Ini Alasan KPK Belum Menahan Mantan Dirut Garuda Emirsyah Satar

Menurut Priharsa, penyidik pasti mempunyai pertimbangan objektif dan subjektif soal belum ditahannya Emirsyah Satar.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Des 2017, 08:18 WIB
Diterbitkan 06 Des 2017, 08:18 WIB
Mantan Dirut Garuda, Emirsyah Satar Diperiksa Sebagai Tersangka
Emirsyah Satar memberikan keterangan pada awak media usai diperiksa KPK, Jakarta, Jumat (17/2). Emirsyah dalam perkara ini diduga menerima suap 1,2 juta euro dan 180 ribu dolar AS atau senilai total Rp20 miliar. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan sejumlah alasan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia 2005-2014 Emirsyah Satar sampai saat ini belum ditahan, meskipun yang bersangkutan telah menjadi tersangka kasus suap.

KPK sebelumnya sudah menetapkan Emirsyah Satar sebagai tersangka tindak pidana korupsi suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus S.A.S dan Rolls-Royce P.L.C di PT Garuda Indonesia pada Januari 2017.

"Kalau penahanan kan kewenangan penyidik. Kalau ditanya kenapa kan beda-beda dari setiap penanganan (kasus)," kata Kabag Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha di gedung KPK Jakarta, Selasa malam 5 Desember 2017.

Menurut Priharsa, penyidik pasti punya pertimbangan objektif dan subjektif soal belum ditahannya Emirsyah Satar tersebut.

"Pertimbangan objektif menyangkut dugaan pasal yang disangkakan itu diancam hukuman lima tahun lebih. Kalau pertimbangan subjektifnya yang bersangkutan dikhawatirkan menghilangkan bukti, mengulangi perbuatannya atau melarikan diri. Pertimbangan itu yang belum diambil oleh penyidik sampai dengan saat ini," tutur dia seperti dikutip Antara.

KPK telah menetapkan dua tersangka terkait kasus tersebut, yaitu Emirsyah Satar dan Soetikno Soedarjo yang merupakan presiden komisaris PT Mugi Rekso Abadi (MRA).

Emirsyah Satar dalam perkara ini diduga menerima suap 1,2 juta euro dan 180 ribu dolar AS atau senilai total Rp 20 miliar serta dalam bentuk barang senilai 2 juta dolar AS yang tersebar di Singapura dan Indonesia dari perusahaan manufaktur terkemuka asal Inggris, Rolls Royce dalam pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS pada periode 2005-2014 di PT Garuda Indonesia Tbk.

Pemberian suap itu dilakukan melalui seorang perantara Soetikno Soedarjo selaku beneficial owner dari Connaught International Pte Ltd yang berlokasi di Singapura.

Soektino diketahui merupakan Presiden Komisaris PT Mugi Rekso Abadi (MRA), satu kelompok perusahaan di bidang media dan gaya hidup.

Rolls Royce sendiri oleh pengadilan di Inggris berdasarkan investigasi Serious Fraud Office (SFO) Inggris sudah dikenai denda 671 juta pound sterling (sekitar Rp 11 triliun). Itu karena mereka melakukan praktik suap di beberapa negara, antara lain Malaysia, Thailand, Tiongkok, Brasil, Kazakhstan, Azerbaizan, Irak, dan Anggola.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Rekening dan Aset

KPK awalnya menerima laporan dari SFO dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura yang sedang menginvestigasi suap Rolls Royce di beberapa negara, SFO dan CPIB pun mengonfirmasi hal itu ke KPK termasuk memberikan sejumlah alat bukti.

KPK melalui CPIB dan SFO juga sudah membekukan sejumlah rekening dan menyita aset Emirsyah yang berada di luar negeri.

Emirsyah disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Sedangkan Soetikno Soedarjo diduga sebagai pemberi disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya