Liputan6.com, Jakarta - Makamah Agung (MA) kembali membuat blunder. Putusan atas permohonan uji materi Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nomor 1 Tahun 2016 yang mengatur masa jabatan Pimpinan DPD menjadi 2,5 tahun dan Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2017 tentang diberlakukannya 2,5 tahun masa jabatan pimpinan DPD pada periode 2014-2019 menuai masalah.
Dalam putusannya, Mahkamah Agung menyatakan kedua peraturan tersebut harus dicabut dan tidak bisa diberlakukan. Namun, dalam bunyi amar putusan terdapat kesalahan fatal.
Dalam amar putusan perkara Nomor 20 P HUM/2017 terdapat salah ketik di amar Nomor 3 yang berbunyi:
Advertisement
Memerintahkan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencabut Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tanggal 21 Februari 2017 tentang Tata Tertib.
Demikian pula dalam amar putusan perkara Nomor 38 P/HUM/2016 yang berbunyi:
Memerintahkan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencabut Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tanggal 10 Oktober 2016 tentang Tata Tertib.
Untuk kedua putusan, terdapat dua kesalahan yang sama. Pertama, yang disuruh mencabut putusan adalah Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD, padahal yang diperkarakan adalah DPD.
Pertanyaannya, DPRD mana yang harus mencabut dan apa urusannya DPRD mencabut putusan DPD yang jelas-jelas adalah lembaga tinggi negara?
Kedua, yang diperintahkan MA untuk dicabut adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016. Padahal, seharusnya yang dicabut adalah Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2017. Undang-undang dan Tatib DPD adalah dua produk hukum yang jauh berbeda, baik dari sisi kekuatannya serta lembaga yang mengeluarkan.
Pihak Mahkamah Agung mengakui telah terjadi kesalahan dalam pengetikan putusan tersebut dan berjanji akan segera memperbaikinya. Masalahnya, ini bukan kesalahan pertama yang dilakukan MA dalam putusannya.
Jika dirunut, sejumlah salah ketik kerap terjadi di lembaga ini. Mulai dari salah menuliskan vonis, angka, nama orang hingga tanggal. Berikut beberapa kesalahan di antaranya.
Miliar Jadi Jutaan
Kasus salah ketik ini berawal dari permohonan kasasi bernomor 2896 K/Pdt/2009, di mana Negara Republik Indonesia menggugat Yayasan Supersemar dan Soeharto yang diwakili ahli warisnynya. Penggugat yang diwakili Kejaksaan Agung (Kejagung) menggugat Yayasan Supersemar yang diketuai Soeharto karena dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Disebutkan, perbuatan melawan hukum itu lewat Peraturan Pemerintah (PP) No 15/1976 yang menentukan 50 persen dari 5 persen dari sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar. Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser mendapatkan uang sebesar USD 420 ribu dan Rp 185 miliar.
Dalam perjalanannya, dana yang seharusnya untuk membiayai dana pendidikan itu diselewengkan. Pada 27 Maret 2008, PN Jaksel mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada Negara sebesar USD 105 juta dan Rp 46 miliar.
PN Jaksel juga menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009. Di tingkat kasasi, putusan ini diperbaiki, namun terjadi kesalahan ketik.
Dalam putusan yang diketok pada 28 Oktober 2010 itu, Majelis Kasasi MA memerintahkan Yayasan Supersemar membayar uang denda dalam dua bentuk mata uang, yakni dolar AS dan rupiah.
Di bagian rupiah, seharusnya Supersemar membayar 75 persen dari Rp 185.918.048.904,75. Tapi, ada tiga angka yang tidak dituliskan majelis kasasi, yaitu angka '048.'
"Menghukum Yayasan Supersemar membayar kepada Penggugat 75 persen x USD 420 ribu = USD 315 ribu dan 75 persen x Rp 185.918.904 = Rp 139.229.178," putus MA yang diketuai Hakim Agung Harifin Tumpa dengan anggota Rehngena Purba dan Dirwoto.
Dalam putusan yang diketok pada 28 Oktober 2010 itu, seharusnya nilai 75 persen x Rp 185 miliar. Angka Rp 185 miliar itu sesuai dengan tuntutan Kejagung. Entah kenapa, Rp 185 miliar ini berubah menjadi Rp 185 juta dan hasil akhirnya denda yang seharusnya Rp 138 miliar menjadi Rp 138 juta.
"Ada salah ketik. Seharusnya Rp 138 miliar karena tidak terketik tiga angka nol menjadi Rp 138 juta," kata Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) ST Burhanuddin di kantornya, Jumat 19 Juli 2013.
Karena itu, Kejaksaan Agung memutuskan mengajukan PK terkait kesalahan pada salinan putusan MA dalam perkara Yayasan Supersemar. Apalagi, MA belum juga memerbaiki salinan putusan itu sejak diketok palu pada 2010.
Mahkamah Agung akhirnya mengkoreksi kesalahan ketik putusan kasasi dalam kasus Yayasan Supersemar. Koreksi ini tertuang dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) bernomor 140 PK/Pdt/2015 tertanggal 8 Juli 2015 yang mengharuskan Yayasan Supersemar membayar kerugian negara sekitar Rp 4 triliun.
"Mengabulkan PK Pemohon I (Negara Republik Indonesia), menolak PK Pemohon II (Yayasan Beasiswa Supersemar)," demikian bunyi amar putusan itu.
Advertisement
Diskon Vonis Penjara
Pada 23 Mei 2006, Hengky Gunawan dibekuk BNN di Yani Golf, Gunung Sari, Surabaya, Jawa Timur terkait aktivitasnya membangun lagi pabrik narkotika. Oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Hengky dihukum 15 tahun penjara. Vonis Hengky kemudian dinaikkan menjadi 18 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Surabaya. Di tingkat kasasi, MA menjatuhkan hukuman mati kepada Hengky.
Pihak Hengky kemudian mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi tersebut. Pada 16 Agustus 2011, PK Hengky dikabulkan. Duduk sebagai ketua majelis Imron Anwari dengan anggota Hakim Agung Nyak Pha dan Ahmad Yamani.
Sedianya, majelis hakim akan mengubah hukuman Hengky dari hukuman mati menjadi hukuman penjara selama 15 tahun. Namun, saat salinan putusan dikirim ke Surabaya, Hakim Agung Yamani mengurangi putusan itu dan mencoret amar serta menggantinya menjadi 12 tahun penjara.
Kasus ini membuat publik kaget. Pimpinan MA pun meminta Ahmad Yamani untuk mengundurkan diri karena terbukti lalai dalam menuliskan putusan. Pimpinan MA juga menyebut kesalahan Yamani itu kelalaian semata.
Namun, Ahmad Yani akhirnya dibawa ke sidang etik Majelis Kehormatan Hakim. MA dengan KY lalu membentuk Majelis Kehormatan Hakim (MKH) untuk menyidangkan Yamani.
Pada 11 Desember 2012, sidang etik Majelis Kehormatan Hakim digelar di gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Dalam persidangan itu, Ahmad Yamani didampingi anggota Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) Andi Samsan Nganro.
Putusan majelis sidang etik MKH bernomor 04/MKH/XII/2012 akhirnya memutuskan memvonis Ahmad Yamani dengan sanksi pemberhentian secara tidak hormat alias dipecat.
MKH memecat Yamani karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik hakim dan menilai pembelaan diri Yamani tidak didasarkan bukti-bukti yang cukup dan tidak bisa diterima secara logika.
Yamani merupakan Hakim Agung pertama di Indonesia yang dipecat oleh Majelis Kehormatan Hakim bentukan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Yamani juga menjadi Hakim Agung pertama yang menjalani sidang etik MKH.
Sugeng Berubah Subaidi
Kasus berubahnya nama pihak yang berperkara muncul dalam putusan kasasi yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) terhadap perkara nomor 2007 K/Pid.Sus/2011. Perkara itu atas nama Sugeng Riyono yang menjadi terdakwa kasus pengadaan lahan Pasar Induk Agrobis (PIA) Jemundo senilai Rp 12 miliar.
Sugeng yang juga mantan Kepala Biro Perlengkapan Provinsi Jawa Timur itu sebelumnya diadili bersama Sigit Subekti dan Aniek Susdiyatun yang telah dihukum 2 tahun penjara, sedangkan Teddy Rasphadi dan Jakoebous Musa dihukum 3 tahun penjara.
Mereka dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan lahan senilai Rp 12 miliar untuk Pasar Induk Agribisnis pada 2001. Dalam putusan kasasi itu, MA menguraikan seluruh dakwaan jaksa sepanjang 40 halaman.
Namun, tiba-tiba saja saat memasuki halaman 41, muncul dakwaan atas nama Achmad Subaidi. Dalam dakwaan disebutkan Subaidi bersama Abdusraie dan Wahyu Sutrisno melakukan tindak pidana korupsi KUD Dharma Bhakti Kecamatan Pandemawu, Pamekasan, Jawa Timur.
Meski dalam putusan MA itu mengadili Sugeng, tapi yang dibaca adalah tuntutan jaksa terhadap Subaidi pada 16 Maret 2011 dengan tuntutan 2 tahun penjara.
Subaidi sendiri sudah divonis bebas oleh PN Pamekasan pada 13 April 2011, yang ditindaklanjuti jaksa dengan mengajukan kasasi atas vonis tersebut.
Sementara, putusan kasasi Nomor 2007 menyatakan Subaidi dihukum 1 tahun penjara. Artinya, dia divonis bersalah untuk permohonan kasasi untuk terdakwa orang lain, yaitu Sugeng.
Pada Rabu 26 Agustus 2015, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan versi terbaru putusan Nomor 2007 K/Pid.Sus/2007 atas nama terdakwa Sugeng Riyono. Jika sebelumnya yang dihukum adalah Achmad Subaidi selama 1 tahun penjara, dalam edisi revisi yang dihukum adalah Sugeng selama 2 tahun penjara.
"Menyatakan terdakwa Drs Sugeng Riyono MM terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 2 tahun dan denda Rp 50 juta," demikian kutipan putusan kasasi Nomor 2007 K/Pid.Sus/2011 versi terbaru.
Majelis hakim pun berubah yaitu menjadi Djoko Sarwoko, Syamsul Rakan Chaniago, Krisna Harahap, Suhadi dan Leopold Luhut Hutagalung.
Advertisement
Tanggal Musyawarah Hakim
Pada 28 Februari 2012, Adi Sukma Kurniawan ditangkap di Jalan Raya Purworejo-Yogyakarta, tepatnya di Desa Keduren, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pada pukul 21.30 WIB. Dari tangan Adi petugas menyita narkotika jenis sabu seberat 0,011 gram beserta bong, korek api, dan 3 buah sedotan.
Oleh jaksa penuntut umum (JPU), pria kelahiran 1976 ini kemudian dituntut dengan hukuman penjara 4 tahun serta denda Rp 800 juta subsider 2 bulan. Atas tuntutan itu, PN Purworejo menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara pada 25 Juli 2012.
Tidak terima, Adi kemudian mengajukan banding. Oleh Pengadilan Tinggi Semarang, keputusan itu diperkuat pada 24 September 2012. Adi kemudian mengajukan kasasi. Berdasarkan rapat, Majelis Hakim Agung yang terdiri dari Artidjo Alkostar, Surya Jaya dan Sri Murwahyuni menolak kasasi Adi.
Dibuatlah petikan putusan perkara nomor 2341 K/PID.SUS/2012 tersebut dan dikirim ke pihak berperkara. Ternyata ada kesalahan pengetikan dalam petikan yang ditandatangani Panitera Muda Pidana Khusus Soenaryo itu. Kesalahan terjadi pada tanggal musyawarah, di mana tertulis Selasa 26 Februari 2012.
Padahal musyawarah dilakukan pada Selasa 26 Februari 2013, karena tidak mungkin musyawarah dilakukan sebelum peristiwanya sendiri terjadi. Atas kesalahan ketik ini, dikeluarkan putusan revisi dengan mencantumkan tanggal musyawarah hakim pada Selasa 26 Februari 2013.