Liputan6.com, Jakarta - Jumilah merindukan Baitullah. Perempuan 60 tahun itu terpanggil untuk bersujud menghadap KaKbah, mendekatkan diri pada Gusti Allah. Namun, uang pensiunan almarhum suaminya, ditambah hasil berdagang di pasar kaget, tak jua cukup untuk membiayainya umrah, apalagi naik haji.
Baginya, pergi ke Mekah naik kapal terbang adalah impian yang terlalu tinggi, bak di awang-awang.
Hingga suatu hari, ia menemukan titik terang. Obrolan dengan sesama pedagang memperkenalkannya dengan First Travel. Konon, biro perjalanan itu bisa mewujudkan mimpi umrah dengan harga murah. "Hanya" Rp 14,3 juta!
Advertisement
Baca Juga
"Teman saya sesama pedagang waktu itu baru pergi umrah pakai First Travel, katanya murah, pelayanannya bagus," kata Jumilah kepada Liputan6.com.
Sejak itu, tiap Sabtu dan Minggu pagi, Jumilah kian bersemangat mendorong dua gerobaknya kayunya, bergantian, menuju lapak. Jaraknya memang tak jauh dari rumahnya di Bekasi Timur, tapi lumayan menguras tenaganya yang kian sepuh.
Dagangan berupa pakaian ia jajakan sejak pukul 07.00 hingga 10.00. "Lumayan, sekali dagang bisa menyisihkan Rp 20 ribu," kata perempuan berjilbab itu.
Dari hasil keuntungan yang dikumpulkan sejak 2014, ditambah hasil arisan dan menguras celengan, terkumpullah Rp 5 juta pada tahun 2015.
Dengan mengucap bismillah, Jumilah menyetorkannya ke First Travel, sebagai uang muka. Pelunasan baru dilakukan pada Januari 2016. "Saya senang sekali waktu dijanjikan berangkat umrah tahun 2017," kata dia.
Namun, hingga April 2017, kepastian tak kunjung didapat. Ia beberapa kali datang ke kantor First Travel, yang di Depok, Jawa Barat, dan Jalan TB. Simatupang, Jakarta. Sejumlah karyawan yang menemuinya punya jawaban senada: "Sabar ya, Bu… Insya Allah, berangkat."
Namun, tak lama kemudian, First Travel mengeluarkan pengumuman. Calon jemaah diminta membayar biaya tambahan Rp 3 juta agar bisa diberangkatkan Juni 2017.
Merasa ada harapan, Jumilah kembali menguras uang simpanannya. Total Rp 17,3 juta dibayarkan. Namun, bulan Juni berakhir, ia tak kunjung diberangkatkan ke Tanah Suci.
Senasib dengan Jumilah adalah Surmawati.
Kian sepuh, makin kuat niatnya pergi ke Tanah Suci. Meski sudah nenek-nenek, ia terus bekerja keras demi mewujudkan keinginannya itu.
Pagi hingga siang, Surmawati bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sore harinya, dia giliran mengurus kebun milik sang majikan. Dari hasil jerih payahnya itu, uang Rp 5.000 ia sisihkan setiap hari.
Bertahun-tahun, recehan demi recehan dikumpulkan. Setelah dirasa cukup lalu disetorkan ke First Travel.
Warga Padang itu dijanjikan pergi pada awal Juni 2017. Namun, tak jadi-jadi. Ia diminta membayar tambahan Rp 2,5 juta agar bisa umrah saat Ramadan. Lagi-lagi, janji tinggal janji.
Kini usia Surmawati sudah lebih dari 60 tahun. Di masa senjanya, ia harus mengalami patah hati dan menanggung rugi.
Total ada 58.682 anggota jemaah yang kini ketar-ketir menanti kepastian kapan berangkat umrah. Tak jelas juga di mana uang mereka berada.
Perusahaan rekanan pun buntung
Di sisi lain, utang First Travel menggunung. Direktur Tindak Pidana Umum Brigadir Jenderal Pol. Herry Rudolf Nahak mengatakan, dari para jemaah yang belum diberangkatkan saja, biro perjalanan itu diduga berutang setidaknya Rp 848,7 miliar.
Belum lagi utang ke sejumlah rekanan. Ada uang tiket yang belum dibayar sebesar Rp 85 miliar, juga ke agen yang menyiapkan visa Rp 9,7 miliar.
First Travel juga berutang ke penyedia hotel di Mekah dan Madinah.
"First Travel telah berutang hampir US$ 2 juta (sekitar Rp 25 miliar) kepada kami," kata pengusaha Mesir yang punya travel agent umrah di Saudi Arabia, Ahmed Saber Amin, kepada Liputan6.com.
Sudah dua bulan ini ia ada di Indonesia, untuk menuntut pertanggungjawaban bos First Travel, Andika Surachman (32) dan Anniesa Desvitasari Hasibuan (31). Mereka ditangkap petugas Bareskrim Polri pada 9 Agustus 2017, disusul Siti Nuraidah Hasibuan (26) alias Kiki Hasibuan, adik Anniesa, yang merupakan direktur keuangan.
Ahmed Saber mengungkapkan kerja sama bisnisnya dengan First Travel bermula sejak 2015. Awalnya hanya soal penyediaan penginapan. Kala itu, pembayaran berlangsung lancar.
"Pada 2016 dia ambil satu paket: hotel, jemputan bandara, airport tour guide yang disebut muntawif, dan tak ketinggalan, makanan," dia menjelaskan.
Di daftar pesanan First Travel ada sejumlah hotel berbintang 3, 4, dan 5. "Untuk VIP di Hotel Raffles dan Intercontinental Hotel di Mekah, tempat dia bawa artis Syahrini, Julia Perez (alm), dan Ria Irawan. Semua itu belum dibayar," tambah Ahmed Saber kesal.
Pemilik perusahaan wisata 'Diar Al Manasil' di Mekah itu mengungkapkan, pembayaran First Travel mulai tersendat pada 2016. Utang pun menumpuk. "Mulai Maret 2017 First Travel berhenti menyetor pembayaran sama sekali," kata dia.
Suatu ketika, Ahmed Saber mengaku dihubungi Andika. "Kali terakhir waktu dia ditangkap, Andika bilang, 'Mr. Ahmed, tolong bebaskan saya. Nanti saya akan bayar semua utang saya. Kita selesaikan secara kekeluargaan'."
Kisruh Sudah Sejak 2015
Selain yang tak kunjung diberangkatkan, banyak jemaah juga mengaku ditelantarkan. Salah satunya adalah rombongan yang gagal diterbangkan pada Maret 2017.
Saat itu, ratusan jemaah umrah dari Jakarta, Cirebon, dan Surabaya tercecer di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Mereka kemudian diinapkan di hotel sekitar bandara. Tiga hari tak terurus ditambah kecewa berat, sebagian dari mereka jatuh sakit.
Pihak First Travel membantah kabar telah menelantarkan jemaah. "Berita tersebut tidak benar. Yang benar, jemaah diundur keberangkatannya disebabkan oleh visa yang masih dalam proses," kata Niru Anita Sinaga, kuasa hukum, dalam jumpa pers 25 Maret 2017.
Sejatinya awan gelap telah mengepung First Travel jauh sebelum itu.
Kekacauan bahkan sudah terjadi sebelum nama Anniesa Hasibuan "berkibar" di New York Fashion Week (NYFW). Oleh sejumlah media, dia dihebohkan mencetak sejarah baru, sebagai desainer pertama yang memamerkan busana muslim di ajang bergengsi tersebut. Belakangan terungkap, itu cuma klaim kosong.
Kepada Liputan6.com, seorang mantan staf First Travel mengungkapkan, skandal ini sebenarnya sudah mulai meletik sejak Desember 2015. Namun, persoalan belum ramai diekspos media.
Kala itu, sebanyak 225 anggota jemaah umrah sudah ramai-ramai protes. Mereka yang membayar biaya reguler Rp 26,5 juta ternyata hanya mendapat fasilitas umrah promo yang saat itu harganya dibanderol tak sampai Rp 13 juta.
Janji menginap di hotel bintang empat dan lima pun tak ditepati. Para jemaah kaget bukan kepalang saat mendapati kondisi penginapan mereka.
"Hotelnya tak ada pelang namanya. Kamar mandinya bocor. Sampai di sana, para jemaah tak bisa langsung masuk kamar, mereka berceceran di lobi," kata mantan karyawan yang minta dirahasiakan identitasnya itu.
Suatu ketika, ada seorang nenek terpisah dari rombongan. Ia tersasar. Seorang warga Arab Saudi yang menemukannya sedang kebingungan, lantas mengantar ke hotel yang namanya tertera di tanda pengenal.
"Namun, keterangan di name tag dan hotel di mana mereka menginap tidak sesuai," kata sumber itu.
Persoalan jadi makin kacau, karena saat itu hanya ada dua tour leader yang memandu para jemaah. Dan mereka tak bisa ngomong Arab maupun Inggris.
"Yang paling fatal, dalam perjalanan pulang, jemaah sempat telantar di Bandara Jeddah. Ternyata karena pesawatnya delay, dan pemandu yang tak bisa berbahasa Inggris tak mengetahuinya, meski pengumuman sudah disampaikan lewat pengeras suara."
Para jemaah yang kecewa menuntut pengembalian selisih uang yang mereka bayarkan, dibanding dengan fasilitas yang mereka terima. Mediasi sempat dilakukan tiga kali. Namun, tak ada titik temu.
"Saat itu belum ada perhatian sebesar saat ini. Kasus tersebut seakan menguap begitu saja," sang karyawan menambahkan.
Buntut dari kejadian tersebut, pada Februari 2016, Andika dan Anniesa datang mendadak ke kantor First Travel di kawasan Kuningan, Jakarta. Seluruh staf dikumpulkan di ruang rapat.
Seorang pejabat dari divisi legal membagi-bagikan kertas. Isinya pernyataan bahwa "karyawan tidak akan menyebarluaskan rahasia kantor dan siapa yang melanggar akan dituntut secara hukum."
Surat pernyataan itu wajib ditandatangani setiap karyawan. "Saat itu, saya sudah curiga ada yang tak beres dengan First Travel," ujar sumber itu.
Advertisement
Utang Dunia Akhirat
Alkisah, First Travel dibangun Andika-Anniesa dari nol.
"Kami memulai dari usaha pinggiran, jual pulsa, burger, seprai, bantal. Hingga 2009 kami membuat CV di bidang travel," demikian diungkap Andika dalam video profil First Travel.
Usaha mereka jatuh bangun. Rumah peninggalan orangtua Anniesa digadaikan untuk modal. Sempat berantakan, rumah itu disita dan dilelang bank.
Hengkang dari rumah warisan, mereka mengontrak rumah petak. Usaha First Travel dijalankan dengan strategi baru, door to door, dari instansi ke instansi.
Sebagai pemilik sekaligus tenaga pemasaran, Anniesa dan Andika kerap mondar-mandir Depok-Jakarta, pakai motor butut pinjaman adik, untuk menawarkan paket tur dan umrah.
Andika menunggu di parkiran, Anniesa naik ke atas menyerahkan proposal.
"Tangan kami sampai belang, penampilan kucel, bau asap gara-gara naik motor Depok-Jakarta," kata Andika.
Saat susah tak jarang mereka makan hanya nasi campur mi instan yang kuahnya sengaja dibuat banjir, biar cukup dimakan seluruh keluarga.
Harta habis, usaha tak kunjung ada hasil. Mereka malah jadi korban penipuan. Putus asa sempat menghampiri.
"Kami sempat mau bunuh diri, mengakhiri semua, dari atas sebuah mal di Jakarta," imbuh Anniesa. "Kami dicemooh, dihina, dibilang orang miskin, nggak mungkin bisa hidup. Kami bertekad jangan sampai kami dihina. Itulah penyemangat kami.”
Panas hati itu melahirkan strategi baru: menawarkan paket umrah murah dengan skema ponzi.
Dan... bum!
Banyak, dan semakin banyak jemaah tergiur. Kehidupan Andika-Anniesa pun berubah 180 derajat. Hanya dalam beberapa tahun mereka tajir melintir.
Rumah mewah dibangun di Sentul. Gayanya Eropa klasik. Dinding, ornamen, dan furniturnya bernuansa emas.
Barang-barang bermerek nan mahal mengepung tubuh pasangan ini--seperti koleksi mantel Chanel dan tas Hermes.
Mereka getol pelesiran mewah, keliling dunia. Sekali jalan-jalan, uang ratusan juta rupiah habis terkuras. Saat ke Inggris, uang yang dihabiskan untuk sewa apartemen bintang lima di London saja mencapai Rp 83 juta.
Dari bukti otentik yang didapatkan Liputan6.com, pembayarannya diambil dari rekening PT First Anugerah Karya Wisata.
Pada 2015 lalu, Andika-Anniesa bepergian ke Jeddah, London, Paris, Dubai, dan Islandia. Di negara terakhir, Anniesa ingin menyaksikan fenomena Aurora. Kala itu, mereka tak hanya pergi berdua. Ada orang ketiga, yakni fotografer profesional yang sengaja disewa untuk mengabadikan momentum liburan mewah keduanya.
"Itu mengapa foto-foto liburan keduanya di media sosial bagus-bagus," kata mantan karyawan First Travel.
Sumber itu meyakini uang foya-foya mereka berasal dari duit yang disetorkan jemaah.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan aliran dana jemaah umrah hingga triliunan rupiah masuk ke rekening First Travel.
Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badarudin mengatakan, pihaknya secara proaktif memantau transaksi keuangan First Travel sejak Juni 2017. Mereka menelusuri pergerakan transaksi keuangan dalam periode 2011 hingga Juni 2017.
Meski penelusuran belum 100 persen rampung, Kiagus menyebut, ada indikasi tak semua uang tersebut dipakai untuk kepentingan umrah jemaah.
"Ada yang digunakan untuk membeli barang dan jasa yang bersangkutan sendiri," katanya.
Kiagus mengatakan aset yang dibeli dari aliran uang itu berupa mobil mewah, rumah, hingga barang-barang pribadi seperti tas juga sepatu. "Juga pembelian pakai kartu kredit yang besar setiap bulannya."
Kuasa hukum korban First Travel, Aldwin Rahadian, juga mengatakan mendapatkan informasi ada uang jemaah dalam jumlah besar yang dipakai untuk belanja, saat Andika-Anniesa berkeliling ke 15 negara.
"Ada dua toko, dari satu toko geser ke toko lainnya. Uang yang dihabiskan Rp 1,7 miliar, kemungkinan belanja pernak-pernik, misalnya tas," kata dia.
Sejauh ini, polisi telah menyita sejumlah aset pemilik First Travel, yakni dua rumah mewah di kawasan Sentul, Bogor dan Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kemudian ada bangunan perkantoran First Travel di Cimanggis, Depok, Jawa Barat dan sebuah butik di kawasan Kemang, Jakarta.
Andika-Anniesa juga diketahui memiliki restoran di London, yang mereka beli senilai 700 ribu poundsterling alias Rp12 miliar lebih.
Modus operandi First Travel dalam menjalankan bisnisnya ditengarai menggunakan skema ponzi. Biaya keberangkatan calon jemaah umrah ditutupi oleh dana calon jemaah umrah lainnya.
"Ada kemungkinannya," ujar Ketua Satgas Waspada Investasi OJK, Tongam L. Tobing.
Dia menuturkan pihak First Travel mengakui ada semacam subsidi dalam program umrah murah First Travel.
Permintaan maaf
Lewat Kepala Divisi Legal First Travel, Deski, Andika dan Anniesa menyampaikan permohonan maaf kepada para calon jemaah umrah yang menggunakan jasa mereka.
"Ya intinya permohonan maaf kepada seluruh jemaah. Kami memiliki banyak kesalahan, kami belum bisa memberangkat seluruh jemaah, sesuai dengan keinginan," kata dia saat dihubungi Liputan6.com.
Deski menambahkan kliennya sedang menempuh jalur hukum. Satu di antaranya dengan menghadapi gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan para calon jemaah.
Pengadilan memutuskan First Travel berutang kepada jemaah dan wajib membuat proposal pedamaian dengan berkomitmen memberangkatkan umrah atau membayar uang pengganti. Apabila dalam 270 hari proposal perdamaian tidak disetujui, maka First Travel dianggap pailit.
Selain itu, Deski mengatakan bahwa First Travel akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) terkait keputusan Kementerian Agama yang mencabut izin First Travel.
Yang paling utama, mereka akan mengajukan penangguhan penahanan bagi Andika dan Anniesa. "Agar Bapak Andika atau Ibu Anniesa bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya, termasuk memberangkatkan jemaah," katanya, lagi.
Menurut Deski, berdasarkan data First Travel, saat ini ada 30 ribu lebih jamaah yang masih berharap berangkat ke Tanah Suci.
"Yang melaporkan itu 1.250 orang, tapi yang masih yakin dan berharap berangkat sekitar 30 ribu jemaah," kata dia. "Kalau dari pihak kepolisian kan menghitungnya dari uang. Tapi kalau kami dari data manifes."
Deski mengatakan, kliennya yang kini telah berstatus tersangka masih memiliki nawaitu untuk memberangkatkan puluhan ribu calon jemaah ke Tanah Suci. Sebab, mereka menganggap kewajiban ini sebagai utang yang harus dipenuhi. "Menurut Andika, ini utang dunia akhirat." (kd)