Liputan6.com, Jakarta - Skimming atau pencurian informasi kartu kredit atau debit dengan cara menyalin informasi yang terdapat pada strip magnetik kartu, sudah merebak sejak 2009. Dan kejahatan tersebut terus mengintai para nasabah, hingga kini.
Skalanya pun ternyata sudah begitu meluas. Di tahun 2015, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri sudah mencatat ada 1.549 kasus. Ini artinya sepertiga kasus skimming di dunia terjadi di Indonesia!
Dan, siapa sangka, ternyata pelakunya lintas negara. Penelusuran tim Liputan6.com mengungkap secara terperinci modus operandi sebuah kasus skimming yang terjadi pada Juli 2017 lalu.
Advertisement
Pelakunya adalah Ion Iabanji, yang berpaspor Moldova. Dia beraksi memasang alat skimmer di sejumlah mesin ATM di Bali. Pria 40 tahun itu berkomplot dengan rekannya, Iurie Vrabie (37), yang juga orang asing.
Baca Juga
Polisi menduga, keduanya adalah anggota sindikat kejahatan internasional, yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu sasaran operasi mereka.
Kejahatan ini terbongkar berkat laporan yang diterima Bareskrim Polri soal ada penarikan gelap dari rekening 56 nasabah di dua bank di Indonesia. Anehnya, penarikan uang tak berlangsung di dalam negeri, tapi di Amerika Serikat, Bulgaria, Meksiko, dan sejumlah negara lain.
Para nasabah yang jadi korban ramai-ramai melapor ke bank. Mereka tidak merasa menarik uang simpanan, apalagi dari luar Indonesia.
"Transaksi tersebut disanggah nasabah pemilik rekening," kata Ipda Bambang Meiriawan, penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, yang terlibat dalam penyelidikan kasus ini, kepada Liputan6.com.
Saat penyelidikan dimulai, Ipda Bambang mengungkapkan, ada sebuah surat kaleng dikirimkan kepada Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Surat tanpa identitas itu menginformasikan, ada kelompok jaringan kejahatan finansial siber asal Bulgaria sedang beroperasi di Bali. Juga disebutkan, mereka datang ke Indonesia dengan menggunakan identitas palsu dan menyamar sebagai turis. Kapolri langsung mendisposisikan surat itu ke Direktorat Siber Bareskrim Polri.
Penulis surat kaleng mencantumkan dua nomor telepon seluler. Dari situ, polisi mendapat petunjuk. Aktivitas dua nomor tersebut langsung ditelisik.
"Kami menduga, pengirim surat adalah barisan sakit hati," kata Kasubdit Siber Kombes Irwan Anwar. Aparat menduga, penulisnya adalah anak salah satu anggota sindikat yang sudah ditangkap polisi.
Berbekal hasil pelacakan nomor telepon di surat kaleng itu, penyidik menemukan jejak para pelaku, yang tak sadar ponsel mereka sudah disadap.
Polisi menguntit kawanan itu yang akan beraksi Kamis tengah malam, 3 Agustus 2017. Kali itu, lokasinya bukan di Bali, tapi di Surabaya.
Ion Iabanji dan Iurie Vrabie tak sadar, gerak-gerik mereka terus dikeker petugas. Kombes Irwan bersama tim buru sergapnya, termasuk Ipda Bambang, sudah bersiaga.
Dengan tenang, para kriminal itu masuk ke sebuah ruangan kaca di mana terdapat dua mesin ATM, di Varna Culture Hotel, Surabaya. Iabanji yang berkaos merah dan topi hitam masuk ke dalam bilik ATM. Vrabie mengawasi di luar.
Dari rekaman CCTV yang dilihat jurnalis Liputan6.com, terlihat apa yang mereka lakukan di bilik ATM berukuran 3x2 meter itu.
Iabanji berdiri cukup lama di depan mesin ATM. Dari luar, ia seperti sedang melakukan transaksi. Namun, jari-jarinya memegangi lubang tempat kartu ATM biasa dimasukkan. Rupanya, ia sedang menempelkan skimmer atau alat pencuri data.
"Di TKP, kami menemukan alat bukti skimmer," kata Ipda Bambang Meiriawan.
Selesai kedua kriminal itu beraksi, petugas langsung datang mengepung. Mereka tak berkutik, dan langsung diborgol di area parkir hotel.
"Kami juga menemukan kartu yang masih kosong. Nantinya kartu itu akan diisi data," kata Ipda Bambang.
Tonton bagaimana kedua penjahat itu memasang alat skimming di dalam mesin ATM:
Begini Mereka Menguras Kartu ATM
Saat diinterogasi petugas, Iabanji dan Vrabie hanya mau menjawab jika ditanya pakai bahasa Rumania, bahasa resmi Moldova. Melalui penerjemah, mereka mengatakan ada tiga ciri lokasi ATM yang diincar.
"Mereka memilih ATM yang mudah untuk dijarah, yang security-nya kurang, dan sering digunakan orang kaya," tutur Ipda Bambang Meiriawan.
Setelah mengintai keadaan sekitar dan yakin aman, mereka mulai memasang alat skimming. Pemasangan dilakukan malam hari. Seorang masuk ke bilik ATM, yang lain berdiri di luar bilik, berpura-pura mengantre.
Saat mulai beraksi, langkah pertama adalah memasang alat skimming ke lubang kartu ATM. Untuk ini hanya dibutuhkan bilangan detik.
Setelah skimmer berhasil dipasang, pelaku membongkar kanopi PIN pad (papan tombol pin). Papan tombol asli diganti dengan pad yang sudah dimodifikasi dengan menambahkan kamera kecil. Ini bagian yang paling sulit, sebab pelaku harus membongkar mesin dan membutuhkan waktu lebih lama.
Setelah kanopi pad baru terpasang, pelaku kemudian menginstal router di bagian belakang mesin dan disambungkan ke server ATM. Router ini akan mengirimkan data yang sudah digandakan dari kartu ATM milik korban.
Biasanya, seluruh perangkat skimmer sudah rapi terpasang dalam hitungan menit. Skimmer siap menyalin data melalui strip magnetik ATM, kamera mengintai PIN calon korban, dan router memindahkan data ke laptop pelaku di lain tempat. Semua tak tampak secara kasat mata.
Beberapa hari berselang, pelaku kembali datang ke ATM tersebut dan membongkar alat yang mereka pasang. Ratusan--bahkan ribuan--data rahasia ATM mereka gondol, lalu dikirim ke sindikat mereka di luar negeri.
Setelah data diterima, anggota komplotan di luar negeri menduplikasi data kartu ATM korban ke kartu-kartu ATM kosong yang sudah mereka siapkan. Dan... bingo! Kartu-kartu itu pun siap digunakan untuk melakukan transaksi.
Kawanan ini sengaja selalu melakukan transaksi di luar Indonesia, agar aktivitas mereka sulit dilacak.
"Jika dibelanjakan di Indonesia sangat mudah diketahui, kalau di luar negeri kita agak kesulitan mengetahui siapa yang melakukan transaksi tersebut," Bambang menjelaskan.
Dia menambahkan ini merupakan modus operandi yang umum digunakan pada banyak kasus lain yang telah ditangani Direktorat Kejahatan Siber sebelumnya.
Advertisement
Indonesia Jadi Target Utama
Selang sebulan setelah penangkapan Ion Iabanji dan Iurie Vrabie, polisi membekuk lima tersangka lain yang juga melakukan kejahatan finansial siber. Penangkapan dilakukan di Buleleng, Bali, dan Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat, pada 16 September 2017.
Lagi-lagi, pelakunya adalah warga negara asing. Di Buleleng, polisi menangkap Boris Georgiev dan Marian Bogidarof Serafinoff. Sementara di Gili Trawangan, polisi memborgol Velev Vladimir, Stanep Stanco, dan Horisop Mitko Venalinovo.
Kelimanya merupakan warga negara Bulgaria, dan diduga kuat merupakan anggota organisasi mafia internasional.
Laju pertumbuhan kejahatan finansial siber di Indonesia, diakui Bambang, terus meningkat. Kasus yang paling banyak terjadi adalah skimming. "Dari 2011 sampai 2017 ini, kejahatan skimming yang saya tangani terus meningkat."
Tren ini didorong oleh tengah menggeliatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ryan Kiryanto, Corporate Secretary Bank BNI, berpendapat banyak yang mengincar Indonesia lantaran melihat pertumbuhan ekonomi yang sedang tinggi.
Kelas menengah di Indonesia sedang tumbuh. Pertumbuhan ini berbanding lurus dengan data penggunaan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) yang dirilis Bank Indonesia.
Jumlah pengguna ATM di Indonesia mencapai 143,1 juta dengan nilai transaksi mencapai Rp 3.526 triliun per Juli 2017--diprediksi naik hingga Desember 2017. Angka ini melonjak signifikan, dari 127,7 juta dengan nilai transaksi mencapai Rp 5.623 triliun per Desember 2016.
Belum ada data yang jelas, berapa total nilai kerugian yang telah digondol para skimmer ini. Tapi silakan dicatat, bahwa satu kelompok pelaku bisa menggondol duit nasabah hingga Rp 100 juta per hari, dengan gampang. (kd)