Liputan6.com, Jakarta - Sikap intoleransi agama semakin menguat di Indonesia belakangan ini. Berdasarkan laporan Setara Institute, sepanjang 2017 terdapat 155 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di 29 provinsi di Indonesia.
Sikap intoleransi juga terjadi pada awal Februari tahun ini. Setidaknya terjadi tiga pelanggaran yang cukup serius terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Ketiga pelanggaran itu di antaranya, pembubaran kegiatan bakti sosial Gereja Katolik St Paulus Pringgplayan, Bantul, Yogyakarta, pengusiran seorang biksu di Tangerang, Banten, dan penyerangan di Gereja Katolik St Lidwina, Trihanggo, Sleman.
Advertisement
Pelanggaran atas kebebasan beragama tersebut dilakukan kelompok yang berpaham radikal, dan sebagian besar pelakunya adalah para pemuda.
Pengamat terorisme, Sofyan Tsauri mengatakan, masalah radikalisme sangat berkaitan dengan situasi global saat ini. Dan beberapa kasus terorisme atau berpaham radikalisme di Indonesia tidak muncul secara tiba-tiba, tapi merupakan efek dari situasi global.
Dia mencontohkan kondisi yang dialaminya. Sofyan mengaku terpapar paham radikal yang kemudian membuatnya benci dengan situasi dan kondisi di Indonesia dan juga global.
"Tahun 2005 saya mulai ikut kegiatan sar'i dan syariat Islam, kemudian disersi dari kepolisian dan di PTDH," kata Sofyan di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, Selasa (27/3/2018).
Â
Â
Mengatasi Paham Radikal
Agar terhindar dari paham radikal, Sofyan mengimbau para pemuda yang sedang mencari jati diri agar hati-hati bergaul.
Sementara itu, Antropolog Tobat Phil Suratno menuturkan, aksi terorisme umumnya terjadi karena adanya faktor prasituasi dan kondisi, ideologi, dan faktor kekerasan politik.
Untuk mencegah hal ini, Suratno mengusulkan untuk melakukan rekonsiliasi tokoh, pemerintah, dan ulama.
"Karena ada hak-hak muslim yang belum terakomodir atau terabaikan. LSM dan Pemerintah perlu memberi pencerahan lewat media, kepolisian melalui revolusi mental atau pendidikan karakter," tandas Suratno.
Advertisement