Liputan6.com, Jakarta - Macet terlanjur jadi masalah abadi Jakarta. Berbagai jurus sudah dilancarkan. Pada era Gubernur Sutiyoso, misalnya, Pemprov DKI memberlakukan sistem 3 in 1 di jalan-jalan protokol.
Bukannya lancar, jalanan justru kian macet, terutama di pintu-pintu masuk jalan protokol. Para joki, tua, muda, hingga bocah bau kencur menyemut, berebut menawarkan jasa, jadi penumpang bayaran dengan imbalan ceban atau Rp 10 ribu hingga Rp 35 ribu -- plus "bayi sewaan".
Mobil-mobil pun banyak diparkir sembarangan di pinggir jalan, menanti jam 3 in 1 berakhir.Â
Advertisement
Aturan warisan era Gubernur Sutiyoso kemudian berakhir pada Selasa 16 Mei 2016 di tangan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Ahok kemudian menggantinya dengan aturan ganjil genap. Pemprov juga memberlakukan larangan sepeda motor melintas di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Namun, keputusan tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Solusi kian sempit. Kini, harapan mengurangi macet Jakarta bertumpu pada Electronic Road Pricing (ERP) alias jalan berbayar.Â
ERP sejatinya wacana lama, sejak Jokowi masih jadi Gubernur DKI Jakarta. Tiang sensor ERP juga sudah pernah dipasang di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat.
Namun, belakangan wacana jalan berbayar itu kembali muncul, meski agak "belok". Kini yang sedang heboh justru soal kabar mobil masuk Jakarta harus bayar.
Isu pun berkembang liar hingga soal wacana "balas dendam" daerah: mobil Jakarta juga harus bayar saat masuk wilayah lain.Â
Saat ditelusuri, isu tersebut muncul dari pernyataan Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono, kepada sejumlah wartawan, pada Jumat 23 Maret 2018.
Kala itu ia menilai, aturan ganjil genap hanya solusi jangka pendek. Bambang berharap, Pemprov DKI jadi memberlakukan jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) di pintu masuk Ibu Kota. Misalnya, mobil dari Bekasi masuk Jakarta langsung kena tarif.Â
Namun, tak hanya mobil dari luar kota yang harus bayar. Aturan juga akan diberlakukan untuk kendaraan plat B.Â
Aturan ini, dia yakini, akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi karena pengendara harus mengeluarkan biaya ekstra. Apalagi, masalah transportasi di Ibu Kota semakin kompleks karena melibatkan mobilitas mobil dari wilayah lain, terutama daerah penyangga Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Data BPTJ menyebut, pada 2018, ada 50 juta pergerakan di Jakarta. Dan meski angkutan umum telah diperbanyak, masyarakat masih memilih kendaraan pribadi.
Saat dihubungi, Senin (26/3/2018) malam, Bambang mengatakan, wacana ERP di pintu masuk Jakarta bukan gagasan baru.Â
"Iya, sepertinya ada salah interpretasi. Saya juga meminta maaf ketika penjelasan saya kurang jelas, sehingga menimbulkan interpretasi lain," kata Bambang soal isu mobil masuk Jakarta harus bayar, kepada Liputan6.com.
Sebelumnya, saat dikonfirmasi para pewarta, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengaku baru mendengar soal wacana mobil masuk Jakarta harus bayar.
Dia mengaku akan mempelajarinya terlebih dahulu. "Saya pelajari dulu," kata Anies, Jakarta, Senin 26 Maret 2018. Menurut dia, aturan ERP di gerbang Ibu Kota baru wacana.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah mengaku belum bisa berbicara banyak soal wacana tersebut. Dia mengatakan, wacana itu harus dibicarakan secara menyeluruh.
"Kan harus dibicarakan secara komprehensif. Tidak hanya untuk kepentingan DKI, tapi juga kepentingan pemerintah penyangga," ujar Andri.
Tak Perlu Dag Dig Dug
Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia, Djoko Setijowarno, mengatakan masyarakat tidak perlu dag dig dug dengan usulan itu. Sebab, tanpa disadari, masyarakat memang sudah membayar ketika masuk ke Ibu Kota.
"Sekarang kan enggak usah rush hour juga, masuk Jakarta bayar kan? Dari Bekasi, Tangerang, Bogor masuk Jakarta kan bayar mereka? Apa gratis?" kata Djoko ketika dihubungi Liputan6.com. Pembayaran itu, menurut dia, kini berupa uang tol.Â
Namun, biaya masuk ini tetap tidak membuat masyarakat beralih ke transportasi umum. "Wong sudah bayar tol, mahal lagi, ya diam saja macet itu kan," ujar Djoko.
Oleh karena itu, Djoko mengaku setuju dengan penerapan ERP di Jakarta, bahkan dari pintu masuk kota yang jadi jantung Indonesia tersebut.
Namun, dia menambahkan, pemerintah harus memperbaiki sistem transportasi umum sebelum memberlakukan ERP. Kendaraan umum harus menjangkau hingga ke perumahan-perumahan. Jika tidak, masyarakat enggan beralih ke transportasi umum.
"Contoh Bekasi. Bekasi ke Jakarta itu, setelah diterapkan ganjil genap, ya terpaksa orang mengikuti kan. Tapi apa yang terjadi? Sebagian orang Bekasi tidak mau mengikuti kebijakan itu. Ketika di situ disediakan bus premium, nyaman, mau enggak pindah? Sedikit kan? Coba busnya itu taruh di setiap semua kawasan perumahan, saya yakin mereka akan berpindah," tutur Djoko.
Menurut dia, tidak ada masalah jika wacana ini digelontorkan di tengah "ketenangan" pemerintah Ibu Kota menghadapi kemacetan.Â
Heboh soal wacana mobil masuk Jakarta harus bayar justru berguna sebagai pengingat di tengah kesibukan Anies-Sandi mengurusi masalah Jatibaru, Tanah Abang, ataupun becak listrik.
"Tapi sayangnya Jakarta tampaknya adem ayem gitu kan. Mungkin pusing dia ngurusin Jatibaru, becak listrik itu kan, enggak signifikan. Mestinya ini porsi Jakarta. Akhirnya sekarang orang jadi mengenal BPTJ kan? Sederhana itu. Jadi itu sama dengan LRT. Enggak apa-apa, jadi justru kalau sekarang diwacanakan biar warga Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) siap tidak kagetan. Setuju saya," kata Djoko.
Advertisement
Ramalan Macet Jakarta Vs Solusi Anies-Sandi
Kemacetan di Jakarta sudah mendunia. Berdasarkan survei Boston Consulting Group (BCG), yang bekerja sama dengan Uber, ibukota Indonesia ada di posisi dua terparah di Asia Tenggara.
Riset tersebut dilakukan pada 9.000 responden di sembilan kota besar Asia pada akhir 2017 lalu.
Rata-rata pengendara terjebak macet di Jakarta adalah 68 menit, selisih empat menit di bawah Bangkok, Thailand yang ada di posisi puncak.
Belum sampai di situ, pengemudi kendaraan di Jakarta butuh sekitar 21 menit untuk mencari tempat parkir.
Jakarta bahkan butuh area parkir sebesar 24 ribu kali lapangan sepak bola untuk menampung semua mobilnya, demikian dilaporkan BCG dalam laporan survei berjudul, Unlocking Cities: The impact of ridesharing in Southeast Asia and beyond.
Kesimpulannya, Jakarta diprediksi akan mengalami macet total pada 2022. Dan itu tinggal empat tahun lagi!
Padahal saat ini saja, macet tak hanya terjadi di pusat kota, tapi menjalar hingga ke gang-gang sempit. Ibarat baru keluar rumah sudah dihadang kendaraan yang mengular.
Lantas, apa yang akan dilakukan pemerintah untuk mengatasi macet Jakarta?
Dalam kampanyenya, pasangan Anies Baswedan dan Sandiaha Uno menyampaikan 23 janji.
Namun, hanya 2 yang terkait dengan penyelesaian macet Jakarta. Yakni, pada poin ke-9 dan 13.
Janji kesembilan berbunyi, "Meningkatkan Realisasi Rencana Program (daya serap anggaran) untuk memperluas cakupan dan efektivitas program-program penanggulangan banjir dan kemacetan, rehabilitasi dan pemeliharaan lingkungan hidup serta pengelolaan sampah."
Sementara, janji nomor 13 berbunyi, "Membangun sistem transportasi umum yang terintegrasi dalam bentuk interkoneksi antarmoda, perbaikan model manajemen layanan transportasi umum, perluasan daya jangkau transportasi hingga menjangkau seluruh warga, pengintegrasian sistem transportasi umum dengan pusat-pusat pemukiman, pusat aktivitas publik, dan moda transportasi publik dari luar Jakarta."
Sandi bahkan pernah mewacanakan moratorium mobil mewah yang harganya mencapai Rp 3 miliar dalam kampanyenya.
"Kan keren banget kalau pengusaha-pengusaha top dalam 3 hari, misalnya dalam sebulan berpindah ke kendaraan umum. Dengan sebuah gerakan yang 'it's cool, it's sexy' buat naik kendaraan umum," kata dia pada Desember 2016.
Belakangan, Sandi menyatakan akan segera menerapkan jalan berbayar elektronik (Electronic Road Pricing/ERP) pada 2019.
"Kami berprinsip penerapan ERP itu adalah Maret 2019, setelah memfungsikan LRT (light rapid transit). Jadi nanti saya cek sama Pak Bambang dari BPTJ," kata Sandiaga di Kebayoran, Jakarta Selatan, Sabtu (24/3/2018).
Sandi tak memungkiri, kemacetan di Jakarta memang disumbang mobil dari luar Jakarta. Menurut datanya, tingkatan populasinya mencapai 50 persen.
"Jadi data kita hampir setengah kendaraan di Jakarta itu dari luar dan melintas di Jakarta. Ini nanti bisa kita tata lebih baik ke depan. Makanya kebijakan ini (ERP) adalah bersama pemerintah pusat dan Pemprov DKI," jelas Sandiaga.