HEADLINE: Pidana untuk Jurnalis hingga Kids Zaman Now Pengkritik DPR?

Ancaman pidana terhadap mereka yang dianggap menghina DPR tercantum dalam revisi UU MD3. Seberapa menakutkan?

oleh Nanda Perdana PutraAnendya Niervana diperbarui 15 Feb 2018, 00:03 WIB
Diterbitkan 15 Feb 2018, 00:03 WIB
DPR Sahkan Revisi Undang-Undang MD3
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laolly setelah menyerahkan pandangan akhir pemerintah soal RUU MD3 kepada Ketua DPR Bambang Soesatyo di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Mereka yang dianggap menghina diancam pidana, semua warga negara wajib datang jika dipanggil, pemeriksaan anggota dewan harus dengan persetujuan presiden -- para anggota DPR RI dianggap sedang memperkuat posisi diri mereka sendiri.

Upaya tersebut dilakukan lewat revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD atau sering disebut UU MD3. 

"Revisi itu membuat DPR terkesan sebagai lembaga superpower," kata Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur kepada Liputan6.com, Rabu (14/2/2018).

Salah satu yang jadi sorotan adalah ancaman pidana terhadap mereka yang dianggap menghina dewan. Aturan itu tertuang dalam Pasal 122 huruf k yang berbunyi, "MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR."

Banyak yang melayangkan keberatan. Pasal itu dianggap membungkam kritik rakyat -- yang sejatinya memilih para anggota dewan. Bahkan, tak sedikit yang menganggap, aturan itu berpotensi jadi pasal karet. 

UU MD3 terlanjur sah oleh tiga ketukan palu Ketua DPR Bambang Soesatyo, Senin 12 Februari 2018. Meski demikian, masih ada celah untuk menganulirnya. 

Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar mengatakan, pihaknya akan segera mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Pasti (gugat ke MK) kalau memang itu yang diinginkan DPR, pasti masyarakat sipil akan menggugat," ucap Zainal, kepada Liputan6.com, Rabu (14/2/2018) malam. 

Menurut dia, hak imunitas anggota DPR bertentangan dengan konstitusi, terutama pada Pasal 122 huruf k yang mengarah ke dugaan bahwa DPR antikritik.

Padahal menurutnya, masyarakat boleh mengajukan kritik kepada DPR sebagaimana kritik kepada pemerintah.

Zainal mengatakan, ada banyak pihak yang akan terlibat dalam rencana ini seperti aktivis, akademisi, serta beberapa NGO sehingga diperlukan diskusi lebih lanjut. Namun demikian, dia mengatakan pihaknya tidak akan tergesa-gesa membawa UU itu ke MK.  Alasannya, dia masih ragu dengan kredibilitas MK.

Zainal menganggap, MK selama ini terbukti terlibat dalam kepentingan politik sehingga proses pengujian terhadap konstitusi tidak berjalan secara objektif. 

"Keadaan MK tidak terlalu preferable karena kejadian di MK selama ini tidak menunjukkan proses hukum, tapi proses politik," ungkap Zainal. 

Apalagi, saat ini belum ada nomor yang tercantum pada undang-undang tersebut. UU MD3 yang disahkan DPR belum bisa digugat.

Infografis Pidana Pengkritik DPR
Infografis Pidana Pengkritik DPR

Apa Kriteria Merendahkan DPR?

DPR Sahkan Revisi Undang-Undang MD3
Suasana Rapat Paripurna Pengesahan RUU MD3 menjadi UU di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2). Rapat Paripurna DPR resmi mengesahkan RUU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD menjadi Undang Undang. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Saat dihubungi Liputan6.com, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas menyatakan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait dengan disahkannya UU MD3. DPR menurut dia hanya berupaya membuat prosedur berjalan secara tertib.

"Sama halnya kalau sampeyan merasa dicemarkan nama baiknya, nunjuk lawyer kan? Gitu saja. Apakah nanti lawyer-nya hanya sekadar melapor atau melakukan pendampingan, dan seterusnya itu terserah pihaknya," kata Supratman saat dihubungi Rabu (14/2/2018) malam.

Menurut Supratman, pidana terhadap pengkritik tak dilakukan perorangan anggota dewan, tapi lewat Majelis Kehormatan Dewan(MKD), yang mengambil langkah hukum mewakili lembaga DPR maupun anggota DPR apabila terjadi sebuah pencemaran nama baik.

Itu pun, kata dia, akan diuji dulu apakah memang memenuhi unsur penghinaan atau tidak.

"Hanya bertindak mewakili lembaga untuk melaporkan. Kan aturan pidananya sudah ada," jelas dia.

Supratman tak setuju bahwa aturan tersebut adalah upaya DPR untuk membungkam kritik. Apalagi jika disebut pasal karet. 

"Pasal 122 huruf k ada nggak ancaman pidananya? Jadi apanya yang ditakutkan," kata dia.

Menurut politikus Partai Gerindra itu, soal pencemaran nama baik sudah diatur di KUHP pidana. Unsur dan aturan di KUHP menurutnya sudah sangat jelas.

"Cuma kalau terjadi seperti unsur yang diatur dengan KUHP, berarti nanti yang akan melaporkan karena itu kan delik ya aduan," kata dia. 

Lantas, apa kriteria seseorang atau lembaga dianggap menghina DPR? 

Sebelumnya, politikus Gerindra tersebut mengungkapkan, DPR memang harus dikritik supaya lebih baik. Namun kritikan tersebut tak boleh memberikan stigma berlebihan, yang tidak sesuai dengan harkat dan etika norma orang timur.

Seperti halnya, diamenambahkan, menyamakan seseorang dengan hewan atau yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada.

"Itu yang tidak boleh, bagaimana penjabaran lebih lanjut itu nanti akan diatur dalam tata tertib kita yang akan dibahas dalam Baleg dalam waktu dekat," papar dia.

Secara terpisah, Wakil Ketua Baleg, Firman Soebagyo mengatakan, yang dimaksud penghinaan misalnya, jika ada seorang anggota melakukan kejahatan, namun stigma koruptor dilekatkan pada DPR RI sebagai lembaga. 

"Katakanlah ada satu yang berbuat kejahatan, jangan lembaganya dicap koruptor," kata dia.

Kids Zaman Now Terancam Jadi Korban?

DPR Sahkan Revisi Undang-Undang MD3
Menkumham Yasonna Laolly menyerahkan pandangan akhir pemerintah soal RUU MD3 kepada Wakil Ketua DPR Fadli Zon saat Rapat Paripurna Pengesahan RUU MD3 menjadi UU, Jakarta, Senin (12/2). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sejumlah pihak dianggap rentan terhadap pasal penghinaan DPR. Salah satunya adalah para jurnalis. 

"Kalau (pemberitaan) dianggap merendahkan (anggota DPR), maka potensi yang pertama kena adalah teman-teman jurnalis," kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur.

Menurutnya, selama ini para jurnalis sering kali memulai berita yang berisi kritikan terhadap anggota dewan. Jika kritik tersebut dianggap sebagai penghinaan kepada DPR, MKD bisa melaporkan jurnalis itu kepada pihak Kepolisian.

"Dengan pasal seperti ini (Pasal 122 huruf k) ada anggota dewan yang merasa direndahkan namanya direndahkan martabatnya dengan tulisan jurnalis, dia (anggota DPR) bisa meminta MKD untuk menindaklanjuti. Bisa gugatan perdata, pidana, bisa somasi," jelas Isnur.

Isnur menilai UUD MD3 merupakan upaya DPR untuk menghindari kritik tajam dari masyarakat.

"(Pasal 122 huruf k) Ini akan memakan banyak korban apalagi di tengah-tengah pengguna sosial yang sangat banyak," ucapnya.

Sementara, Komisaris Perkumpulan Warga Muda, Wildanshah menilai keberadaan UU MD3 membonsai daya kritis anak muda atau kids zaman now dalam berdemokrasi dan berpolitik.

Menurut dia, seharusnya DPR semakin terbuka dan mampu melihat tren anak muda yang mulai marak terlibat dan berani menyikapi isu politik dengan kreativitasnya,

"Ini menunjukan demokrasi Indonesia sudah naik level, kenapa kritik malah dibonsai, zaman telah berubah, otoritarian sudah ketinggalan zaman," ucap Wildanshah.

Wildanshah menambahkan, seharusnya para anggota DPR RI sadar saat melihat perubahan perilaku politik anak muda generasi milenial saat ini.

Menurut dia, tipe generasi muda saat ini cenderung menyampaikan aspirasi dengan cara yang menyenangkan.

"Karena generasi ini bisa membuat politik tidak berjarak dengan masyarakat. Kreativitas anak muda membuat parody,meme, komik, lagu, lelucon ternyata benar-benar dapat menggerakan kesadaran politik bangsa Indonesia," ujar dia.

Wildanshah juga mengingatkan, jika UU MD3 tidak digugat, maka DPR berhasil membawa masa lalu politik Indonesia yang kelam ke masa depan momentum bonus demografi.

"Butuh waktu 32 tahun bangsa Indonesia melepaskan diri dari orde baru. Mana mungkin anak muda rela demokrasi kembali dicengkram oligarki dan tirani. Anak muda butuh masa depan, bukan masa lalu," tegas Wildanshah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya