warga negaranya, bukan justru menyepelekan. "Padahal sudah ada bukti adanya pelanggaran konstitusi di mana pemerintah tidak dapat melindungi masyarakatnya," politikus PAN tersebut menandaskan.
Jawaban Menkes
Menanggapi berbagai pernyataan dan pertanyaan Komisi IX, Menkes Nila F Moelok mengatakan pihaknya sepakat membenahi sistem yang dinilai lemah. Ia pun mengaku setuju, pemalsuan vaksin yang sudah beredar lama tersebut suatu kejahatan yang harus ditindak serius.
"Saya setuju jika ini suatu kejahatan yang betul-betul harus kita lakukan tindakan. Karena ini tentunya tidak dibenarkan untuk melakukan pemalsuan yang menyangkut kesehatan baik anak sampai seluruh masyarakat," kata Nila.
Nila memastikan, pihaknya akan segera melakukan langkah-langkah konkret terkait hal tersebut dan akan segera berkoordinasi dengan kepolisian agar semua jaringan pemalsu vaksin bisa segera tertangkap semua.
"Kami akan melakukan langkah lanjutan untuk menyelesaikan masalah. Kami akan betul bekerjasama dengan polisi dalam hal ini Bareskrim, atau Kapolri untuk kiranya menyelesaikan masalah ini sampai tuntas," Menkes menegaskan.
"Kita harus mengetahui distribusinya ke mana saja. Kemudian juga siapa yang terkena dan bagaimana mengatasi yang terkena," Nila menambahkan.
Selain itu, Nila menuturkan, pihaknya juga telah berkoordinasi dengan BPOM dan IDAI untuk meminta spesifikasi vaksin palsu tersebut agar bisa memastikan kandungan berbahaya apa saja dari vaksin palsu itu.
"Kami telah berkoordinasi dengan BPOM, IDAI beberapa hari yang lalu. BPOM kami minta konten dari vaksin. Ini kami hanya mendengar dari media. Waktu itu di Metro, dikatakan polisi ada isinya cairan infus dan gentanisum," ujar Menkes.
Untuk itu BPOM akan memeriksa uji laboratorium apa yang menjadi konten tersebut. "Namun karena ini barang sitaan, kita tak bisa mengambil begitu saja dan memeriksanya," Menkes Nila F Moeloek menandaskan.
**Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.
Advertisement