Liputan6.com, Jakarta Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher Parasong mengakui pengawasan Kementerian Agama kepada biro perjalanan umrah atau travel nakal telah dilakukan, tapi tidak maksimal.
“Pengawasan ada tapi tidak maksimal. Indikatornya, travel-travel tidak dipanggil, mestinya ada evaluasi bertahap. Evaluasi bisa dilakukan 6 bulan atau setahun sekali. Izin juga ada batas waktunya dan dilakukan pengawasan, travel yang baik bisa dipertahankan, yang tidak baik dievaluasi dan yang buruk bisa dilakukan pencabutan izin,” tandasnya dalam perbincangan dengan pers, Senin (02/4/2018) sore di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Baca Juga
Menurut politikus PAN ini, selama ini Komisi VIII tidak pernah melihat pengawasan kepada biro perjalanan umrah bermasalah tersebut, maka dewan selau memberi saran dan rekomendasi agar Kemenag proaktif.
Advertisement
Dalam berbagai kasus umrah nakal ini, masyarakat tidak bisa disalahkan, karena sulit medapatkan akses. Karena itu Kemenag perlu melakukan sosialisasi, mana travel yang baik dan bermasalah. Dalam kaitan ini peran aparat Kemenag di daerah, termasuk KUA, turut melakukan sosialisasi mana travel bermasalah dan tidak, sehingga masyarakat bisa memutuskan pilihan terbaik.
Komisi VIII, ucap Ali Taher, sudah menawarkan solusi bahwa yang sudah dapat dan memenuhi kewajiban harus diberangkatkan. Lalu yang belum berangkat, maka hak-haknya dikembalikan, baik uang yang disetor dan dokumennya supaya rasa nyaman bagi masyarakat.
“Lalu alternatif terakhir, travel yang bermasalah terus dan tak ada solusi maka diusulkan dicabut ijinnya. Ini jauh lebih penting,” tegasnya.
Ada satu lagi yang perlu dikejar, menurut Ali Taher, adanya pembiaran oleh travel nakal meski sudah diekspor besar-besaran.
“Ini perlu dikejar, supaya ada rasa nyaman di masyarakat bahwa pembinaan, pengawasan dan monitoring adalah tugas pemerintah. Itu juga sebagai tanda hadirnya negara dalam melayani masyarakat,” katanya mengingatkaan.
Lebih lanjut politikus dapil Banten II ini menjelaskan, Komisi VIII saat raker dengan Kemenag meminta supaya segera dilakukan sosialasi Peraturan Menteri Agama (PMA) No.8/2018 tentang penyelenggaraan umrah.
Umrah harus ada kepastian berangkat, setelah pendaftaran maka paling lama 6 bulan harus berangkat. Untuk kepentingan keberangkatan, maka jemaah harus sudah menerima hak-haknya, yang paling pokok adalah kepastian visanya, tiket PP, dan akomdasi selama di Makah-Madinah.
Misalnya waktu umrah selama 9 hari, harus dipenuhi hak-haknya apa yang diperoleh dan itu perlu standar minimum biaya, yaitu Rp 20 juta. Intinya DPR minta pemerintah membuat standar pelayanan minimum antara Rp 20-Rp 26 juta tergantung zonanisasi yang berbeda antara di Jawa dan Indonesia Timur.
Dengan kepastian itu, dewan mencoba bisa meminimalisir travel nakal, sebab umumnya melakukan pembiaran. Dari jumlah sekitar 950 travel hanya sebagian kecil yang memberikan standar pelayanan memenuhi persyaratan, selebihnya bermasalah.
“Kepada travel bermasalah ini, kita minta Kemenag melakukan pengawasan, sekaligus verifikasi terhadap trave-travel agar memenuhi kewajibannya bisa menyelenggarakan umrah berkualitas, sehingga kenyamanan dan ketertiban jemaah bisa terpenuhi,” pungkas Ali Taher.
(*)