Liputan6.com, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengecam keras bentuk intimidasi dan pengekangan kebebasan berekspresi yang diduga dilakukan Front Pembela Islam (FPI).
Baca Juga
"Aksi anggota FPI mendatangi rumah pengguna media sosial yang dituduh menulis status bernada miring pada Pimpinan FPI Rizieq Shihab serta memaksa mereka meminta maaf di bawah ancaman pidana adalah tindakan teror yang tak boleh dibiarkan," kata Ketua AJI Suwarjono dalam keterangan tertulis, Jakarta, Senin (29/5/2017).
Advertisement
Dia menambahkan, dalam catatannya pada dua pekan terakhir ada sejumlah kejadian tersebut. Seperti kasus Indrie Sorayya, seorang pengusaha di Tangerang, Banten yang didatangi puluhan anggota FPI pada Minggu 21 Mei 2017. Mereka memprotes status Facebook Indrie yang dinilai melecehkan Rizieq Shihab.
"Intimidasi serupa dialami Fiera Lovita, 40, seorang dokter perempuan di Solok, Sumatera Barat. Penelusuran yang dilakukan SAFEnet, jejaring pendukung kebebasan berekspresi di Asia Tenggara, menemukan setidaknya ada 48 individu di seluruh Indonesia yang kini terancam diburu, diteror dan dibungkam dengan pola-pola kekerasan semacam ini," jelas Suwarjono.
Aksi main hakim sendiri yang dilakukan FPI tersebut dinilainya akan mengancam jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM) yang diatur Pasal 28 (E) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Karena itu, AJI mengecam tindakan FPI yang mengarahkan, atau setidaknya, membiarkan anggotanya memburu warga yang menggunakan haknya untuk berekspresi di media sosial.
"Keberatan atas pendapat seseorang seharusnya dihadapi dengan pendapat tandingan sehingga muncul diskursus yang sehat dan beradab di ruang publik, termasuk di media sosial," ujar dia.
AJI juga Mendesak Polri untuk melindungi hak berekspresi warga di ranah manapun termasuk media digital. Selanjutnya pihaknya juga mengecam tindakan polisi yang membiarkan intimidasi dan teror atas kebebasan berekspresi, bahkan memfasilitasi ancaman pidana dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atas status media sosial warga.
"Tindakan Polri semacam itu tidak bisa dibenarkan dan justru melanggengkan ketakutan di benak publik untuk mengungkapkan pikirannya secara bebas dan terbuka," terang Suwarjono.
Pihaknya pun mengimbau semua pihak untuk ikut aktif menjaga kebebasan sipil dan politik yang sudah dinikmati sejak era Reformasi. Dukungan bisa disampaikan dengan bersolidaritas pada korban di media sosial maupun turun tangan menekan pemerintah untuk konsisten menjaga hak sipil dan politik warga.
"Jangan biarkan siapapun merampas kebebasan dan hak-hak kita," tegas dia.