MK Putuskan Perempuan Boleh Jadi Gubernur Yogyakarta

Mahkamah Konstitusi membuat keputusan yang akan berdampak pada suksesi kepemimpinan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 31 Agu 2017, 16:06 WIB
Diterbitkan 31 Agu 2017, 16:06 WIB
Ketua MK Jadi Pembicara dalam CEO Gathering APINDO-Jakarta-Angga Yuniar-20170227
Ketua MK Arief Hidayat saat menjadi pembicara dalam acara CEO Gathering APINDO di Jakarta, Senin (27/2). Dialog tersebut membahas peran MK dalam menjamin kepastian hukum di Indonesia dan implikasinya dalam dunia usaha. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini diajukan oleh sebelas orang warga Yogyakarta dari berbagai profesi, antara lain abdi dalem Keraton Ngayogyakarta, perangkat desa, pegiat antidiskriminasi hak asasi perempuan, serta aktivis perempuan Komnas Perempuan 1998.

"Mengabulkan permohon para pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat, dalam pengadilan MK, Jakarta, Kamis (31/8/2017).

Adapun yang dipermasalahkan dalam perkara yang teregistrasi Nomor Perkara 88/PUU-XIV/2016 itu, adalah adanya syarat cagub dan cawagub Yogyakarta dalam Pasal 18 ayat (1) huruf M, harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.

Kata "istri" dalam aturan tersebut dinilai diskriminatif karena seolah memberikan syarat bahwa raja di Yogyakarta harus laki-laki.

"Menyatakan   frasa   'yang  memuat,   antara   lain   riwayat   pendidikan,  pekerjaan, saudara kandung,  istri,  dan  anak' dalam  Pasal  18 ayat  (1)  huruf  M  Undang-Undang Nomor 13  Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," jelas Arief.

Karena itu, MK memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

 

Saksikan Video Menarik Di Bawah Ini:

Pertimbangan Hakim

Dalam pertimbangannya, Hakim mengatakan, pembatasan terhadap pihak-pihak yang disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf M, bukan didasari oleh maksud untuk memenuhi tuntutan yang adil yang didasarkan atas pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, maupun ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.

Sebaliknya, masih kata hakim, justru untuk memenuhi tuntutan yang adil dalam masyarakat Indonesia yang demokratis, pembatasan demikian tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, dalam masyarakat Indonesia yang demokratis, tidak ada gagasan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ataupun ketertiban umum yang terganggu atau terlanggar jika pihak-pihak yang disebutkan dalam pasal tersebut, termasuk perempuan, menjadi calon gubernur atau calon wakil gubernur di DIY.

Terlebih, pembatasan berdasarkan kelamin tidak terdapat dalam pengisian jabatan kepala daerah di daerah-daerah lain, baik untuk jabatan kepala daerah di tingkat provinsi maupun kepala daerah di tingkat kabupaten/kota.

Lebih-lebih jika mempertimbangkan DIY sebagai daerah istimewa yang pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernurnya digantungkan pada persyaratan, siapa yang bertakhta sebagai sultan berdasarkan hukum yang berlaku di internal Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan siapa yang bertakhta sebagai Adipati, berdasarkan hukum yang berlaku di internal keraton Kadipaten Pakualaman.

"Oleh karena itu, dalil para pemohon bahwa Pasal 18 ayat (1) huruf M UU KDIY bersifat diskriminatif adalah beralasan menurut hukum," jelas Hakim Arief.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya