Beda KPK - Polri Usut Korupsi Calon Kepala Daerah di Pilkada 2018

Polri menyerukan agar penegakan hukum yang menyeret calon kepala daerah pada Pilkada 2018 ditunda.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 14 Mar 2018, 12:18 WIB
Diterbitkan 14 Mar 2018, 12:18 WIB
20160819-Kapolri Temui Pimpinan dan Penyidik KPK
Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian (kiri) di dampingi Ketua KPK Agus Rahardjo keluar dari Gedung KPK, (19/8). Kunjungan ke KPK ini dalam rangka untuk mempererat hubungan sekaligus kerja sama antarlembaga. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Polri menyerukan agar penegakan hukum yang menyeret calon kepala daerah pada Pilkada 2018 ditunda. Polri berdalih, hal itu dilakukan untuk menjaga demokrasi dan stabilitas negara.

Usulan Polri tampaknya diamini lembaga penegak hukum lainnya, yakni Kejaksaan Agung. Namun, tidak dengan KPK. Berbeda dengan KPK, Lembaga antirasuah itu tetap memproses calon kepala daerah yang terindikasi korupsi.

Bahkan dalam waktu dekat ini, KPK bakal mengumumkan calon kepala daerah petahana yang tersandung kasus korupsi. Namun, KPK tak menyebut ada berapa calon kepala daerah dan dari mana saja yang terindikasi korupsi.

"Ada beberapa yang sekarang running di pilkada itu terindikasi sangat kuat, mereka melakukan korupsi di waktu-waktu yang lalu," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo saat ditemui di Ancol, Jakarta Utara, Selasa, 6 Maret 2018.

Sikap KPK itu menuai polemik. Bahkan pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto turun tangan. Wiranto menyarankan agar KPK menunda proses hukum kandidat yang bertarung di Pilkada 2018.

Wiranto memastikan, sikapnya tersebut hanya bersifat imbauan. Tidak ada paksaan atau intervensi pemerintah terhadap KPK dalam penegakan hukum.

"Kalau kemudian enggak mau silakan saja, namanya bukan pemaksaan," ucap Wiranto, Selasa 13 Maret 2018.

Benar saja, KPK menolak saran Wiranto. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyatakan, lembaganya tetap memproses hukum calon kepala daerah yang terindikasi korupsi.

Bahkan, Saut menyarankan agar pemerintah sebaiknya menyiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait pergantian calon kepala daerah yang terindikasi terlibat tindak pidana korupsi.

"Daripada harus menghentikan proses hukum yang sudah memiliki bukti cukup pada peristiwa pidananya," ujar Saut kemarin.

Pengumuman calon kepala daerah yang menjadi tersangka dugaan korupsi tetap akan dilakukan dalam waktu dekat ini. Apalagi KPK sudah memiliki alat bukti cukup untuk menjerat mereka.

Terlebih, indeks persepsi korupsi (IPK) di Tanah Air terbilang diam di tempat. Indonesia memiliki IPK 37 dari nilai tertinggi 100.

 

5 Calon Kepala Daerah Tersangka Korupsi

Mahasiswa Desak KPK Segera Tahan Gubernur Jambi Zumi Zola
Seorang demonstran menggunakan topeng dan payung saat berunjuk rasa di depan Gedung KPK, Jakarta, Jumat (9/3). Demonstran mendesak KPK menahan Gubernur Jambi Zumi Zola karena sudah ditetapkan sebagai tersangka suap. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Setidaknya sudah ada lima calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Rata-rata, mereka mendapatkan "rompi oranye" KPK melalui operasi tangkap tangan

Pertama, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko. Politikus Golkar itu ditangkap karena diduga terlibat dalam kasus suap perizinan dan pengurusan jabatan di Kabupaten Jombang pada Sabtu, 3 Februari 2018.

Selang beberapa minggu kemudian, lembaga antirasuah tersebut menangkap Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur, Marianus Sae. ‎Dia ditangkap terkait suap sejumlah proyek di wilayahnya.

Nyono dan Marianus diduga melakukan korupsi untuk maju di Pilkada 2018. Nyono kembali maju di Pilbup Jombang. Sementara Marianus maju sebagai Calon Gubernur NTT.

Bukan hanya itu, KPK juga menangkap Bupati Subang Imas Aryumningsih. Politikus Partai Golkar itu diduga menerima suap terkait pengurusan perizinan proyek di wilayahnya.

Imas juga sudah terdaftar di KPUD sebagai calon bupati petahana yang akan maju di Pilbup Subang didampingi oleh Sutarno sebagai wakilnya. Pasangan tersebut sudah mendapatkan nomor urut dua dan diusung koalisi Partai Golkar dan PKB.

