Fraksi PDIP: Usulan PPP Presiden Harus WNI Asli Diskriminatif

Menurut Basarah, semangat Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum dan setelah perubahan sebenarnya sama, yang beda adalah cara penafsiran.

oleh Liputan6 diperbarui 10 Okt 2016, 03:27 WIB
Diterbitkan 10 Okt 2016, 03:27 WIB
Jokowi dan SBY
Presiden Jokowi menerima kunjungan Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka (Liputan6.com/ Ilyas Istianur Praditya)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR RI Ahmad Basarah menilai usulan PPP tentang amandemen UUD 1945 yang mengatur soal syarat menjadi Presiden RI harus WNI asli tidak sesuai dengan politik hukum negara.

"Usulan PPP untuk mengubah ketentuan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan agar berubah menjadi Presiden Indonesia ialah orang Indonesia Asli, di mana makna Indonesia asli yang dimaksudkan adalah pribumi merupakan usulan yang ahistoris dan tidak sesuai dengan politik hukum negara yang ingin menghapuskan diskriminasi dalam segala bentuk utamanya karena SARA," kata Ahmad Basarah di Jakarta seperti dikutip Antara, Minggu (9/10/2016).

Menurut dia, dikatakan ahistoris karena sejatinya Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan, yang menyebutkan Presiden Indonesia ialah orang Indonesia asli juga tidak pernah dimaksudkan untuk membedakan hanya warga negara Indonesia pribumi yang dapat menjadi Presiden dan warga negara Indonesia non-pribumi (peranakan) dibatasi tidak dapat menjadi calon Presiden.

Kehadiran Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 naskah asli (sebelum perubahan) pada waktu itu dilatarbelakangi persiapan kemerdekaan Indonesia masih berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Jepang.

"Untuk menghindar dari kemungkinan dicalonkannya seorang Jepang menjadi Presiden Indonesia yang masih baru, maka frasa Indonesia asli dicantumkan. Dengan kata lain makna Indonesia asli adalah bukan orang asing atau lebih khususnya dalam konteks waktu itu adalah bukan orang Jepang," ujar Basarah.

Dengan demikian, lanjut dia, makna Presiden ialah orang Indonesia asli waktu itu bukan dimaksudkan membuat perbedaan pribumi atau non-pribumi melainkan orang Indonesia atau orang asing. Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 kemudian dilakukan perubahan saat dilakukan perubahan UUD 1945 pada tahun 1999-2002.

Hanya Beda Penafsiran

Landasannya karena dalam perkembangannya Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 ternyata rawan menimbulkan multitafsir yaitu Indonesia asli oleh sebagian pihak dimaknai pribumi dan non-pribumi.

"Untuk itulah dilakukan perubahan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 dengan rumusan yang lebih menjamin kepastian dan tidak menimbulkan multitafsir yaitu calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri," jelas Basarah.

Dengan demikian, tegas dia, semangat Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum dan setelah perubahan sebenarnya sama saja. Yang beda adalah cara penafsiran saja.

"Usulan untuk memasukkan kembali kalimat Presiden ialah orang Indonesia asli yang dimaknai sempit pribumi dan non-pribumi selain ahistoris juga bersifat diskriminatif, karena membedakan hak menduduki jabatan publik karena keturunan," imbuh Basarah.

Dengan kata lain, jika pasal 6 ayat 1 UUD 1945 sebelum perubahan dihidupkan kembali dan frasa orang Indonesia asli dimaknai sebagai pribumi, maka warga negara Indonesia keturunan Arab, China dan lain sebagainya, meskipun dia warga negara Indonesia sejak kelahirannya maka tidak dapat menjadi Presiden Indonesia.

"Kalau kemudian mengikuti usulan PPP, hal itu berarti tokoh-tokoh seperti Anies Baswedan, Alwi Shihab, Kwik Kian Gie, Jaya Suprana dan lain-lain tidak dapat menjadi Presiden Indonesia," kata Wakil Sekjen DPP PDIP Bidang Pemerintahan itu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya