Liputan6.com, Jakarta - Di gendongan ibunya, Ulfi Silviana tak kunjung berhenti menangis. Bocah perempuan berusia 3 tahun itu terus meronta-ronta meski ibunya, Sriah, melontarkan berbagai bujukan. Bujukan seorang ibu tak kuasa meredakan tangis itu.
Satu tahun lalu, Ulfi sempat diserang sakit panas hampir sebulan. Sriah dan suami pun sempat panik. Sriah khawatir demam berkepanjangan tersebut bakal berujung buruk buat buah hatinya. Perempuan 28 tahun itu memeriksakan Ulfi ke puskesmas setempat. "Kata dokter, gembelnya (rambut gimbal) mau tukul (tumbuh)," cerita Sriah kepada Liputan6.com, Kamis (4/8/2016).
Advertisement
Diagnosis dokter puskesmas tersebut mengurangi kekhawatiran Sriah akan penyakit yang mengancam anaknya. Dia memilih bersabar membesarkan Ulfi yang kini diberi predikat anak gembel.
Masyarakat Dataran Tinggi Dieng yang berada di wilayah administratif Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, mempercayai Ulfi sebagai yang dipilih leluhur. Pemangku adat masyarakat Dieng, Naryono, menjelaskan terpilihnya anak seperti Ulfi ditandai dengan munculnya rambut gimbal. Ulfi terlahir seperti bayi pada umumnya. Namun pada perkembangannya, kata Naryono, leluhur memilih anak ini dan memberkahinya dengan penampilan fisik yang unik.
Rambut-rambut yang tumbuh di kepala Ulfi saling menempel membentuk untaian besar. Naryono mengatakan, kepercayaan masyarakat Dieng menyebut rambut gimbal tersebut muncul lantaran ada makhluk mendiami tubuh Ulfi. Menurut Naryono, selalu ada anak berambut gimbal--disebut juga sebagai anak bajang berambut gembel--di setiap generasi masyarakat Dieng.
Naryono melanjutkan, kepercayaan setempat menyebutkan anak-anak gembel merupakan titisan dari Mbah Kolo Dete dan Nini Dewi Roro Runci. Nini Dewi ini dipercaya berasal dari Roro Kidul. Dengan demikian, mereka menyebut anak-anak gimbal ini sebagai titipan anak bajang. Pemahaman ini menjadikan anak-anak gimbal punya posisi istimewa. Apa yang diinginkan anak gimbal haruslah dipenuhi. Sebab, permintaan itu bukan berdasarkan keinginan sang anak.
Lantaran kepercayaan akan titisan leluhur yang mengalir di tubuh anak-anak berambut gimbal, Naryono melanjutkan, masyarakat menganggap rengekan Ulfi sebagai perwujudan permintaan leluhur. "Ya itu bajangnya yang minta. Dan semua permintaan si bajang, harus dituruti. Harus dikabuli," ucap Mbah Naryono kepada Liputan6.com pada Jumat (5/8/2016).
Prapto Yuwono, ahli kebudayaan Jawa dari Universitas Indonesia, menyebut kepercayaan ihwal titisan leluhur merupakan ciri khas masyarakat Jawa. Menurut Prapto, masyarakat Jawa memahami ada dunia gaib yang harus dihormati. Penghormatan ini membuat masyarakat Jawa selalu bisa memadukan budaya dan agama dalam praktik kehidupan mereka. "Ini sama seperti orang Jawa percaya setiap gunung ada penunggunya," ucap Prapto.
Keistimewaan yang diberikan masyarakat Dieng kepada anak gimbal, Prapto melanjutkan, merupakan cara mereka menghormati leluhur. Puncaknya penghargaan ini adalah upacara pemotongan rambut gimbal sesuai permintaan anak. Ini menjadikan pemotongan rambut anak gimbal tak semata sekadar mencukur anak bajang. Melainkan juga bagaimana mereka memperlakukan leluhur. Lantaran itu, pemotongan rambut gimbal butuh upacara adat.
