Liputan6.com, Jakarta - Pulau Bangka menjadi salah satu tempat pengasingan Sukarno dan Mohammad Hatta pada masa revolusi kemerdekaan pasca-Agresi Militer Belanda 2, 18 Desember 1948. Hatta didatangkan ke Bangka pada 22 Desember 1948, sedangkan Sukarno dua bulan setelahnya yakni pada Februari 1949.
Di Pulau Bangka, dwitunggal menempati lokasi yang berbeda. Hatta di sebuah wisma di atas Bukit Menumbing, sedangkan Sukarno di Kota Muntok.
(Ikuti "Jejak Pejuang di Kota Pembuangan" di sini).
Advertisement
Selain Sukarno dan Hatta, para pejuang yang diasingkan di Bangka adalah Ketua Badan Pekerja Mr Assaat, Sekretaris Presiden Abdul Gafar Pronggodigdo, dan Panglima AURI Suryadarma. Pada akhir 1949, Mendikbud Ali Sastroamidjojo dan Ketua Delegasi RI Mohamad Roem menyusul diasingkan dan digabungkan dengan para tawanan di Menumbing.
Dalam bukunya berjudul 'Tonggak-Tonggak di Perjalananku', Ali Sastroamidjojo menceritakan kondisi tempat mereka diasingkan di Bukit Menumbing. "Rumah pesanggrahan itu amat besar, tetapi kami berenam hanya diperbolehkan memakai dua ruangan," ungkap Ali seperti dikutip Liputan6.com dalam bukunya, Rabu (16/8/2017).
Satu ruangan berukuran 6x6 meter buat kamar tidur. Di sana disediakan enam dipan. Di depan kamar tidur ada ruangan lagi yang biasa dipergunakan sebagai kamar duduk. Besarnya 4x10 meter yang dilengkapi beberapa kursi dan dua buah meja. Di belakang kamar tidur ada kamar mandi.
Kamar lainnya di pesanggrahan itu dipakai oleh serdadu-serdadu penjaga dan komandannya. Serdadu-serdadu itu dilarang keras mengadakan hubungan dengan para tahanan. Mereka terdiri atas orang-orang dari berbagai daerah Indonesia. Ada yang dari Jawa, Ambon, dan Minahasa. Makanan untuk Bung Hatta dan para tahanan lainnya diurus seorang kopral yang juga ditugaskan memasak makanan untuk serdadu-serdadu penjaga.
Baca Juga
"Komandan itu mempunyai sebuah radio tetapi kami tidak diperbolehkan mendengarkan siaran-siaran yang ditangkap dengan pesawatnya itu. Pembacaan tidak disediakan, hanya Bung Hatta yang mempunyai dua-tiga jilid buku yang sempat dibawanya dari Yogyakarta," kenang Ali.
Sehari sesudah Moh Roem dan Ali tiba di Menumbing, Bung Hatta memberi briefing dan menegaskan bahwa meskipun ada dalam pengasingan, harus tetap menganggap diri sebagai petugas-petugas resmi dari RI dan bersikap sesuai itu pula terhadap penjaga-penjaga.
Bung Hatta juga mengharapkan para pejuang yang diasingkan berpakaian rapi kalau keluar kamar tidur. Janganlah mengenakan piyama atau sarung. Selain itu, Bung Hatta juga menegaskan bahwa dalam pengasingan ini harus tetap memegang teguh asas-asas demokrasi.
"Misalnya, kata beliau, kalau mandi janganlah memakai air sesukanya sendiri. 'Saya sudah ukur isi tempat air mandi dan ternyata airnya cukup kalau saudara-saudara masing-masing hanya memakai 10 gayung setiap kali mandi.' Peraturan air itu membuat kami tertawa tapi kami taati karena diuraikan dengan cara serius. Memang itu sudah menjadi watak Bung Hatta. Saya mengenal beliau sudah sejak zaman kami masih menjadi mahasiswa di Belanda. Cara hidupnya selalu serba teratur dan berdisiplin," tulis Ali menirukan perkataan Hatta kala itu.
"Jadi hidup kami dalam pengasingan juga harus seperti beliau pula. Padahal tempat pengasingan kami terpencil sekali dari masyarakat ramai di Bangka. Yang tiap hari melihat kami hanya serdadu-serdadu penjaga saja," Ali menambahkan.
Tiga hari setelah ditahan di Menumbing, penjagaan terhadap para pejuang kemerdekaan yang diasingkan di Bangka diperketat. Para penjaga mulai memasang kawat berduri di sekeliling dua ruangan tempat mereka ditahan.
"Kami merasa seperti hidup di dalam kerangkeng kebun binatang. Tetapi itu tidak bisa mempengaruhi semangat kami," ujar Ali.
Menumbing Kini
Pada mulanya, Hatta bersama Pringgodigdo, Mr Assat, dan Suryadarma ditempatkan dalam penjara di tengah ruangan berukuran 4x6. Namun, tindakan tersebut mendapat kecaman dari PBB hingga akhirnya Hatta ditempatkan dalam sebuah kamar. Sayangnya tidak bisa ditemukan bagaimana rupa kamar Hatta dan yang lainnya kala itu.
Sebab, Wisma Menumbing sempat disewakan pada pihak swasta pada 1996 untuk dijadikan tempat penginapan sehingga sudah terjadi beberapa kali renovasi. Ada pun kamar yang terdiri dari dua ruangan dengan dua tempat tidur dan sebuah ruang kecil yang diduga kamar mandi kini hanya rekayasa.
Entah itu memang kamar Hatta atau hanya upaya sang pengusaha tempat penginapan menyulapnya seolah nyata untuk menjadi daya tarik wisata, tidak bisa dipastikan.
Satu hal yang bisa kita saksikan adalah badan mobil yang biasa digunakan Hatta dengan pelat nomor BN10 masih terpajang di dalam ruangan. Selanjutnya adalah potret-potret para pemimpin bangsa ini termasuk surat Sukarno untuk istrinya, Fatmawati.
Di Wisma Menumbing ini, pengunjung juga bisa naik ke atas atap yang berbentuk kastil dan melihat pemandangan dari puncak Menumbing.
Saat diasingkan di Bangka, Sukarno bersama Agus Salim dan Sutan Syahrir ditempatkan di Wisma Ranggam atau Pesanggrahan Muntok. Di sana tak ada barang-barang peninggalan Sukarno kecuali potret-potretnya. Namun, pengunjung bisa melihat kamar yang ditempati oleh Sukarno kala itu.
"Bung Karno tidurnya di sini dan dia suka sekali berdiskusi dengan Agus Salim di ruangan ini," ujar penjaga Wisma Ranggam.
Di halaman Wisma Ranggam kemudian dibangun Tugu Proklamasi oleh Hatta untuk memperingati Bangka sebagai bagian dari sejarah Indonesia. Masyarakat Bangka disebutkan sangat menyambut Sukarno, Hatta, dan para pemimpin lainnya yang diasingkan.
Hingga kini, setiap tahun masyarakat setempat mengadakan napak tilas perjalanan Sukarno di Bangka hingga ke Tanjung Kalian.
Jika dulu para pemimpin dipenjara kemudian berjuang menjadi pejabat dan dikenang sebagai pahlawan, kini tidak sedikit yang justru berawal dari pejabat, menjadi penjahat, dan berakhir di penjara. Para koruptor misalnya.
Advertisement