Budaya Damai untuk Lawan Radikalisme

Terorisme dan radikalisme kembali menjadi isu hangat di Tanah Air karena bom Kampung Melayu.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Mei 2017, 06:28 WIB
Diterbitkan 28 Mei 2017, 06:28 WIB
Aksi Nyala Lilin di Lokasi Bom Kampung Melayu
assa dari Solidaritas Merah Putih menggelar aksi lilin dan tabur bunga di lokasi bom Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Kamis (25/5). Aksi tersebut sebagai bentuk malam solidaritas duka untuk bom Kampung Melayu.(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Tiga polisi meninggal dunia dan sejumlah warga luka-luka akibat bom Kampung Melayu, Jakarta Timur. Terorisme dan radikalisme kembali menjadi isu hangat di Tanah Air karena bom bunuh diri itu.

Akademisi dari Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero Maumere, Kabupaten Sikka, Philipus Tule menilai ada satu cara untuk melawan radikalisme. Salah satunya dengan mengusung budaya damai.

"Radikalisme dapat dilawan dengan mengembangkan wacana keagamaan baru dengan mengusung budaya damai," kata dosen Islamologi STFK Ledalero, Maumere, Sikka itu, seperti dilansir Antara, Sabtu 27 Mei 2017.

Menurut dia, kehadiran paham radikalisme yang marak diperbincangkan berbagai kalangan belakangan ini harus dihadapi dan dilawan dengan kekuatan nilai-nilai agama serta budaya yang telah lama hidup.

"Kekuatan utama masyarakat NTT dalam membangun toleransi dan kebinekaan terletak pada kemampuan masyarakatnya secara turun-temurun dalam menghayati agama dan kebudayaan secara seimbang," ujar Philipus Tule.

Dia menjelaskan, kata radikal tidak selalu bermakna negatif. Oleh karena itu, sebenarnya, radikal bisa dibawa ke arah positif.

"Memang sebagai orang beriman kita harus menjadi radikal, kembali ke fundamen atau dasar agama yakni kitab suci, Injil, Alquran, teologi, hadis, dan tradisi," ucap Philipus Tule.

Kata-kata itu, lanjut dia, akan bermakna negatif ketika ditambah dengan akhiran "isme", menjadi radikalisme, fundamentalisme, fanatisme yang mengedepankan kekerasan dan pemaksaan kehendak pada orang lain.

Pada sisi lain, imbuh Philipus Tule, akar radikalisme dan fundamentalisme adalah persoalan ekonomi, politik, dan penafsiran yang keliru terhadap agama.

Menurut dia, jika kehadiran paham-paham tersebut tidak dibendung dengan baik, maka dapat merusak tatanan hidup individu, masyarakat, organisasi, partai politik, hingga lingkungan pendidikan.

"Paham radikalisme di Indonesia telah mengintai remaja dan anak-anak muda kita yang masih labil untuk dijadikan pengikut atau anggota kelompok radikal," kata Philipus Tule.

Dia pun mengimbau semua komponen masyarakat bangsa harus terus meningkatkan kewaspadaan untuk membendung penyebaran paham-paham tersebut, dengan bersatu padu membongkar radikalisme lewat upaya-upaya deradikalisasi dengan menanamkan nilai-nilai cinta damai.

"Para tokoh agama juga harus bisa membina umatnya menjadi orang yang militan, tekun, berdoa, membaca kitab suci, dan taat beribadah,"Philipus Tule menegaskan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya