Bahasa Indonesia yang Terlupakan di Sekolah Internasional Jakarta

Di Hari Bahasa Ibu Internasional, ternyata tak semua sekolah di Tanah Air menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.

oleh Ezri Tri Suro diperbarui 21 Feb 2018, 15:24 WIB
Diterbitkan 21 Feb 2018, 15:24 WIB
Hari Bahasa Ibu Internasional
Hari Bahasa Ibu Internasional dirayakan setiap tahun pada tanggal 21 Februari.

Liputan6.com, Jakarta Meski telah diatur dalam undang-undang, ternyata tak semua sekolah di Tanah Air menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Salah satunya adalah sekolah berstandar internasional yang menggunakan bahasa asing dalam pengantar pembelajaran.

Bahasa pertama siswa-siswa di kebanyakan sekolah internasional tersebut pun bahasa asing (Inggris, Mandarin, dsb). Mereka ternyata juga tidak mampu dan kesulitan berbahasa Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh Dr Liliana Muliastuti, MPd, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta.

“Saya menjumpai fenomena tersebut pada satu sekolah Satuan Pendidikan Kerja Sama (sekolah berstandar internasional)  di Jakarta. Tujuh puluh persen siswa di sekolah dasar tersebut adalah WNI (warga negara Indonesia), sisanya berstatus WNA (warga negara asing). Namun, 70 persen siswa WNI tersebut ternyata tidak mampu atau kesulitan berbahasa Indonesia,” ujar Ketua Afiliasi Pengajar dan Pegiat BIPA (APPBIPA) 2015-2019 ini, Selasa (20/2/2018).

Liliana menambahkan, di rumah, para siswa sekolah internasional tersebut terbiasa berkomunikasi dengan bahasa asing (bahasa pertama mereka). Bagi mereka, bahasa Indonesia justru menjadi bahasa kedua.

Bahasa Asing sebagai Bahasa Pengantar di Sekolah

Hari Bahasa Ibu Internasional
Hari Bahasa Ibu Internasional, Rabu (21/2). (Instagram/badanbahasakemendikbud)

Hal senada diungkapkan oleh guru bahasa Indonesia salah satu sekolah berstandar internasional di Jakarta, Dini Kumala. Menurut pengamatannya, siswa-siswa di tempatnya mengajar lebih sering menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia dalam keseharian mereka. Penggunaan bahasa asing ini termasuk kepada teman, guru, dan orangtua.

“Rata-rata mereka bicara bahasa Indonesia hanya di kelas bahasa Indonesia, komunikasi dengan sopir dan asisten rumah tangga mereka. Saya hanya sesekali mendengar percakapan bahasa Indonesia dalam obrolan mereka, tapi itu jarang,” kata guru kelas 8 dan 9 mata pelajaran Language Acquisition Bahasa Indonesia ini.

Awalnya, Dini mengaku cukup kaget melihat kondisi itu. Hal ini berhubung dia berasal dari latar belakang pendidikan sekolah nasional. Menurutnya, setiap sekolah punya budaya berbeda dan dia pun cepat beradaptasi pada hal tersebut.

Sebagai guru bahasa Indonesia, ia semakin tertantang karena mayoritas siswanya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama dan kurikulum sekolah internasional mengharuskan bahasa asing dalam pengajaran. Ia pun memiliki aturan sendiri untuk wajib menggunakan bahasa Indonesia di kelas bahasa kepada siswa.

Dini Kumala juga melihat anak-anak didiknya dapat belajar bahasa Indonesia dengan cukup baik. Para murid antusias dan menilai belajar bahasa Indonesia adalah penting, meski ada yang beranggapan sebaliknya.

“Tapi ada saja di sekolah ini, dua banding 100 anak yang menyepelekan bahasa Indonesia, bahkan orang tuanya pun menganggap tidak terlalu penting, hmmm agak miris memang,”  ujar alumnus salah satu universitas di Jakarta itu.

 

Diatur Undang-Undang

Para siswa mengejrjakan soal UAS di SD Negeri 4 Rendang, Karangasem, Bali, Rabu (29/11). Meskipun status Gunung Agung sudah menjadi awas, para siswa tetap masuk sekolah dengan mengenakan masker. (Liputan6.com/Andi Jatmiko)

Sekolah standar internasional atau disebut Satuan Pendidikan Kerja Sama memang mayoritas pengajarannya menggunakan bahasa Inggris sesuai kurikulum internasional. Namun, di Indonesia, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan sebetulnya sudah diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang No 20/2003 Sisdiknas.

Hal ini pun mendapat perhatian dari Badan Bahasa. Kepala Bidang Pelindungan Badan Bahasa Dr Ganjar Harimansyah saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (25/10/2017), mengatakan, sekolah-sekolah internasional di Indonesia yang pakai bahasa asing sebagai bahasa pengantar perlu baca undang-undang tersebut. 

Undang-undang tersebut menyatakan “bahasa Indonesia sebagai bahasa negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. Poin ketiga, bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.”

“Belum lagi kalau melihat UU 24/2009 dan PP 57/2014. Jika model sekolah ini masih dan ditiru sekolah lain, hal ini bukan lagi ancaman bagi bahasa Indonesia, tapi juga menjadi petaka,” ungkap Ganjar, seperti dilansir Liputan6.com.

Liliana menambahkan, jika bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara saja sudah didudukkan pada tempat yang tidak tepat, apalagi dengan bahasa daerah.

“Dampaknya adalah siswa tidak memiliki keterikatan psikologis terhadap bahasa Indonesia. Jika fenomena ini dibiarkan, mereka akan tumbuh menjadi WNI yang ‘abai’ terhadap bahasanya sendiri,” Liliana memungkasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya