Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Tata Usaha negara (PTUN) Jakarta memenangkan gugatan yang dilayangkan warga Bukit Duri terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Gugatan tersebut terkait kebijakan Ahok yang menggusur warga Bukti Duri untuk normalisasi kali Ciliwung.
"Putusannya keluar tanggal 5 Januari jam 2.20 sampai 5.30," kata Kuasa Hukum warga Bukit Duri, Vera Wenny Soemarwi, kepada Liputan6.com, Jumat (6/1/2017).
Dari poin-poin gugatan yang diajukan warga Bukit Duri, ia menjelaskan, hanya satu yang tidak dipenuhi majelis hakim. Yakni, soal penundaan penggusuran yang dilakukan Pemerintah Kota Jakarta Selatan (Pemkot) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov).
Advertisement
"Petitum yang tidak dikabulkan adalah soal penundaan eksekusi penggusuran paksa. Sebenarnya sudah tidak relevan lagi karena sudah digusur. Surat Peringatan dilayangkan 18 Agustus 2016, sedangkan kami daftar tanggal 20 Agustus 2016," ungkap Vera.
Meski Pemprov DKI Jakarta menempuh upaya hukum, seperti banding, ia menjelaskan, tetap putusan PTUN Jakarta harus dijalankan. "Karena ini gugatan admistrasi negara, meski ada upaya hukum, tetap harus dijalankan oleh pemprov," tegas dia.
Dalam amar putusannya majelis hakim memerintahkan Pemprov DKI Jakarta wajib memberikan ganti rugi yang layak kepada warga Bukit Duri akibat dari diterbitkannya Surat peringatan (SP) 1, 2, dan 3, dihancurkannya rumah-rumah warga, dan dirampasnya tanah-tanah warga tanpa kompensasi yang layak.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib memberikan ganti rugi yang layak kepada warga Bukit Duri akibat dari diterbitkannya SP 1, 2, dan 3, dihancurkannya rumah-rumah warga dan dirampasnya tanah-tanah warga tanpa kompensasi yang layak.
Pelaksanaan pembebasan tanah-tanah warga Bukit Duri tidak berdasarkan pada tahap-tahap dalam UU Pengadaan Tanah yaitu inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, penilaian ganti kerugian, musyawarah penetapan ganti kerugian, pemberian ganti kerugian, pelepasan tanah instansi.
Pelanggaran asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan dan keselarasan. SP 1, 2, dan 3 melanggar peraturan perundang-undangan.