Liputan6.com, Jakarta - Persekusi kian marak di Indonesia. Setidaknya ada sekitar 60 kasus persekusi terjadi selama Januari-Mei 2017. Secara signifikan kuantitas persekusi meningkat pada Mei 2017.
Demikian data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). Koordinator Regional SAFEnet Damar Juniarto mengatakan, ada tujuh akun atau orang yang melapor menjadi korban persekusi pada Januari 2017. Kemudian terdapat tiga kasus persekusi pada bulan berikutnya.
Pada Maret 2017 terdapat dua kasus persekusi. Kemudian meningkat sebanyak 13 kasus pada April 2017. Jumlah persekusi meroket tajam pada Mei 2017 yakni sebanyak 43 kasus.
Advertisement
"(Persekusi) Diawali dari beberapa kota di Jawa, menyebar ke Kalimantan pada Februari, Maret-April meluas ke Sumatera, Mei merata secara global di seluruh Indonesia," beber Damar di Cikini, Minggu, 5 Juni 2017.
Dari serangkaian data tersebut, timbul pertanyaan dan bahkan desakan agar kepolisian bertindak adil. Sebab, persekusi dinilai sebagai sebuah aksi dan reaksi.
Artinya, persekusi itu muncul ketika seseorang melakukan semacam ujaran kebencian (hate speech). Kendati demikian tetaplah persekusi tidak dibenarkan.
Ujaran Kebencian
Salah satu pihak yang mendesak korban persekusi, yang melakukan ujaran kebencian, agar ditindak adalah Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid.
Ia menilai, persekusi lahir karena polisi cenderung lambat menindak kasus ujaran kebencian atau fitnah. Bahkan, polisi cenderung melakukan pembiaran.
"Tindakan persekusi karena dibiarkannya mereka melanggar hukum, yaitu hate speech maupun menyebarkan narasi kebencian, terhadap para tokoh Islam dan habib. Dilaporkan tapi tidak ada tindakan apa pun, kemudian warga mengambil tindakan," kata Hidayat di Kantor DPP PKS, Jakarta, Minggu, 4 Juni 2017.
Ia menganggap, kasus persekusi hanyalah asap atau akibat dari pembiaran tersebut. "Itu (persekusi) semuanya adalah asap dari api," ujar dia.
Karena itu, Hidayat meminta, polisi dapat menindak cepat kasus ujaran kebencian tersebut. Sehingga, masyarakat tidak menggunakan caranya sendiri untuk menindak pihak-pihak lainnya.
"Polisi harus betul-betul hadir melakukan tindakan yang adil. Siapa pun yang melanggar hukum, melakukan hate speech, atau melakukan tindakan yang memang tidak diperbolehkan oleh hukum, maka polisi harus melakukan tindakan," beber dia.
"Karena kalau itu dibiarkan ulama dicaci maki dan tokoh umat Islam dikriminalisasi dan itu dilakukan secara terus menerus dan dilaporkan terus menerus dan tak ada tindakan, itu yang kemudian menimbulkan tindakan (persekusi) di lapangan yang sesungguhnya tidak kita harapkan," Hidayat memungkasi.
Advertisement
Korban Tersangka
Pendapat bertolak belakang disampaikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Mereka meminta agar para korban persekusi tidak dijadikan tersangka (ujaran kebencian) atas pendapatnya yang dimuat di media sosial.
"Kami meminta kepolisian dan itu tidak hanya berupa kasus per kasus, tapi juga berupa tindakan kelembagaan mereka untuk tidak menjadikan korban persekusi sebagai tersangka," ujar Ketua YLBHI Asfinawati di Jakarta, Minggu, 4 Juni 2017.
Ia menduga, jika tindakan persekusi yang dilakukan sekelompok orang disambut polisi dengan menetapkan korbannya sebagai tersangka, berpotensi terus berulang.
"Karena tindakan kerumunan ini kan meminta mereka (korban) jadi tersangka. Kalau dituruti, mereka pasti akan berpikir itu (persekusi) boleh," tutur Asfinawati.
Mantan Direktur LBH Jakarta ini menuturkan, kebebasan berpendapat harus dijunjung selama dapat dipertanggungjawabkan. Ia berharap di era demokrasi ini tidak ada lagi upaya mencederai kebebasan berpendapat.
"Kalau yang menulis itu (korban persekusi) dianggap menghina dan ini kan di ruang digital, maka minta saja untuk minta maaf di ruang digital," ucap Asfinawati.