KPK Harap Setnov Kooperatif dan Penuhi Panggilan Rabu Besok

Febri mengaku belum mendapat informasi rencana kehadiran Ketua Umum Partai Golkar itu dalam pemeriksaan KPK.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 14 Nov 2017, 13:46 WIB
Diterbitkan 14 Nov 2017, 13:46 WIB
Setya Novanto
"Kita berharap, dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu, para gembong Narkoba lain tidak akan berani datang ke Indonesia" ujar Setnov

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadwalkan pemeriksaan terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto atau Setnov sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP pada Rabu, 15 Oktober 2017.

KPK berharap Setnov bersikap kooperatif dalam panggilan perdananya sebagai tersangka tersebut.

"Kita harap yang bersangkutan mematuhi aturan hukum dan memberikan contoh yang baik sebagai pimpinan lembaga negara untuk bisa datang pada proses pemeriksaan di institusi penegak hukum, termasuk KPK," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Kuningan Jakarta Selatan, Senin 13 November 2017.

Untuk pemanggilan pada Rabu besok, kata Febri, pihaknya belum mendapat informasi rencana kehadiran Ketua Umum Partai Golkar itu dalam pemeriksaan KPK.

"Untuk panggilan Rabu belum ada info apa-apa, jadi kita harap yang bersangkutan bisa penuhi panggilan secara patut karena KPK juga cermati dan perhatikan hak yang seimbang untuk saksi dan tersangka," kata dia.

 

Saksikan vidio pilihan di bawah ini:

Diduga Rugikan Rp 2,3 Triliun

 Sebelumnya, KPK kembali menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus megakorupsi KTP elektronik (e-KTP).

Status tersebut diumumkan pada Jumat 10 November 2017, di Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan.

"Setelah proses penyelidikan dan ada bukti permulaan yang cukup, kemudian pimpinan KPK, penyelidik, penyidik, dan penuntut umum melakukan gelar perkara pada 28 Oktober KPK menerbitkan sprindik atas nama tersangka SN, sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.

KPK menerbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) pada 31 Oktober 2017. Kasus ini diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari total paket pengadaan senilai Rp 5,9 triliun.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya