Wajah Pasar Senen, dari Masa VOC hingga Kini

Kisah Senen dari pasar becek, sarang pencopet, tempat pelacuran, hingga markas kumpul seniman

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 20 Jan 2017, 10:13 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2017, 10:13 WIB
20170119-Pasar-Senen-Tempo-Dulu
Setelah era kemerdekaan atau sekitar 1950-an, pasar ini juga menjadi tempat tongkrongan favorit para seniman, sebelum mereka akhirnya 'bergeser' ke Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, yang didirikan pada 1968. (santijehannanda.com)

Liputan6.com, Jakarta - Pasar Senen di Jakarta Pusat sudah berulang kali terbakar. Kejadian terakhir terjadi pada Kamis, 19 Januari 2017 dengan sumber api dari los aksesori. Kebakaran itu cukup besar, sehingga membuat petugas pemadam secara situasional melarang para pedagang kembali untuk mengambil barang dagangannya.

Embusan angin dan banyaknya warga yang menonton juga membuat upaya pemadaman sedikit terhambat. Bahkan hingga hari ini, upaya pemadaman di empat lantai Pasar Senen masih dilakukan.

Namun, bisakah Anda bayangkan bagaimana kondisi Pasar Senen pada awalnya di tahun 1770? Pasar Senen, yang merupakan pusat perbelanjaan terkemuka di Tanah Air, masih berupa kios bambu yang beratapkan rumbia. Pelukis Johannes Rach yang pernah melukis situasi di Pasar Senen memberi judul “Pasar Snees”.

Snees adalah julukan orang Belanda terhadap orang Tionghoa. Pasar Senen, kala masih menjadi pasar tradisional pada 1960-an, memang sebagian besar pemiliknya merupakan orang Tionghoa.

Alwi Shahab dalam Maria van Engels, Menantu Habib Kwitang menyebut pada 1770 saat Rach melukis Pasar Senen, peristiwa pembantaian orang Tionghoa baru 30 tahun terjadi. Pada 1740, sekitar 10 ribu orang Tionghoa dibantai oleh pihak kolonial Belanda dalam suatu huru-hara di kawasan Glodok. Sejak saat itulah banyak dari kalangan ini yang menyingkir ke Pasar Senen dan Jatinegara.

Dibangun Justinus Vink


Pasar Senen dibangun oleh seorang tuan tanah kaya bernama Justinus Vink. Ia membangun Pasar Senen bersamaan dengan "saudara kembarnya," Pasar Tanah Abang, pada 30 Agustus 1735.

Vink membeli lahan di Pasar Senen dari anggota Dewan Hindia bernama Cornelis Chastelein seharga 39 ribu ringgit pada 1733. Chastelein lantas menggunakan uang yang diperolehnya untuk membangun perkebunan di Srengseng Sawah, Lenteng Agung, serta Depok dan sekitarnya.

Pasar Senen sempat digadang-gadang menjadi trade center yang beroperasi selama 24 jam. Pasar ini diperbesar dan dibangun kembali pada 1826 setelah terjadi kebakaran. Lokasinya sangat strategis di antara kota kolonial dan pribumi, dengan beberapa perkampungan di dekatnya, serta bioskop dan gedung sandiwara.

Pada saat itu Pasar Senen dijadikan objek penataan oleh Pemerintah Kota Jakarta. Listrik masuk setelah perang, dibangun kembali dengan gaya modernis di bawah Sukarno pada 1960-an dengan nama mentereng: Proyek Pasar Senen. Setelah hancur selama kerusuhan Malari pada 1974, Pasar Senen kemudian dibangun kembali.

Pada 1980, terminal bus di lapangan Banten dipindahkan ke situ. Menyusul kemudian dibangun stasiun kereta api. Pasar Senen pun menjelma menjadi Segitiga Senen dengan pusat perbelanjaan, hotel mewah, kantor, dan menara apartemen di bekas Pecinan.

Namun sayangnya, kegiatan ekonomi yang meriah di sana menimbulkan ekses negatif, yakni munculnya “sarang pencopet” di wilayah itu. Sekelompok preman Jakarta, yang dikenal sebagai Cobra dengan pemimpinnya Bang Pi’i alias Kolonel Syafei, malah dijuluki “Raja Copet.”

JJ Rizal, sejarawan Betawi, menyatakan itu bukan berarti Bang Pi’i adalah tukang copet pula. “Seperti terangkum dalam sketsa SM Ardan, bahwa ketika ada yang kecopetan lalu disuruh melapor ke Bang Pi’I, artinya Bang Pi’I ini jago yang ditakuti di wilayah Senen, sampai-sampai copet pun tunduk,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Bang Pi’I melalui organisasinya, Cobra, memang berjasa besar menjaga keamaan Kota Jakarta di masa revolusi sampai-sampai Presiden Sukarno mengangkatnya sebagai menteri.

Jadi Sarang Pencopet


Jerome Tadie dalam Wilayah Kekerasan di Jakarta (2009) menyebutkan di Senen, pencopet terutama terpusat di beberapa tempat tertentu. Mereka terutama mangkal di sekitar Blok 6 pada siang hari. Pada sore hari, pukul 17.00, mereka pindah ke terminal bus dan mangkal di ujung jalan masuk Pasar Senen, tempat yang paling ramai di situ. Kira-kira dua puluh pencopet bakal berkerumun di situ.

Di terminal bus, para pencopet berada di dekat warung makan dan tempat parkir sebagian besar Metro Mini, dan bagian belakang terminal bus (sisi timur). Bahkan menurut Jerome Tadie, Terminal Pasar Senen diibaratkan seperti “sekolah pencopet.” Penumpang yang banyak, terutama pada jam sibuk, serta bus yang berjejalan hampir bersentuhan merupakan kesempatan untuk lolos dari perhatian orang dan melarikan diri di tengah-tengah massa atau sela-sela mobil.

Jerome Tadie juga menjelaskan, faktor yang menguntungkan lain yang menyuburkan pencopetan adalah, barang yang diambil dari pemiliknya mudah dijual kembali di sepanjang jalur Pasar Senen. Misalnya telepon genggam atau perhiasan emas.

Sebagian besar perhiasan emas dijual kembali di tukang gadai yang mangkal di trotoar Pasar Senen. Sementara Pasar Kembang Sepatu, di sebelah selatan Kramat Bunder dan Pasar Poncol di sisi lain rel kereta api juga menjadi tempat penadahan dan penjualan kembali hasil pencurian, utamanya barang elektronik dan telepon genggam.

Pernah Menjadi Tempat Pelacuran Kelas Bawah


Yang juga mencolok dari berkumpulnya segala aktivitas di Senen adalah munculnya komplek pelacuran. Jerome Tadie mencatat, di sebelah utara, ada sebuah warung kecil berbentuk tenda yang dibuat dari terpal untuk berlindung dari hujan. Ada papan yang dijadikan meja untuk tempat meletakkan bir, dua bangku tempat pelacur dan muncikarinya menunggu pelanggan.

Di antara warung itu ada karaoke keliling yang melantunkan musik dangdut. Tamu dapat menyanyi dengan membayar beberapa rupiah. Ya, itu adalah Planet Senen.

Novel karya S. Puteradjaja (1972) menggambarkan bagaimana sesungguhnya wilayah ini:

"Dan daerah paling hitam adalah daerah Senen yang dinamakan “planit”, jaitu daerah sarang pelatjur dan tempat pelatjuran. Penghuninya beribu-ribu orang. Didaerah ini bersarang juga segala macam bandit dan penjahat. Mulai bandit jang terkecil sampai bandit jang djadi buronan karena pembunuhan2. Bahkan tidak djarang orang2 buronan g-30-s/PKI bersembunji ditempat tersebut. Mereka menjamar dengan nama baru sebagai germo atau tukan jualan wedang atau lain2nja."

Alwi Shahab dalam “Penari Doger di Pasar Senen” menyebut nama Planet Senen muncul saat dua musuh bebeyutan (kala itu) Amerika Serikat dan Uni Soviet bersaing mengirimkan Sputnik ke luar angkasa, yakni di masa Presiden Kennedy dan PM Kruschev.

Planet Senen pernah sangat terkenal pada 1950-an akhir hingga 1960-an. Di daerah hitam ini, para PSK tinggal di bangunan yang terdiri atas kotak sabun dan kardus di pinggir rel kereta api. Malahan gerbong-gerbong barang kereta api yang diparkir di Stasiun Senen dijadikan tempat bercinta.

Alwi Shahab menyebutkan tempat beroperasinya para PSK di Planet Senen mulai dari pintu KA Senen sampai Tanah Nyonya di Gunung Sahari. Namun akhirnya karena aktivitas para PSK dirasa sudah menganggu, utamanya pihak Perum Kereta Api yang sering ingin menertibkan tapi tak mampu, Gubernur Ali Sadikin pun memindahkannya ke lokalisasi di Kramat Tunggak, Jakarta Utara—yang kini menjadi Islamic Center.

Tempat Kumpul Seniman Senen dan Lahirnya Orang Besar


Namun, tak hanya cerita berlapis “lendir”  yang diingat dari Pasar Senen. Pada zaman Jepang hingga 1960-an, Pasar Senen juga menjadi tempat berkumpulnya para seniman, termasuk penyair Chairil Anwar. Misbach Yusa Biran, pendiri Sinematek Indonesia yang juga suami Nani Wijaya, mengabadikan kisahnya dalam kumpulan cerpen Keajaiban di Pasar Senen (1971).

Dalam pengantar buku ini, Misbach menceritakan pemilihan Pasar Senen sebagai tempat berkumpul lantaran lokasinya dekat dengan gedung kesenian Pasar Baru. Selain itu, juga meneruskan tradisi anak Medan dan Minang yang menjadikan pasar sebagai tempat berkumpulnya seniman muda. Dari Senen pun mudah sekali menuju seantero Jakarta dengan menggunakan trem kota.

Tempat kumpul yang utama adalah kedai masakan Padang “Merapi”. Memang bukan restoran mewah karena tempatnya di depan toko Tionghoa yang diberi atap tambahan. Namun di sinilah “Anak-anak Senen”, demikian seniman Senen menyebut dirinya, berkumpul dan mencari cara untuk menjadi orang besar.

SM Ardan mencatat dari kumpulan anak-anak Senen ini lahir Sukarno M. Noor, Wahyu Sihombing, Sjumandjaja, Menzano, dan Sukanto S.A.

Pada 1960-an, seiring dengan pembongkaran Pasar Senen, dicarilah tempat baru untuk berkumpulnya para seniman. “Mereka sudah tak kumpul-kumpul lagi,” jawab Ajip Rosidi ketika ditanya Ali Sadikin soal nasib seniman Senen.

Maka, dicarilah tempat untuk berkumpul para seniman. Tapi di mana? Kemudian pada 7 Juni 1968 dilantiklah pengurus pertama Dewan Kesenian Jakarta, disusul pembangunan Pusat Kesenian Jakarta yang kemudian diberi nama Taman Ismail Marzuki. Peresmiannya dilakukan pada 10 November 1969 dengan acara Pesta Seni Jakarta.

Ya, Senen telah berkembang dan berubah sepanjang perjalanan Kota Jakarta, dari masa VOC hingga kini. Namun saat ini Pasar Senen dianggap terlalu tua hingga tak mampu menahan kebakaran.

"Untuk ke depan, saya katakan gedung itu sudah terlalu tua, sisi kebakaran sudah tidak dapat nahan lagi. Ini harus dibangun, bisa ditunggu seharusnya Februari sudah bisa ground breaking Pasar Jaya," tandas Ahok kepada Liputan6.com, Jumat, 20 Januari 2017.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya