Pengacara Ahok Nilai Saksi Bohong soal Penafsiran Surat Al-Maidah

Sidang ketujuh kasus penodaan agama ini telah menghadirkan empat saksi dari pihak jaksa penuntut umum (JPU).

oleh Liputan6 diperbarui 25 Jan 2017, 08:16 WIB
Diterbitkan 25 Jan 2017, 08:16 WIB
20170124-Sidang Ketujuh Ahok-Jakarta
Pengadilan Negeri Jakarta Utara kembali menggelar sidang kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Selasa (24/1). (Liputan6.com/Pool/Tino Oktaviano)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota tim kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok , Trimoelja D Soerjadi, menilai saksi pelapor Muhammad Asroi Saputra tak jujur tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 51.

"Dia mengatakan tidak boleh menjadikan pemimpin orang yang kafir. Pengertian kafir menurut dia adalah orang yang tidak mengucapkan kalimat syahadat. Kemudian saya tanya apakah Nasrani, Konghucu, Hindu, Buddha itu kafir? Dia tidak mau menjawab," kata Trimoelja seusai sidang Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa, 25 Januari 2017 malam.

Hal itu disinggung tim kuasa hukum Ahok saat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara bertanya kepada saksi Asroi tentang penafsiran dari Surat Al-Maidah ayat 51.

"Dia mengatakan jangan menjadikan orang nonmuslim sebagai pemimpin. Kan, berbeda antara kafir dan nonmuslim. Jadi keterangan-keterangan semacam itu membuat kami sebagai kuasa hukum apakah saksi itu bisa dipercaya atau tidak," ucap Trimoelja seperti dikutip dari Antara.

Sidang ketujuh kasus penodaan agama ini telah menghadirkan empat saksi dari pihak jaksa penuntut umum (JPU). Masing-masing dua saksi fakta dan dua saksi pelapor.

Saksi-saksi fakta itu, yakni Lurah Pulau Panggang Kepulauan Seribu Yuli Hardi dan Nurkholis Majid, pegawai tidak tetap Dinas Komunikasi, Informasi, dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta yang merekam pidato Ahok.

Selanjutnya dua saksi pelapor, yaitu Muhammad Asroi Saputra dan Iman Sudirman.

Ahok dikenai dakwaan alternatif, yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Menurut Pasal 156 KUHP, barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan, atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya