Liputan6.com, Jakarta - Keselamatan pasien terdampak kasus vaksin palsu menjadi perhatian utama bagi Satuan Tugas (Satgas) vaksin palsu. Mereka lebih mementingan para kesehatan pasien, namun tak mengenyampingkan proses investigasi dan langkah pencegahan hal serupa terulang.
Kepala Satgas vaksin palsu Maura Sitanggang menyatakan, pekerjaan satgas hanya di dua bagian saja, yakni investigasi dan aspek kesehatan.
"Untuk kesehatan paling penting, yang penting pasien selamat, jadi tanpa melihat permasalahan yang sedang berjalan kita mementingkan pasien safe," ujar Maura di Gedung Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu 17 Juli 2016.
Dengan fokus yang jelas tersebut, satgas lebih bekerja ekstra untuk pendataan, verifikasi, dan imunisasi wajib atau vaksin ulang jika terkena vaksin palsu. Soal ranah hukumnya serta penyelesaian di instansi-instansi kesehatan maupun di fasilitas kesehatan serupa klinik, puskesmas dan lainnya, Maura tak ambil pusing.
"Kalau soal back up itu masalah manajemen setiap institusi, mereka harus bertanggung jawab mereka juga ada back up dari asosiasi dan sebagainya," terang Maura.
Soal tanggung jawab institusi dan fasilitas kesehatan serta dokter-dokter yang ditangkap karena diduga menggunakan vaksin palsu itu, Maura meminta pihak yang berwenang untuk melihat tingkatan kesalahan dan peran mereka dalam kasus ini.
"Kesalahan ini kan juga bisa berjenjang. Misalnya dokter itu tidak tahu jika vaksin itu palsu. Jadi dia hanya sebagai pengguna. Itu ini tidak bisa dikatakan salah. Tetapi misalnya, dia tahu dan mengatakan kepada yang menjual yang tidak resmi. Apalagi kalau dia tahu tetapi tetap dijual itu sudah merupakan kesalahan, berarti sengaja melakukan kesalahan," terang Maura.
Untuk mengungkapkan apakah seorang pasien kena vaksin palsu, satgas melakukan verifikasi yang cukup rumit. Mereka harus melihat rekam medik pasien yang diduga jadi korban vaksin palsu, tapi menurut Maura data rekam medik itu tak bisa sembarangan.
"Rekam medis itu sebenarnya suatu yang sifatnya rahasia. Tidak secara awam, kalau punya terus dikeluarkan begitu saja itu tidak benar. rekam medis ini juga untuk kepentingan penyidikan dan kami harus melihat apa yang diberikan," beber Maura.
Meskipun Satgas mendapati rekam medik seorang yang diduga korban penggunaan vaksin palsu, mereka tak bisa langsung mengidentifikasi vaksin yang digunakan apakah palsu atau hanya karena si pasien memiliki penyakit lain dan ada reaksi di tubuhnya setelah di vaksin.
Di rekam medik tersebut, hanya memuat data-data kasar saja, belum mendetail. Sehingga Satgas membutuhkan bantuan penyidik dari kepolisian.
"Di rekam medis, tercatat terimunisasi tapi nama obatnya kan tidak ketahuan, itu harus kita telusuri lagi. Atau dari Kemenkes ada ditulis kemudian kita mencurigai nama vaksinnya termasuk dalam list palsu ternyata yang diambil Bareskrim dan kita uji lab kita uji BPOM dan benar ternyata palsu," ucap dia.
Itu jugalah yang menjadi alasan rumah sakit, fasilitas kesehatan, puskesmas, satgas dan polisi enggan memberikan rekam medis. Menurut perempuan yang juga menjabat sebagai Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan ini, jika rekam medis itu jatuh ke tangan yang tak berkompeten dan pihak yang lalai, rekam medis itu bisa mengacaukan data kesehatan seseorang.
"Jadi kalau rekam medis diambil oleh masyarakat kita akan kehilangan data. Itu kerahasiaan seseorang. Tapi itu akan diambil oleh kita (untuk penyidikan) dan Bareskrim juga berwenang untuk mengambil itu," tutup Maura.