Prosesi Cukur Rambut Anak Gimbal
Upacara pemotongan rambut gimbal menjadi peristiwa paling istimewa untuk warga Dieng. Setiap tahun, warga menghelat prosesi adat untuk memotong anak bajang dari kepala anak-anak Dieng. Dalam kurun lima tahun terakhir, upacara ini dilaksanakan dalam acara Festival Kebudayaan Dieng dan digelar setiap awal Agustus.
Upacara adat ini diawali dengan napak tilas yang diikuti sesepuh-sesepuh Dieng. Para sesepuh ini berjalan mengunjungi sejumlah tempat yang dianggap keramat oleh warga setempat. Salah satu tempat yang dikunjungi adalah Kompleks Candi Arjuna, yang merupakan kompleks candi Hindu beraliran Syiwa. Di candi tersebut, sesepuh meletakkan sesaji yang berisi kembang dan dedaunan.
Selepas dari Candi Arjuna, mereka beranjak ke Kawah Sileri. Di kawah ini, uap panas terus keluar lantaran ada panas bumi di sekitar kawah. Di sana, mereka kembali menaruh sesaji dedaunan, dilengkapi beberapa buah pisang, dupa yang dibakar, dan minyak wangi. Tak lupa, sesepuh ini berdoa. Selepas berdoa, sesaji dilemparkan ke kawah. Seketika, ada arus yang berputar di kawah. "Ya memang seperti itu, malah pernah uap panas menyembur ke kami, tapi kami tidak terbakar, tidak apa apa," kata Naryono menjelaskan peristiwa napak tilas.
Sehari selepas napak tilas, acara utama digelar. Arak-arakan kirab budaya menjadi pembuka acara. Ulfi dan anak-anak berambut gimbal lainnya, sudah didandani. Maklum, Ulfi dan anak-anak gimbal lain adalah anak-anak terpilih yang hendak dipotong rambut. Mengenakan kebaya dan udeng atau ikat kepala berwarna putih serta kain lurik, anak gembel diarak keliling desa.
Perjalanan dimulai dari kediaman Mbah Naryono. Setelah kemenyan dibakar, doa-doa dilafalkan, perjalanan pun dilakukan. Iringan doa, tarian, dan lagu daerah terus menggema sepanjang jalan. Layaknya raja, anak gembel diperlakukan begitu spesial di hari yang memang spesial untuk mereka. Tidak seperti para pemangku adat dan masyarakat lainnya, anak gembel beserta ibunya dipersilakan untuk menaiki kereta berkuda.
Berbagai raut, bentuk, dan rupa terpancar dari wajah anak gembel. Ada yang kegirangan, ada pula yang menunjukan raut ketakutan. Ketegangan mendominasi. Tidak tahu apa yang akan terjadi dengan mereka. Yang jelas, ruwatan ini mereka yang minta. "Oh ya harus, harus anaknya atau gembelnya yang minta (rambut dipotong). Kalau bukan permintaannya, gimbalnya akan kembali. Pernah ada yang seperti itu," ucap Mbah Naryono menerangkan.
Selepas arak-arakan, kereta kuda yang membawa anak gimbal berhenti di pelataran Kompleks Candi Arjuna. Candi Hindu bergaya Syiwa yang ditemukan pada 1814 ini menjadi tempat utama acara potong rambut gimbal. Saat itu, matahari sudah cukup hangat menerpa badan di tengah udara dingin di dataran tinggi Dieng. Anak-anak gembel ini pun satu persatu turun dari kereta dan berjalan ke arah panggung yang sudah dipersiapkan.
Mereka kemudian duduk berjajar dipangku orangtuanya. Tepat di hadapan mereka, berjejer sejumlah permintaan yang sebelumnya mereka utarakan. Ada-ada saja memang yang diminta anak gembel sebagai syarat ruwatannya. Alhasil, yang semula tidak ada pun diada-adakan. Setelah puas permintaanya terpenuhi, anak-anak ini dipanggil satu persatu. Untaian rambut gimbal dengan berbagai bentuk yang sudah ada beberapa tahun belakangan, kemudian dipotong. Helai per helai anak bajang jatuh ke tangan Mbah Naryono. Lelaki 65 tahun itu tersenyum. Sebab, dia teringat peristiwa 60 tahun silam. “Dulu saya gembel,” kata Naryono.
Advertisement