Darmayanti Lubis Ingatkan Soal Perdagangan Anak Berkedok Adopsi

Maraknya perdagangan manusia khususnya pada anak-anak menarik perhatian Wakil Ketua DPD RI, Darmayanti Lubis.

oleh Gilar Ramdhani diperbarui 08 Agu 2017, 18:19 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2017, 18:19 WIB
Darmayanti Lubis Ingatkan Soal Perdagangan Anak Berkedok Adopsi
Maraknya perdagangan manusia khususnya pada anak-anak menarik perhatian Wakil Ketua DPD RI, Darmayanti Lubis.

Liputan6.com, Jakarta Maraknya perdagangan manusia khususnya pada anak-anak yang terjadi di Kabupaten Simalungun dan Asahan, Provinsi Sumatera Utara, menarik perhatian Wakil Ketua DPD RI, Darmayanti Lubis. 

Darmayanti, meminta gugus tugas tindak pidana perdagangan orang (TPPO) segera melakukan tindakan baik terhadap penanganan kasus maupun pada aspek pencegahan sebagai bentuk komitmen Pemerintah dalam memerangi Perdagangan Manusia khususnya Anak. 

“Perdagangan Manusia menurut Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan. Kemudian, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terekploitasi,” tegas Darmayanti Lubis yang juga berasal dari Daerah Pemilihan Sumatera Utara.

Anak-anak dan perempuan, menurut Darmayanti Lubis merupakan pihak yang rentan menjadi korban trafficking dan eksploitasi. Mereka yang menjadi korban sebagian besar berasal dari kelompok masyarakat yang rentan.

Faktor-faktor penyebab terjadinya Perdagangan Anak (Child Trafficking) antara lain: Kurangnya Kesadaran dan konsep berfikir yang salah pada masyarakat, factor kemiskinan yang telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi penopang kehidupan mereka termasuk mempekerjakan anak-anaknya karena jeratan hutang, keinginan cepat kaya dan faktor kebiasaan penduduk yang menjadi budaya.

Faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya child trafficking, antara lain berkaitan dengan: peran anak dalam keluarga, perkawinan dini, jeratan hutang, kurangnya pencatatan kelahiran, kurangnya pendidikan dan korupsi serta lemahnya penegakan hukum.

Dipaparkannya, maraknya kasus kekerasan terhadap anak dan perdagangan anak (child trafficking) akibat belum optimalnya upaya perlindungan anak. Kasus perdagangan anak juga cenderung mengalami peningkatan pada kurun waktu 3(tiga) tahun terakhir dari 410 kasus pada tahun 2010 meningkat menjadi 480 kasus di tahun 2011 dan menjadi 673 kasus pada tahun 2012.

Indonesia merupakan negara sumber, transit dan tujuan dari perdagangan orang terhadap perempuan dan anak, terutama untuk tujuan prostitusi dan ekpolitasi terhadap anak. Fenomena perdagangan orang dewasa ini semakin beragam bentuk dan modusnya. Banyak pelacuran baik di area lokalisasi maupun di tempat-tempat pelacuran terselubung seperti di kafe, panti pijat, salon kecantikan plus-plus, hotel dan lain-lain mulai menjamur, baik di kota besar maupun di pedesaan.

“Untuk mengatasi hal tersebut maka sebaiknya dilakukan upaya perlindungan terhadap korban trafficking anak namun banyak tantangannya. Untuk menuntaskannya, ini semua akibat kompleksitas permasalahan karena perdagangan manusia khususnya anak beirisan dengan berbagai aspek kehidupan” ujar Darmayanti Lubis.

Oleh karena menurutnya, diperlukan kesadaran dan peran serta seluruh masyarakat, penyelenggara negara dan aparat penegak hukum. Selama ini masalah trafficking dan eksploitasi anak hanya berfokus pada masalah yang sudah terjadi dan penyelesaian terhadap penanganan kasus. Sementara upaya pencegahan dan pemenuhan terhadap hak anak masih kurang.

Selain itu menurut Wakil Ketua DPD RI Darmayanti Lubis, lemahnya Penegak Hukum terhadap para pelaku tindak pidana perdagangan orang diantaranya adalah melibatkan banyak pihak seperti pihak kepolisian di lokasi korban ditemukan, proses Berita Acara Pemeriksaannya (BAP) memerlukan waktu yang cukup panjang dan rata-rata korbannya berpendidikan rendah, sehingga dalam pemeriksaannya harus berulang-ulang dan banyaknya kasus trafficking yang belum tersentuh hukum karena keluarga korban tidak kooperatif dalam memberikan informasi mengenai pelaku, bahkan mereka cenderung melindungi pelaku.

“Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan baik secara kelembagaan maupun perserorangan yang dapat dimulai dari orang tua, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah. Harus dilakukan bersama-sama untuk menyadarkan para pihak yang berpotensi terjadinya tindak pidana perdagangan orang,” katanya menutup pembicaraan.

(*)

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya