Liputan6.com, Jakarta - Polri membongkar sindikat penyebar ujaran kebencian atau hate speech dan SARA melalui media sosial. Jaringan penebar kebencian tersebut bernama Saracen.
Polisi telah menangkap tiga orang tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Jasriadi (32) yang berperan sebagai ketua, Muhammad Faizal Tanong (43) sebagai koordinator bidang media dan informasi, serta Sri Rahayu Ningsih (32) sebagai koordinator grup wilayah.
Kasubdit 1 Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Irwan Anwar mengatakan, anggota sindikat ini telah memiliki beragam konten hate speech sesuai isu yang tengah berkembang. Mereka kemudian menawarkan produk itu dalam sebuah proposal.
Advertisement
"Mereka menyiapkan proposal. Dalam satu proposal yang kami temukan, itu kurang lebih setiap proposal nilainya puluhan juta rupiah," ujar Irwan di Mabes Polri, Jakarta, Rabu 23 Agustus 2017.
Sindikat Saracen diketahui memiliki ribuan akun. Mereka juga berbagi tugas untuk mengunggah konten pro dan kontra terhadap suatu isu.
"Misalnya kurang lebih 2.000 akun itu dia membuat meme menjelek-jelekkan Islam, ribuan lagi kurang lebih hampir 2.000 juga menjelek-jelekkan Kristen. Itu yang kemudian tergantung pemesanan," jelas Irwan.
Kepala Bagian Mitra Biro Penmas Divisi Humas Mabes Polri Kombes Awi Setiyono menjelaskan, dalam proposal itu, sindikat Saracen meminta dana sekitar Rp 72 juta.
Dalam proposal dana tersebut, Saracen mematok harga Rp 15 juta untuk jasa pembuat website. Sementara untuk buzzer, Saracen memiliki 15 anggota yang akan mendapat upah selama sebulan sebanyak Rp 45 juta.
Sedangkan tersangka Jasriadi yang berperan sebagai ketua sindikat Saracen, yang tugasnya mengunggah postingan provokatif bernuansa SARA, meminta upah Rp 10 juta.
Lalu sisa dari dana pengajuan proposal tersebut, ujar Awi, digunakan untuk kepentingan lain di luar perkiraan.
"Terkait tadi masalah pemesanan itu, begini untuk proses penyidikan ini, penyidik menemukan ada satu proposal. Yang terakhir ada cost untuk wartawan," ujar Awi di Kantor Divisi Humas Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis 24 Agustus 2017.
Walau demikian, Awi tidak mempercayai begitu saja apa yang dituliskan oleh pelaku, termasuk dana untuk wartawan. Ia mengatakan, pihaknya masih terus mendalami temuan-temuan tersebut.
"Itu kan proposalnya dia yang kita temukan. Tapi belum tentu kan. Itu yang perlu proses pendalaman. Kita tidak percaya begitu saja. Kalau dia tulis begitu, apa kita langsung percaya? Teman-teman wartawan dirugikan juga toh. Itu temuan-temuan," ujar dia.
Kasubag Ops Satgas Patroli Siber Bareskrim Polri AKBP Susatyo Purnomo menuturkan, angka yang ditawarkan dalam setiap proyek ujaran kebencian dan SARA oleh Saracen ini bahkan mencapai Rp 100 juta.
"Dia menawarkan ya senilai Rp 75 juta sampai Rp 100 juta, itu atas proposal ya," ujar Susatyo.
Kendati pihaknya belum bisa memastikan harga riil per proposal. Apalagi polisi masih terus menggali siapa saja yang pernah membeli jasa Saracen untuk menebar kebencian dan SARA ini.
"Makanya kami masih mendalami, karena kan kami belum cek betul apakah itu hanya ajuan mereka dan sebagainya," kata Susatyo.
Tutup Mulut Siapa Pemesan
Kabag Mitra Biro Penmas Divisi Humas Polri Kombes Pol Awi Setiyono mengatakan, tiga tersangka sindikat Saracen tidak terbuka saat pemeriksaan.
"Termasuk, siapa yang selama ini pesan, memang yang bersangkutan sangat tertutup. Beberapa tersangka ini juga sulit kita mintai keterangan," ucap Awi di Kantor Divisi Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis 24 Agustus 2017.
Polisi juga masih mendalami siapa saja pihak-pihak yang memesan sindikat Saracen. "Yang lain-lain terkait dengan kelompok-kelompok mana yang pernah pesan, atau siapa yang pernah pesan kepada mereka, ini masih proses pendalaman," ujar Awi.
Sementara akibat perbuatannya itu, Jasriadi disangkakan melakukan tindak pidana ilegal akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat 2 jo Pasal 30 ayat 2 dan atau Pasal 46 ayat 1 jo Pasal 30 ayat 1 UU ITE Nomor 19 Tahun 2016, dengan ancaman tujuh tahun penjara.
Sementara Muhammad Faisal Tanong dan Sri Rahayu Ningsih disangkakan melakukan tindak pidana ujaran kebencian atau hate speech dengan konten SARA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE, dengan ancaman enam tahun penjara, dan atau Pasal 45 ayat 3 jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman enam tahun penjara.
Awi mengatakan, kepolisian berencana mengundang pihak-pihak yang namanya tercantum di struktur organisasi Saracen.
"Penyidik juga ke depan perlu mengundang pihak-pihak yang namanya ditulis di situ untuk mengklarifikasi. Syukur-syukur nama-nama yang ada di situ, silakan langsung ke Bareskrim untuk mengklarifikasi. Ya lebih bagus. Tapi itu tadi, masih dalam proses perencanaan," jelas Awi di Kantor Divisi Humas Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis 24 Agustus 2017.
Namun, Awi menegaskan, pihaknya tidak akan sembarangan memanggil orang-orang tersebut untuk dimintai klarifikasi.
"Kita juga tidak sekonyong-konyong memanggil orang-orang yang ada dalam struktur (Saracen) itu. Kalau tidak ada benang merahnya, ya tidak (diundang). Sifatnya bukan memanggil, tapi mengundang untuk klarifikasi," Awi menambahkan.
Advertisement
Eggi Sudjana dan Ampi Tanudjiwa Membantah
Nama Jenderal (Purn) Ampi Tanudjiwa tertera dalam struktur Saracen sebagai dewan penasihat bersama dengan Eggi Sudjana. Dia membantah terlibat dalam sindikat penyebar ujaran kebencian bernada SARA dan hoax itu.
"Hanya Eggi Sudjana yang saya kenal. Saya lagi nanya Pak Eggi. Saya hubungi Eggi, dia di Mekah," kata Ampi saat dikonfirmasi, Jumat (25/8/2017).
Dia mengaku tak mengerti dan tidak mengetahui soal sindikat Saracen yang kini ramai diperbincangkan setelah sejumlah pengurusnya ditangkap polisi karena dianggap bertanggung jawab dalam penyebaran konten ujaran kebencian.
"Saya belum tahu Saracen apa artinya. Banyak yang menelepon saya, saya enggak tahu, singkatan apa, kerjanya pun enggak tahu juga," katanya.
Tak terima namanya dicatut di dalam struktur Saracen, dia berencana akan melakukan gugatan. "Saya akan gugat perdata dan pidana," kata Ampi.
Saat masih menjadi perwira aktif di lingkungan TNI AD, beberapa jabatan penting diemban Ampi. Dia pernah menjabat Komandan Korem pada tahun 1995-1997. Kariernya kian moncer saat menjabat Kepala Staf Kodam Wirabuana. Bintang dua dia capai saat kariernya menjabat Wakil Komandan Diklat TNI di Bandung.
Saat ABRI masih memiliki kursi di DPR, Ampi pernah duduk sebagai anggota DPR untuk Fraksi TNI/Polri selama 36 bulan.
Saat pemilihan presiden lalu, Ampi terlibat menjadi tim sukses salah satu pasangan calon, bersama Rijal Kobar yang sudah divonis ujaran kebencian.
"Oh iya, saya di sana (tim sukses pemenangan salah satu calon). Jadi Ketua Pembinanya, bareng Rizal Kobar, Eggi Sudjana," ujar Ampi.
Nama seorang wartawan media online di Pekanbaru, Zukri Subayang juga dicatut jaringan penyedia jasa konten ujaran kebencian Saracen sebagai anggotanya. Dari susunan redaksi portal berita Saracennews.com, tertulis Zukri bertugas sebagai reporter.
Zukri membantah keras hal tersebut. Dia mengaku tidak mengetahui nama Saracen, apalagi bergabung dalam portalnya. Dia menyatakan, namanya telah dicatut pemilik media tersebut, Jasriadi.
"Saya tidak mengenal apa itu portal berita Saracen. Nama saya telah dicatut," kata Zukri di Pekanbaru, Jumat, 25 Agustus 2017.
Sementara itu, Eggi Sudjana juga merasa difitnah dan dikriminalisasi terkait pencantuman namanya di struktur organisasi Saracen.
"Secara ilmu hukum, saya punya hak hukum sebenarnya. Di-cover dalam Pasal 310 dan 311 KUHP. Yang intinya, menjadikan saya dicemarkan namanya dan difitnah. Maka saya punya hak hukum untuk melapor," kata Eggi.
Namun, Eggi merasa belum saatnya melaporkan hal itu. Karena menurut dia, hasil penyelidikan Polri hingga saat ini belum benar-benar jelas.
"Kalau pitnah basa Sunda, saya suka karena saya orang Sunda. Pitnah, kejepit ngeunah, artinya kejepit enak. Tapi kalau fitnah ini lebih sadis dari pembunuhan, karena yang enggak terlibat sekalipun, keluarga saya, ini jadi kena semua," ujar Eggi sambil berkelakar.
Dia pun mengaku heran dengan rencana Polri yang akan meminta klarifikasi nama-nama yang tercantum dalam struktur saracen.
"Sekarang saya sendirinya aja tidak tahu, tidak mendengar, tidak mengalami, tidak melihat. Bagaimana saya mau dipanggil? Jadi saksi, apa yang mau disaksikan?" respons Eggi Sudjana saat dihubungi Liputan6.com, Kamis malam 24 Agustus 2017.
Cerita Munculnya Nama Ampi dan Eggi
Pimpinan sindikat penyebar ujaran kebencian Saracen, Jasriadi menuturkan bagaimana munculnya nama Eggi Sudjana dan Purnawirawan Ampi Tanudjiwa dalam struktur organisasinya. Nama keduanya muncul saat kopi darat para aktivis siber.
Mereka berencana membuat kelompok. Sebuah struktur organisasi pun disusun. Seorang peserta pertemuan mengusulkan nama Eggi Sudjana dicantumkan.
"(usul) Rizal Kobar. Waktu itu siapa ininya, pembina atau apa waktu itu saya lupa. Pak Eggi saja (katanya). Saya tanya apa enggak jadi masalah. (Dia bilang) nanti kita bicarain," kata Jasriadi pada Liputan6.com, Kamis (25/08/2017).
Rizal Kobar adalah terpidana kasus ujaran kebencian. Ia ditangkap polisi hanya beberapa jam sebelum aksi 212, tahun lalu.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutusnya bersalah. Rizal divonis enam bulan penjara.
Nama Mayjend Purnawirawan Ampi Tanudjiwa, menurut Jasriadi, juga dimasukkan tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. ia mengaku tidak pernah bertemu dan berkomunikasi dengan Ampi.
Nama itu dimasukan Rizal Kobar. "Ya itu Bang Rizal Kobar (yang masukan)," lanjut Jasriadi. Rizal pula yang, menurut Jasriadi, menunjuknya jadi ketua Saracen.
"Saya ditunjuk jadi ketua juga enggak setuju. Tapi ada teman-teman online ya sudah mas Jas saja. karena mas Jas mengetahui di IT," kata Jasriadi.
Jasriadi pun mengaku tidak tahu Ampi Tanudjiwa.
"Siap, tidak tahu. Tidak pernah komunikasi," kata Jasriadi kepada Liputan6.com.
Saksikan video di bawah ini:
Advertisement