HEADLINE: Merajut Harmoni, 18 Tahun Imlek Bebas Dirayakan di Indonesia

Sudah 18 tahun Imlek bebas dirayakan di Indonesia. Perayaan Tahun Baru China menjadi momentum merayakan keberagaman bangsa.

oleh Muhammad AliDevira PrastiwiFernando PurbaAnendya Niervana diperbarui 16 Feb 2018, 00:03 WIB
Diterbitkan 16 Feb 2018, 00:03 WIB
5.000 Lampion Hiasi Solo Sambut Imlek
Sebanyak 5.000 lampion dipasang di kawasan Pasar Gede, Solo untuk memeriahkan Imlek 2569.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Liputan6.com, Jakarta - Kelenteng Hok Lay Kiong di Jalan Kenari I, Margahayu, Kota Bekasi, Jawa Barat semarak jelang perayaan Imlek atau Tahun Baru China 2565 yang jatuh pada Jumat 16 Februari 2018.

Warga keturunan Tionghoa terlihat sibuk, hilir mudik dari satu patung dewa ke patung lainnya. Niangao atau kue keranjang yang legit dipersembahkan. Lilin-lilin besar dan ornamen dipasang, semuanya merah -- warna yang mewakili kegembiraan sekaligus pengharapan bahwa kesedihan dan kegelapan akan sirna berganti kebahagian.

Semarak Imlek tak hanya terlihat di kelenteng-kelenteng. Perayaan budaya itu dirayakan warga keturunan Tionghoa dari berbagai latar belakang dan agama. 

Imlek menjadi momentum ketika keluarga besar berkumpul dalam suka cita, makan bersama, dan tentu saja bagi-bagi angpao. Pertunjukan liong dan barongsai, pesta kembang api, serta bunyi petasan yang semarak membuat masyarakat awam ikut larut dalam kegembiraan.

Namun, bukan selamanya perayaan tahun baru China di Indonesia berlangsung meriah. 

Baru pada tahun 2000, di bawah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur warga keturunan Tionghoa bebas merayakan Imlek. Sebelumnya, selama 31 tahun, tahun baru China dirayakan secara diam-diam, di ruangan tertutup, tanpa hingar bingar. 

Peneliti Budaya China dari Universitas Indonesia, Agni Malagina mengatakan, sejarah mencatat, perayaan Imlek di Tanah Air semarak dan dilakukan di luar ruangan, bahkan sejak Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Kemeriahan tersebut terekam dalam surat kabar yang beredar pada masa kolonial.

"Sejak era Belanda, sekitar tahun 1901, surat kabar Melayu Tionghoa yang terbit seperti Perniagaan, Warna-Warni, menggambarkan kota-kota besar merayakan Imlek," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Kamis sore (15/2/2018).

Seiring perkembangan politik di Indonesia, dari kolonial ke republik, gegap gempita perayaan Imlek yang tercatat dalam surat kabar pun menurun intensitasnya. Tapi, bukan lantaran diskriminasi. Namun terkait orientasi yang variatif dari masyarakat Tionghoa di Nusantara kala itu

"Ada tiga kategorinya. Mereka berorientasi kebaratan-baratan, orientasi ke China Daratan yaitu Tiongkok, dan orientasi ke Republik atau Nusantara. Ini yang mempengaruhi kegiatan Imlek saat itu," jelas Agni Malagina.

Pindah ke zaman Orde Baru, ada peraturan yang melarang perayaan Imlek berlangsung di tempat umum. Regulasi itu tertuang dalam Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Larangan ini tak lepas dari sengkarut politik di Tanah Air, setelah peristiwa G30S. Orde Baru khawatir, keturunan Tionghoa akan menyebarkan paham komunis di Indonesia. Pada masa Sukarno, Indonesia berkawan karib dengan Beijing, sementara pada masa Orde Baru hubungan itu diputus.

Pada tahun 1966, Ketua Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa, Kristoforus Sindhunata alias Ong Tjong Hay memilih istilah China dari pada Tionghoa. Sindhunata juga mengusulkan pelarangan total terhadap perayaan kebudayaan Tionghoa.

Namun, Soeharto kala itu menilai usulan Sindhunata itu berlebihan. Penguasa Orde Baru itu tetap mengizinkan perayaan kebudayaan Tionghoa, namun secara tertutup.

"Sebenarnya tidak 100% tidak boleh. Perayaan tetap boleh tapi tidak boleh hingar bingar di publik. Perayaan Imlek dilakukan secara privat, di rumah bersama keluarga maupun di kelenteng," ujar Agni.

Andil Gus Dur dan Mega

5.000 Lampion Hiasi Solo Sambut Imlek
Sebanyak 5.000 lampion dipasang di kawasan Pasar Gede, Solo untuk memeriahkan Imlek 2569.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Setelah Soeharto lengser pada 1998, era reformasi bergulir. Pucuk pimpinan negeri berpindah kepada BJ Habibie. Selama 17 bulan memimpin Indonesia, Bapak Teknologi Indonesia itu menyerahkan kursi presiden kepada Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Di tangan cucu pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari ini, sejumlah perubahan dilakukan. Salah satu momen penting adalah dengan mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 dan diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000.

Keputusan tersebut banyak menuai penolakan dari sejumlah pihak. Alasan penolakan itu karena sejumlah pihak khawatir, komunisme kembali hidup di Indonesia.

Namun, bagi mantan Ketua Umum PBNU itu, Imlek dan tradisi barongsai merupakan bagian dari kebudayaan Nusantara.

Jika dikelola dengan baik dan benar, hal itu justru dapat menjadi sarana menyebarkan nilai-nilai kebaikan, seperti yang dilakukan oleh para Wali Songo dalam menyebarkan Islam di Indonesia, melalui wayang.

Bagi Gus Dur, seperti diceritakan sang putri Yenny Wahid, yang dikutip dari gusdur.net, etnis Tionghoa dan juga budaya mereka, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan bangsa Indonesia.

Melalui etnis Tionghoa, Islam bisa tersebar ke Nusantara bersama pedagang India. Terbukti dengan adanya keturunan Tionghoa yang masuk dalam jajaran Wali Songo, penyebar Islam di Nusantara.

Kemudian pada 19 Januari 2001, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.

Dan pada Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan bahwa mulai 2003, Imlek menjadi Hari Libur Nasional. Mega mengembalikan aturan yang pernah diterapkan sang ayah, Sukarno.

Momentum Merajut Damai

Atraksi Barongsai dan Liong dalam Air Siap Pukau Pengunjung Ancol Saat Imlek
Seorang wanita berenang di antara barongsai dalam pertunjukan bertajuk The Battle of Yin Yang di Aquarium Utama Seaworld Ancol, Jakarta, Senin (12/2). Atraksi ini akan berlangsung pada 16-18 Februari. (Liputan6.com/Arya Manggala)

Perayaan Tahun Baru China 2565 atau Imlek yang jatuh pada Jumat ini disambut gembira warga keturunan Tionghoa yang ada di Indonesia. Tak terkecuali Bendahara Umum Fraksi Umum PDIP Alex Indra Lukman.

Nada gembira begitu kentara terdengar saat Liputan6.com berbincang melalui sambungan telepon, Kamis malam. Dalam perbincangan, Alex menuturkan kegiatannya bersama keluarga saat merayakan Imlek.

"Saling berkunjung mempererat silaturahim antar-anggota keluarga, tetangga, dan kawan-kawan," ujar Alex, Kamis malam 15 Februari 2018.

Menurut Alex, perayaan Imlek merupakan tradisi budaya Tionghoa, salah satu dari 714 suku yang ada di Nusantara.

"Sejak era reformasi menjadi salah satu hari libur nasional mengingatkan kita keragaman Indonesia akan agama dan budaya. Kebinekaan-lah yang membuat Indonesia itu ada, tanpa Bhinneka bukanlah Indonesia lagi," papar Alex.

Banyak harapan yang disampaikan dalam perayaan Imlek. Selain mendoakan kondisi negara yang semakin baik, mereka menyimpan asa agar keamanan dapat terus terjaga.

"Kita tentu berharap setiap perayaan apapun di Republik ini bisa dilaksanakan dengan aman, meriah, dan penuh kegembiraan. Karena lewat perayaan yang meriah akan terjadi interaksi sosial dan transaksi ekonomi," tutup Alex Indra Lukman.

Sementara, Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno, yang merupakan keturunan Tionghoa asli Indonesia memiliki cara tersendiri dalam merayakan Imlek.

"Semua saya rayakan sebagai nasionalis pluralis. (Imlek) kita rayakan bersama-sama dengan konstituen," kata Hendrawan.

Dihubungi terpisah, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Muhammadiyah Amin menilai, perayaan Imlek di Indonesia merupakan gambaran dari masyarakatnya yang majemuk dari agama maupun suku. Perayaan masing-masing umat tersebut sangat dihargai.

"Kita ingin memperkuat kekayaan keindonesiaan kita dengan memberi kesempatan kepada mereka. Tidak ada pertentangan ini, ingat 'bagiku agamaku, bagimu agamamu'," kata Amin saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Kamis malam (15/2/2018).

Karena itu, lanjut dia, Dirjen Bimas Islam Kemenag menyampaikan selamat kepada mereka yang merayakan Imlek. Ia berharap perayaan tersebut akan berlangsung dengan damai dan aman.

Hal senada juga disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD.

Dalam akun twitternya, Mahfud MD menyatakan bahwa Imlek bukan upacara agama.

Momen itu merupakan hitungan tahun China yang sudah 2569 tahun, jauh lebih tua dari penanggalan Hijriyah Islam yang baru 1439 tahun atau tahun Masehi yang baru 2018 tahun.

"Jadi ini harus kita hormati sebagai salah satu petanda peradaban manusia yang sudah tua," tulis dia dalam @mohmahfudmd.

"Sama dengan mengucapkan Selamat Tahun Baru 2018, Insyaallah tidak ada larangan dalam Islam untuk sekadar mengucapkan Gong Xi Fat Cai, selamat tahun baru 2569. Mari bangun kedamaian," tulis Mahfud.

 

Selamat Tahun Baru China 2565 bagi yang merayakan. Gong Xi Fat Cai.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya