Kisah Pahlawan Revolusi yang Bertaut Takdir dengan Saracen

Dua perwira dalam misi pembelian senjata pada 1959. Beberapa tahun kemudian takdir menyambungkan mereka dengan peristiwa itu dalam ironi.

oleh Jennar Kiansantang diperbarui 01 Okt 2017, 13:32 WIB
Diterbitkan 01 Okt 2017, 13:32 WIB
Iring-ringan jenazah Pahlawan Revolusi menuju Taman Makam Pahlawan
Iring-ringan jenazah Pahlawan Revolusi menuju Taman Makam Pahlawan. (https://dipandjaitan.blogspot.co.id)

Liputan6.com, Jakarta - Brigjen Ahmad Yani terbang ke London, Inggris. Kepergiannya suatu hari pada 1959 itu mengemban tugas penting.

Indonesia tengah berkonfrontasi dengan Belanda dalam perebutan Papua Barat. Yani, yang kala itu menjabat Deputi II Kepala Staf Angkatan Darat, ditunjuk menjadi Ketua Staf Operasi.

Ia bertanggung jawab memperkuat persenjataan, mengantisipasi kemungkinan operasi militer. Yani melakukan safari ke negara-negara Eropa, menjajaki pembelian senjata. Perjalanan itu kemudian dikenal dengan Misi Yani.

Di Inggris, ia dibantu Atase Militer KBRI Kolonel Sutojo Siswomihardjo. Yani menjalin kontak dengan Alvis Car and Engineering Company.

Dari perusahaan otomotif itu, Indonesia membeli dua jenis kendaraan lapis baja.

“Ayah saat itu Atase Militer RI di London, menyaksikan penandatanganan nota pembelian panser buatan Inggris tahun 1959,” kata Anak Sutojo, Nani Nurrachman Sutojo, dalam Kenangan Tak Terungkap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965.

Salah satu jenis kendaraan yang dibeli adalah FV603 Saracen. Panser pengangkut personel berkapasitas 11 orang ini masuk rumpun Alvis FV600.

Dengan bobot 11 ton, Saracen dipersenjatai 16 mm Rolled homogeneous armour. Mesin Rolls-Royce B80 mampu memacu panser hingga 72 Km/jam.

Panser Saracen tergolong baru pada masa itu. FV603 Saracen pertama kali diproduksi 1952.

Jasa Saracen

Nani Nurrachman Sutojo menceritakan pesanan kendaraan taktis dari Inggris baru tiba di Indonesia menjelang 1965. Tak lama kemudian, terjadilah pemberontakan PKI.

Enam jenderal diculik. Panser Saracen tampil di momen penting penumpasan Pemberontakan PKI.

Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menyerbu basis pasukan pemberontak di Halim Perdana Kusuma, 2 Oktober 1965.

Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo memimpin operasi yang dimulai sejak dini hari itu.

“Kolonel Sarwo Edhie Wibowo masuk pertigaan HEK dengan menumpang APC FV603 Saracen Kompi B Kostrad,” tulis Hendro Subroto, dalam buku Sintong Pandjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.

RPKAD bersama Batalyon 330 Kujang/Siliwangi memenangkan pertempuran. Halim berhasil direbut pagi hari pukul 06.00.

Tak jauh dari Halim, di Lubang Buaya, jenazah enam jenderal yang diculik PKI ditemukan.

Ironi Saracen

Beberapa hari setelah percobaan kudeta yang gagal itu, tepat di hari ulang tahun TNI, 5 Oktober 1965, iring-iringan militer keluar dari Aula Departemen Angkatan Darat. Sejak semalam sebelumnya, tujuh jenazah Pahlawan Revolusi disemayamkan di sana.

Selain enam jenderal, ada pula jenazah perwira Pierre Tendean yang turut ditangkap saat peristiwa penculikan. Pasukan Cakra Birawa yang menculiknya mengira Tendean adalah Jenderal Nasution.

Harian Kompas 6 Oktober 1965 menggambarkan tiga puluh truk RPKAD berjalan di depan rombongan. Konvoi bergerak ke arah Taman Makam Pahlawan, tempat tujuh Pahlawan Revolusi akan dimakamkan. Iringan berjalan tenang membelah jalanan Jakarta.

Sekitar pukul 12.30 siang mereka tiba di tujuan. Tank-tank berjejer di kanan kiri jalan menjelang Kompleks Taman Makam Pahlawan.

Formasi itu penghormatan pada iringan kereta merta yang membawa tujuh Pahlawan Revolusi.

“Para jenazah diturunkan dari kendaraan-kendaraan panser yang membawa mereka ke tempat istirahat terakhir,” tulis Harian Kompas.

Tujuh peti jenazah berbalut bendera merah putih diletakkan di atas panser yang tak lain FV603 Saracen. Jenazah Jenderal Anumerta Ahmad Yani dan Mayjen Anumerta Sutojo Siswomihardjo berada di antara tujuh jenazah Pahlawan Revolusi yang dimakamkan hari itu.

"Panser-panser ini adalah peralatan yang dibeli Bapak dalam Misi Yani,” kenang Amelia Ahmad Yani dalam buku Profil Seorang Prajurit TNI.

Di London, tahun 1959, keduanya mungkin tak menyadari tengah membeli kereta merta yang mengantarnya ke peristirahatan terakhir tujuh tahun kemudian.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya