KPK Pelajari Keterangan Nazaruddin soal E-KTP dan Gamawan Fauzi

Ketua KPK mengatakan belum bisa memastikan langkah apa yang akan diambil dalam pengembangan kasus ini.

oleh Oscar Ferri diperbarui 28 Sep 2016, 23:49 WIB
Diterbitkan 28 Sep 2016, 23:49 WIB
20160615-Vonis M. Nazaruddin-Jakarta- Helmi Afandi
M. Nazaruddin tersangka Wisma Atlet saat akan mengikuti sidang vonis di pengadilan Tipikor, Jakarta,Rabu (15/6) Nazarudin divonis 6 tahun penjara denda 1 miliar subsider 1 tahun. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengatakan pihaknya akan mempelajari lebih dulu "nyanyian" Muhammad Nazaruddin dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan E-KTP. Nazaruddin menuding eks Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi terlibat kasus ini.

"Jadi, nanti saya akan coba mengumpulkan informasi terkait ini. Dipelajari dululah," ucap Agus di Puri Imperium Office Plaza, Kuningan, Jakarta, Rabu (28/9/2016).

Dia mengatakan pihaknya perlu mendapat laporan dulu dari penyidik. Karena itu, dia belum bisa memastikan langkah apa yang akan diambil dalam pengembangan kasus ini.

"Saya perlu mendapat laporan dulu ya, jadi saya belum tahu, biar penyidik lapor dulu. Coba nanti saya teliti dulu. Saya belum tahu secara detail karena yang paling tahu kan penyidik," ucap dia.

Pun begitu, soal pemanggilan terhadap Gamawan, dia belum bisa memastikan. Tapi kalau memang diperlukan, terbuka kemungkinan Gamawan dipanggil untuk diperiksa.

"Belum tahu. Kita pelajari dulu," kata Agus.

Baru Satu Tersangka

Pada Selasa kemarin, Nazaruddin juga diperiksa KPK dalam kasus ini. Kelar diperiksa, Nazaruddin kembali menyebutkan soal keterlibatan pihak lain dalam kasus E-KTP. Dia merujuk pada mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi. Nazaruddin pun berharap KPK menetapkannya sebagai tersangka.

"Sekarang yang pasti E-KTP sudah ditangani oleh KPK. Kita harus percaya dengan KPK. Yang pasti Mendagrinya waktu itu (Gamawan Fauzi) harus tersangka," ucap Nazaruddin selesai diperiksa.

‎KPK telah mendalami kasus E-KTP pada tingkat penyidikan hingga dua tahun lebih. Pada kasus ini, KPK baru menetapkan satu tersangka, yakni Sugiharto.

Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, itu dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Sugiharto juga berperan sebagai pejabat pembuat komitmen dalam sengkarut proyek senilai Rp 6 triliun itu. Dia diduga telah menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 2 triliun.

Temuan BPK

‎Adapun berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilakukan pada semester I tahun 2012 silam, ditemukan adanya pelanggaran dalam pelaksanaan tender e-KTP, yakni melanggar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pelanggaran tersebut telah berimbas kepada penghematan keuangan negara.

Dalam auditnya, BPK menemukan ketidakefektifan pemakaian anggaran dalam proyek ini sebanyak 16 item dengan nilai Rp 6,03 miliar, dan tiga item senilai Rp 605,84 juta. Kemudian terdapat lima item yang diindikasikan merugikan keuangan negara senilai Rp 36,41 miliar, dan potensi kerugian negara sebanyak tiga item senilai Rp 28,90 miliar.

Selain itu, BPK juga menemukan pelanggaran dalam proses pengadaan proyek e-KTP.‎ Dari hasil audit BPK juga disimpulkan bahwa konsorsium rekanan yang ditunjuk, yakni Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), tidak dapat memenuhi jumlah pencapaian e-KTP tahun 2011 yang telah ditetapkan dalam kontrak. Hal tersebut terjadi karena PNRI tidak berupaya memenuhi jumlah penerbitan e-KTP tahun 2011 sesuai kontrak.

Dalam audit BPK disebutkan juga terdapat "kongkalikong" yang dilakukan antara PT PNRI dengan Panitia Pengadaan. Persekongkolan itu terjadi saat proses pelelangan, yakni ketika penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya