Liputan6.com, Jakarta - Nama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok disebut-sebut masuk dalam daftar penerima fee proyek e-KTP. Informasi itu beredar di media sosial.
Menanggapi hal tersebut, Ahok menegaskan saat menjadi anggota DPR dialah orang yang paling keras menolak e-KTP saat itu.
"Saya waktu itu keras saja kenapa ada seperti itu. Saya paling keras menolak e-KTP," kata Ahok di Balai Kota DKI, Jakarta, Senin (6/3/2017).
Advertisement
Ahok mengaku baru mendengar soal isu tersebut. juga mempertanyakan apakah nama yang beredar adalah daftar penerima fee proyek E-KTP atau hanya daftar anggota Komisi II.
"Enggak tahu saya. Itu cuma daftar terima e-KTP atau daftar anggota Komisi II? Masukin daftar situ kan bisa saja. Yang mau bagiin bikin daftar terima apa enggak?" kata Ahok.
Mantan Bupati Belitung Timur itu menegaskan, saat ia menjadi anggota Komisi II DPR tegas menolak proyek e-KTP. Namun, jika proyek itu tetap dilaksanakan, Ahok saat itu mengusulkan untuk menggunakan bank daerah.
"Saya bilang, pakai saja bank pembangunan daerah, semua orang mau bikin KTP pasti ada rekamnya kok. Saya bilang ngapain habisi Rp 5 triliun-6 triliun. Lebih baik, kalau kamu ingin ke Bandung, misalnya, daftar aja di Kota Bandung. Lapor saja ke Bank Jawa Barat. Jadi kayak kartu mahasiswa," ujar Ahok.
Ahok menegaskan tak pernah menerima fee proyek e-KTP sebab dia tak pernah menerima uang yang bukan haknya. Hal itu ditunjukkannya, dengan mengembalikan uang perjalanan dinas yang lebih ke DPR.
"Yang pasti, uang perjalanan dinas lebih sehari dua hari saja saya balikin kok. Kamu cek saja. Perjalanan dinas enggak sesuai harinya saya balikin. Uang yang tidak dipotong pajak, pasti ini uang enggak bener. Orang sudah tahu siapa Ahok kok. Siapa berani kasih duit ke gua, langsung gua laporin ke KPK," tegas Ahok.
Sebelumnya, beredar daftar nama sejumlah orang yang pernah menjabat sebagai anggota DPR atau yang masih menjabat diduga menerima fee proyek e-KTP.
Tercatat sejumlah tokoh dan anggota DPR pernah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun itu.
Di antaranya, Ketua DPR Setya Novanto, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, mantan Mendagri Gamawan Fauzi, serta mantan anggota DPR Numan Abdul Hakim dan Rindoko Dahono Wingit.