Pejabat Bakamla Terima Divonis 4 Tahun 3 Bulan, tapi...

Eko Susilo Hadi merasa diperlakukan tidak adil jika kasusnya itu hanya berhenti dengan vonis dirinya.

oleh Moch Harun Syah diperbarui 18 Jul 2017, 09:30 WIB
Diterbitkan 18 Jul 2017, 09:30 WIB
20161215-Kasus-Korupsi-Jakarta-Eko-Susilo-Hadi-HA
Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerja sama Badan keamanan laut (Bakamla), Eko Susilo Hadi saat dikawal petugas penyidik usai ditahan KPK, Jakarta, Kamis (15/12). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa kasus suap pengadaan monitoring satelit di Bakamla, Eko Susilo Hadi divonis 4 tahun 3 bulan kurungan penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan penjara. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa 5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan.

Terdakwa yang merupakan Deputi Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla mengaku menerima putusan majelis hakim PN Tipikor. Ia juga menyebut tidak akan mengajukan banding.

"Setelah berdiskusi dengan penasihat hukum dan sesuai pendirian saya, saya menerima putusan," kata Eko di PN Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (17/7/2017).

Kendati begitu, ia merasa diperlakukan tidak adil jika kasusnya itu hanya berhenti dengan vonis dirinya. Menurutnya, ada pihak lain yang juga harusnya bertanggung jawab.

Eko menuturkan, seharusnya Ali Fahmi selaku staf khusus Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Sudewo juga menjadi terdakwa. "Saya berharap dia disidangkan, itu saja," ujar Eko.

Majelis hakim menyebutkan, anggaran proyek tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara perubahan (APBN-P) Tahun 2016. Selain Eko, ada tiga pejabat Bakamla lain yang diduga menerima uang terkait pengadaan monitoring satelit. Mereka adalah Bambang Udoyo selaku Direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla sebesar 105 ribu dolar Singapura. Ia juga merangkap sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK).

Kemudian, ada Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan sebesar 104.500 dolar Singapura dan Tri Nanda Wicaksono selaku Kepala Subbagian Tata Usaha Sestama Bakamla sebesar Rp 120 juta.

"Para penerima seharusnya menduga bahwa pemberian-pemberian uang itu ada kaitannya dengan proyek pengadaan monitoring satelit," ujar hakim Sofialdi.

Atas perbuatan tersebut, Eko Susilo Hadi terbukti melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Justice Colaborator Ditolak

Majelis hakim PN Tipikor Jakarta juga menolak permohonan justice collaborator yang diajukan Eko. Dalam sidang putusan, soal permohonan Eko untuk menjadi saksi pelaku yang bekerja sama itu tidak dipertimbangkan jaksa KPK. Malah dalam surat tuntutan jaksa KPK juga tidak mencantumkan pertimbangan tentang permohonan JC.

"Dakwaan primer telah terpenuhi. Permohonan justice collaborator ternyata sampai tuntutan tidak ada tindak lanjutnya. Maka majelis tidak akan mempertimbangkan lebih lanjut, sehingga permohonan tidak dapat diterima," kata Majelis Hakim Sofialdi saat membaca pertimbangan putusan.

Pada sidang sebelumnya saat diperiksa sebagai terdakwa, Eko mengakui menerima uang terkait pengadaan monitoring satelit. Meski begitu, kata Eko, permintaan dan penerimaan uang itu atas perintah dan sepengetahuan Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Soedewo.

"Ya saya diberitahu, ada 15 persen fee, bagian Bakamla sebesar 7,5 persen," kata Eko kepada jaksa KPK.

Kemudian, Eko mengungkapkan Arie Soedewo yang memberitahu kepadanya pihak perusahaan peserta lelang proyek pengadaan satelit monitoring, yakni PT Melati Technofo Indonesia akan memberikan fee 2 persen terlebih dulu dari proyek tersebut.

Selain divonis 4 tahun dan 3 bulan penjara, Eko juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan.

Eko Susilo Hadi terbukti menerima 10 ribu dolar AS, 10 ribu Euro, 100 ribu dolar Singapura, dan 78.500 dolar AS. Eko juga sebagai Sekretaris Utama Bakamla dan kuasa pengguna anggaran (KPA) Satuan Kerja Bakamla Tahun Anggaran 2016.

Menurut hakim, pemberian uang dilakukan untuk memenangkan PT Melati Technofo Indonesia yang dimiliki Fahmi Darmawansyah dalam pengadaan monitoring satelit. Anggaran proyek tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara perubahan (APBN-P) Tahun 2016.

 

Saksikan video menarik di bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya