Liputan6.com, Jakarta - Bareskrim Polri menetapkan seorang tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Perbankan, terkait donasi aksi 411 dan aksi 212. Pegawai bernama Islahudin itu merupakan manajer di salah satu bank BUMN.
"Hanya Islahudin, ya. Karena ketidak hati-hatian," kata Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar di Jakarta, Selasa (14/2/2017).
Boy mengatakan, Islahudin melanggar pasal 2 Undang-undang Perbankan (UU 10/1998). Pasal tersebut berbunyi, "Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja:
Advertisement
a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank; tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap
b. ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)."
"Ini adalah perbantuan-perbantuan, sedang didalami kegiatan yang berkaitan dengan yayasan. Sementara dia menerima penempatan uang kemudian menggunakan uang itu," Boy membeberkan.
Di tempat sama, Kabareskrim Polri Komjen Ari Dono mengatakan, setiap bank memiliki standar kerja atau operasional.
"Karyawan bank tidak melaksanakan SOP perbankan, maka dia dapat diduga melanggar ketentuan perbankan," kata Ari.
Ketua Yayasan Keadilan untuk Semua, Adnin Armas, angkat bicara soal dugaan penyimpangan dana yayasan yang menyeret nama Ketua Umum Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI Bachtiar Nasir.
Menurut Adnin, rekening yayasan yang dikelolanya dipinjam sementara oleh GNPF MUI untuk menampung dana para donatur. Mereka menyumbang untuk membantu aksi 4 November (411) dan 2 Desember (212) 2016.
Peminjaman rekening juga didasari atas dasar saling percaya. Adnin dan Bachtiar yang merupakan Ketua Umum GNPF MUI, menjalin pertemanan cukup erat dengan Bachtiar Nasir. Rekening diserahkan pada GNPF MUI karena mendengar banyak donatur yang hendak menyumbang untuk Aksi Bela Islam saat itu.
"Kami sendiri kaget banget yang mau nyumbang banyak, harus dikemanakan uang itu, karena saya deket dengan Bachtiar Nasir, jadi rekening Yayasan ini digunakan. Lagi pula, ini untuk kepentingan umat," terang Adnin di kediamannya, di Depok, Sabtu 11 Februari 2017.
Tercatat sekitar 4 ribuan orang yang menyumbang untuk aksi tersebut. Jumlahnya beragam, dari puluhan ribu, ratusan, hingga jutaan rupiah. Nama-nama donatur tidak disebutkan dalam setiap menyumbang.
"Totalnya, sekitar Rp 3,8 miliar," sebut Adnin.
Dari jumlah yang didapat itu tersisa Rp 2 miliar. Adnin tidak merinci uang yang didapatkan itu digunakan untuk keperluan apa.
"Mengenai dana itu digunakan lebih bagus ke GNPF-MUI. Ya namanya ketua yayasan, saya hanya tanda tangan. GNPF-MUI yang lebih tahu uang itu," ujar Adnin.