Liputan6.com, Jakarta - Bagi sebagian masyarakat DKI Jakarta, mungkin sudah tidak asing lagi dengan Museum Fatahillah atau Museum Batavia, di kawasan Kota, Jakarta Barat.
Namun, tahukah sejarah di balik kemegahan gedung dua lantai yang dibangun pada 1710 itu? Di antaranya Galgenveld atau Lapangan Tiang Gantungan, yang kini menjadi halaman museum berkelir putih itu.
Seperti dikutip dari buku Kisah Betawi Tempo Doeloe Buku: Robin Hood Betawi, banyak cerita eksekusi mati mengerikan di Galgenveld, yang umumnya kasus perzinaan pada awal berdirinya Kota Jakarta.
Advertisement
Berbagai kasus menimpa para wanita dengan tuduhan perzinaan, seperti diungkapkan oleh Leonard Blusse, dalam disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, yang kemudian dibukukan dengan judul Persekutuan Aneh.
"Tapi, untuk mengisahkan cerita-cerita di atas, saya harus terlebih dahulu mengajak Anda ke Museum Sejarah DKI Jakarta di Jalan Falatehan 1, Jakarta Barat itu," demikian dikutip dari buku karya Alwi Shahab itu, Jakarta, Senin (27/3/2017).
"Gedung antik yang masih berdiri megah ini dulunya merupakan tempat eksekusi para tertuduh, ketika berfungsi sebagai stadhuis atau balai kota dan juga pengadilan. Di karangannya terdapat tiang gantungan."
Di antara ruangan lantai dua museum tersebut terdapat "pedang keadilan". Pedang yang panjangnya sekitar 1Â meter dan berwarna kehitam-hitaman karena termakan usia itu, menjadi saksi sejarah pemenggalan kepala.
"Tapi sayangnya para algojo kadang-kadang kurang profesional. Sering sekali setelah beberapa kali tebasan, baru kepala terhukum terpisah dari badannya," seperti tertulis dalam buku setebal 161 halaman itu.
Sebelum eksekusi berlangsung, pihak pengadilan lebih dulu mengajak rakyat beramai-ramai menyaksikannya di Galgenveld.
"Sejak hari-hari awal riwayat permukiman Batavia, Pemerintah VOC berusaha menghilangkan jiwa gelandangan dan kecabulan. Hingga hukuman yang kejam dan peraturan keras, merupakan praktik yang lazim berlaku," sebut Leonard Blusse dalam disertasinya, yang dikutip dalam buku tersebut.
Namun sayang, Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal keempat dan keenam Hindia Belanda itu tidak bisa memberikan contoh dalam membina rasa keadilan saat itu.
Eksekusi Perwira Tampan
Kisahnya, Jaques Speax, anggota Dewan Hindia Belanda yang kemudian menggantikan Coen, saat dipanggil pulang ke Belanda, telah menitipkan putrinya, Sara kepada Coen. Sara adalah hasil perkawinan Speax dengan gundiknya seorang wanita Jepang.
Oleh Coen, Sara yang baru berusia 13 tahun ini dipekerjakan sebagai seorang di antara dayang-dayang istrinya, Eva. Ramaja itu akhirnya tertangkap basah saat berkencan dengan kekasihnya, Cortenhoeff, yang berusia 17 tahun di kediaman Coen.
Cortenhoeff, yang merupakan calon perwira muda tampan, kemudian dihukum pancung. Sedangkan, Sara yang masih di bawah umur ditelanjangi dan dipertontonkan di depan umum di pintu masuk Bali Kota--yang kini menjadi Museum Fatahillah.
Coen menolak memberikan grasi walaupun para pendeta mendesaknya. Jaques Speax, kemudian menggantikan Coen (1629-1632), menolak ikut serta dalam kebaktian di gereja bersama para hakim yang mengadili putrinya.
"Sedangkan, para pendeta yang membela para hakim disingkirkan Speax ke kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa," tulis buku terbitan 2001 itu.
Blusse juga mencatat peristiwa sengketa hukum yang terjadi pada 1639 terhadap Catrina Casembroot dan teman-temannya yang berdarah Asia.
Catrina, janda Nicolaes Casembroot--seorang pedagang di Batavia, dituduh berzina dengan sejumlah laki-laki, baik ketika suaminya masih hidup maupun setelah meninggal. Kasus yang sama juga melibatkan Lucia de Coenja, yang merupakan teman dekat Catrina.
Sedangkan, Annika da Silva, seorang pribumi, istri Leendert Jacobs, seorang serdadu VOC, juga dituduh berzina saat suaminya masih hidup. Bahkan, Annika dituduh berusaha membunuh suaminya dengan cara meracuninya.
Keputusan pengadilan waktu itu: Catrina dibenamkan dalam tong berisi air. Tiga perempuan lainnya saat itu, diikat di tiang dan satu demi satu dicekik hingga meninggal. Tak hanya itu, wajah mereka juga dicap dan harta bendanya disita.
"Masih banyak lagi contoh pelaksanaan hukuman mati pada tiang gantungan di depan Balai Kota dengan pedang guilotone," tulis buku tersebut.
Selain itu, yang paling sering menjadi korban adalah para budak belian hanya karena persoalan sepele yang dilaporkan majikannya. Budak belian pada waktu itu merupakan kelompok penduduk terbesar di Batavia sampai awal abad ke-18.
"Adolf Heuken, penulis Jerman yang banyak menulis sejarah Jakarta, berpendapat keputusan hakim pada masa itu tidak selalu adil. Bahkan, kadang-kadang sangat tidak adil," demikian kutipan buku tersebut.
Advertisement