Liputan6.com, Jakarta - Meski sudah tidak menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad tetap memberikan masukan positifnya terhadap pemberantasan korupsi.
Samad mengatakan, untuk mengurangi tingkat korupsi di sebuah negara, harus ada kombinasi antara represif dan penegakan hukum progresif.
Baca Juga
"Makanya, untuk mengeliminasi korupsi di negara yang tingkatnya tinggi, haruslah bersinergi antara sistem repressive dan penegakan hukum progressive tanpa pandang bulu, harus simultan," kata Samad, dalam dalam seminar nasional anti-korupsi di Universitas Indonesia, Depok, Sabtu (12/11/2016).
Advertisement
Samad mengatakan, selama menjadi pemimpin KPK, ia selalu membuat roadmap pemberantasan korupsi agar tepat sasaran.
"Roadmap pemberantasan korupsi bertujuan agar tidak serampangan. Makanya kita golongkan jadi dua, grand corruption (korupsi besar) dan petty corruption (korupsi kecil). Grand corruption bukan hanya jumlah korupnya yang besar, tapi juga pelakunya yang punya kekuatan," papar dia.
"Makanya, jangan heran ada penanganan KPK kepada pelaku korupsi yang nominalnya tidak terlalu besar, tapi pelakunya memiliki kekuatan seperti aparat penegak hukum, hakim, atau jaksa," ujar Samad.
Menurut Samad, grand corruption terjadi lantaran 'by system'. Di mana, keberhasilan menangkap pelaku utamanya belum tentu memberantas sistemnya.
"Pas zaman saya, saya melakukan penggabungan (repressive dan progressive). Karena kalau cuma tangkap pelakunya, sistemnya masih terus bisa jalan. Untuk itu, kita yakin kalau sistemnya sudah diketahui, maka tidak lagi terulang lagi (korupsi)," tutur Samad.