Selanjutnya, ada Bupati Lampung Tengah Mustafa yang juga ditangkap tangan KPK. Dia diduga terlibat kasus dugaan suap pemulusan persetujuan pinjaman daerah APBD Lampung Tengah tahun anggaran 2018. Dia tetap berambisi menangi Pilgub Lampung meski berstatus tersangka.

Terbaru, KPK menangkap Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan ayahnya, Asrun, terkait dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Kendari. Asrun yang pernah menjabat sebagai Wali Kota Kendari selama dua periode ini bakal maju sebagai cagub Sulawesi Tenggara.

Adriatma diduga meminta uang suap Rp 2,8 miliar untuk kepentingan kampanye sang ayah, Asrun yang mengikuti kontestasi Pilkada 2018 ini.

Sikap Polri

Polri Tahan PNS Batam Pemilik Rekening Gendut Rp 1,3 T
Ilustrasi rekening gendut. (Liputan6.com)

Polri menegaskan sikapnya tetap menunda  penegakan hukum yang menyeret calon kepala daerah pada Pilkada 2018 ini. Hal itu, diklaim Polri, untuk meredam situasi yang semakin panas pada tahun politik kali ini.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto memastikan, perkara pidana yang menyeret calon kepala daerah tidak dihentikan. Hanya saja, pengusutannya ditunda hingga tahapan Pilkada Serentak 2018 usai.

"Artinya kita berharap pilkada bisa berlangsung dulu, kalau memang dia nanti ada kasus silakan diproses (setelah Pilkada). Itu penekanan Kapolri," ujar Setyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa kemarin.

Sikap ini sesuai dengan arahan Kapolri Jenderal Tito Karnavian beberapa waktu lalu. Tito menginstruksikan jajarannya agar menghentikan sementara penanganan perkara pidana calon kepala daerah hingga tahapan pilkada usai.

Kecuali calon kepala daerah itu terjerat kasus melalui operasi tangkap tangan (OTT). Oleh karena itu, penyidikan harus tetap dilanjutkan.

Langkah ini dilakukan Polri untuk menjaga iklim pesta demokrasi tetap sejuk dan dilakukan untuk mencegah aksi saling jegal dengan meminjam tangan penegak hukum.

Terkait sikap KPK yang tetap memproses hukum calon kepala daerah, Polri tak mau ikut campur. Apalagi tidak ada aturan baku atau nota kesepakatan antarlembaga penegak hukum terkait penundaan penanganan kasus calon kepala daerah selama proses pilkada berlangsung.

"Kami kan menyarankan. Karena kita lebih memilih situasi yang lebih kondusiflah, lebih tenang," ucap Setyo.

Bukan kali ini saja Polri menunda proses hukum calon kepala daerah. Kebijakan penundaan proses hukum tersebut mengacu pada Peraturan Kapolri Nomor SE/7/VI/2014 yang dirilis diera kepemimpinan Jenderal Purnawirawan Badrodin Haiti.

Kecuali penanganan kasus dugaan penodaan agama yang menyeret Gubernur DKI Jakarta kala itu, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Polri tetap memproses hukum Ahok hingga tuntas untuk mencegah kegaduhan dan ancaman stabilitas keamanan negara.

Polri bersikap profesional pada Pilkada DKI 2017. Polri juga mengusut kasus dugaan korupsi pembangunan Masjid Al Fauz yang menyeret calon wakil gubernur DKI Sylviana Murni.

Polri juga mengusut kasus dugaan penggelapan jual beli sebidang tanah di kawasan Tangerang yang menyeret Sandiaga Uno saat masih menjadi calon wakil gubernur DKI. Namun, hingga kini kasus tersebut belum tuntas.

 

Kasus Calon Kepala Daerah di Polri

20171116-ilustrasi-jakarta-korupsi
Ilustrasi Korupsi. (Liputan6.com/Rita Ayuningtyas)

Polri sendiri setidaknya menangani tiga calon kepala daerah yang tersandung masalah hukum. Di antara, calon gubernur NTT, Viktor Laiskodat. Dia dilaporkan ke Bareskrim Polri atas dugaan ujaran kebencian dan permusuhan pada Agustus 2017 lalu.

Bukan hanya itu, calon gubernur Papua, Lukas Enembe, juga tersangkut kasus yang ditangani Polri. Terakhir Lukas memenuhi panggilan penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri sebagai saksi pada September 2017.

Selanjutnya, calon gubernur Kalimantan Timur Syaharie Jaang juga sempat diperiksa sebagai saksi kasus dugaan pungli di Pelabuhan Samarinda.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya