Teror Malaria hingga Nyaris Gila di Tanah Pembuangan Digul

Bersama Mohammad Hatta dan beberapa tahanan politik lain, Sjahrir berlayar lebih tiga hari menuju Digul di pedalaman Papua.

oleh Edmiraldo Siregar diperbarui 11 Agu 2017, 08:06 WIB
Diterbitkan 11 Agu 2017, 08:06 WIB
(Rosihan Anwar-Sutan Sjahrir)
Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta bersama warga pengasingan lain berpose di Boven Digul

Liputan6.com, Jakarta - Badan Sutan Sjahrir melar ketika mendekam di Penjara Cipinang. Di sana, Sjahrir selalu menghabiskan jatah makanan yang dibagikan.

Pengurungan Sjahrir dipicu aktivitas politiknya bersama Mohammad Hatta di Partai Nasional Indonesia Pendidikan (PNI Baru). Rezim Hindia Belanda yang terganggu "ulah" Sjahrir mencegatnya sebelum berangkat melanjutkan kuliah ke Belanda.

(Ikuti "Jejak Pejuang di Kota Pembuangan" di sini).

Alih-alih ke Belanda, pemuda asli Minangkabau itu malah harus mendekam di penjara Cipinang. Namun demikian, dia masih diberikan fasilitas yang cukup istimewa. Sebut saja ruang sel luas dilengkapi taman, juga izin menerima tamu.

Sjahrir sebetulnya sadar, keistimewaan itu hanya sementara. Dia memperkirakan akan dipindahkan ke tempat yang jauh dari Batavia (sekarang Jakarta). Paling tidak ke Flores atau tempat lain yang tidak terlalu jauh dari Jawa.

Keputusan pemindahan Sjahrir pun terbit pada 9 Desember 1934. Namun bukan Flores, tapi ke Boven Digul yang berada di pedalaman Papua.

Boven Digul adalah sebuah tempat yang dirancang pemerintah Hindia Belanda untuk mengasingkan para tahanan politik. Khususnya, mereka yang terlibat di pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1926. Digul juga dikenal sebagai hunian nyamuk malaria yang super ganas.

Hari pemberangkatan pun tiba: 23 Januari 1935. Bersama Hatta dan beberapa tahanan politik lain, Sjahrir dibawa ke Pelabuhan Tanjungpriok. Dari sana, mereka berlayar lebih dari tiga hari menuju Digul. Saat itu, Sjahrir baru 26 tahun.

Sjahrir mencoba menguatkan mental dengan mengibaratkan pemindahan itu seperti perjalanan wisata. Menikmati langit biru dan hutan yang asri di tanah Papua. Namun, imajinasi itu ambruk ketika rombongan sampai di Tanah Merah, Digul.

Tanah Merah terletak di hulu Sungai Digul—timur laut Merauke. Karena itu, disebut juga Boven Digoel atau Digul Atas. 

Digul jauh di pelosok. Jika mau kabur, pilihan terbaik adalah Kepulauan Thursday, yang dikuasai Australia. Bagaimana ke sana? Orang mesti menempuh hampir 500 kilometer sepanjang Sungai Digul yang penuh buaya, kemudian menyeberangi Selat Torres. Belum aman juga karena polisi setempat bersiaga. Jika tertangkap, dikembalikan ke Digul.

Berperilaku Aneh

Para tahanan memang bebas bergerak. Bergaul dengan sesama. Pun diperbolehkan mengirim surat seperti Sjahrir atau artikel surat kabar seperti Hatta. Bahkan, juga hadir semacam bioskop di sana. Sesekali, dalam catatan Rudolf Mrazek, digelar konser musik dan pertunjukan wayang.

Namun, jangan bayangkan pula resor tempat tetirah. Sjahrir bersama orang-orang yang "didigulkan" itu harus membangun rumah sendiri. Bahkan, mereka juga harus bercocok tanam untuk mencukupi kebutuhan pangan. Padahal, tanah di pengasingan itu tidak subur. Sudah tentu, mendekam di penjara Cipinang jauh lebih nikmat.

Di masa-masa awal menghuni Digul, Sjahrir menghabiskan waktu dengan bermain sepak bola bersama orang buangan lain. Selain itu, dia juga sering berenang di Sungai Digul. Namun, ketika tahu bahwa sungai itu dihuni banyak buaya ganas, Sjahrir pun pindah ke sungai lain yang airnya bening.

Lama-lama, Sjahrir kerap berkelakuan aneh. Terkadang dia berjalan sendiri ke arah hutan dengan cara yang janggal. Dia juga sering bertamu ke pondok-pondok tawanan lain pada jam-jam yang tidak biasa. Padahal keperluannya hanya untuk meminta gula atau mengobrol yang kurang penting.

Memang, pengasingan Digul kerap membuat penghuninya kehilangan akal sehat, bahkan jadi gila. Misalnya, cerita seorang warga buangan yang kerap mencium siapa saja yang berpapasan dengan dia. Tak peduli perempuan ataupun laki-laki.

"Ada juga orang yang tiba-tiba berpidato tanpa peduli ada yang mendengar atau tidak. Saya sendiri hampir kena penyakit ini, tapi tertolong setelah ada kawan yang mengajak bergabung di kelompok ketoprak," ungkap mantan tawanan Digul Soewignya seperti dikutip dari Prisma edisi Agustus 1988.

Namun, Sjahrir ternyata tidak gila. Semua kelakuan aneh itu dia lakukan demi menjaga semangatnya tetap bergejolak.

"Aku harus memakai semua energiku untuk menghadapi iklim, alam, penyakit dan terutama melawan demoralisasi dari kehidupan dalam masyarakat buangan ini. Dengan semua pikiran piciknya, saling curiga dan penyimpangan psikis," tulis Sjahrir dalam surat kepada kekasihnya, Maria Duchateau, di Belanda.

Beruntung, Sjahrir tidak berlama-lama di Digul. Pemerintah Hindia Belanda khawatir, membuang Sjahrir, Hatta dan sejumlah tokoh intelektual lain ke Digul justru menyulut kritik. Sjahrir dan Hatta pun dipindahkan ke Banda Neira pada 2 Januari 1936. (tulisan ini diolah dari berbagai sumber).

Saksikan video menarik di bawah Ini:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya