Liputan6.com, Jakarta - Sidang peninjauan kembali (PK) yang diajukan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, segera digelar. Dia mengajukan PK dengan dasar putusan Buni Yani, terdakwa kasus ITE terkait video pidato Ahok di Kepulauan Seribu.
Pengacara Buni Yani, Aldwin Rahadian, berpendapat putusan kliennya tak bisa dijadikan dasar PK Ahok atas kasus penistaan agama.
Dia mengatakan putusan Buni Yani belum berkekuatan hukum tetap.
Advertisement
"Putusan Buni Yani ini masih dalam tahapan upaya hukum, dan belum berkekuatan hukum tetap sehingga belum bisa digunakan sebagai rujukan," ujar Aldwin saat dikonfirmasi Liputan6.com, Jakarta, Kamis (22/2/2018).
Menurut dia, pihaknya tengah berencana mengajukan kasasi atas putusan banding kasus Buni Yani. Pada pengadilan tingkat pertama, Buni Yani divonis 1,5 tahun oleh Pengadilan Negeri Bandung.
Buni Yani divonis bersalah melanggar Pasal 32 ayat 1 UU ITE tentang Pemotongan Video.
Dia juga mengatakan kasus hukum Buni Yani tak ada kaitannya dengan perkara penistaan agama yang menjerat Ahok.
"Perkara ini terkait tuduhan Buni Yani mengupload durasi pendek video milik Pemprov DKI tanpa seizin Pemprov DKI. Bukan terkait ujaran kebencian. Dan seharusnya MA menolak PK Ahok yang tanpa proses banding serta kasasi," kata Aldwin.
Sebut Hakim Khilaf
Pengacara Ahok, Josefina Agatha Syukur, mengungkapkan salah satu alasan pengajuan PK. Ia menuding majelis hakim khilaf mengambil keputusan. Namun, Josefina enggan membeberkan secara rinci unsur kekhilafan hakim.
"Kekhilafan banyak macamnya. Cuma saya enggak hafal," ujar dia.
Dia mengutarakan, kuasa hukum sudah membahas sejak lama PK ini. Ditambah lagi, penyusunan draft tidaklah mudah. Maka dari itu, ia menolak anggapan bahwa PK ini merupakan strategi Ahok.
Kuasa hukum berharap PK dapat mengubah keputusan hakim dan Ahok dibebaskan dan rehabilitasi atas nama baiknya.
"Harapannya PK dikabulkan. Pak Ahok bebas dan direhabilitasi namanya," tutur Josefina.
Advertisement