Liputan6.com, Jakarta - Komisi IX DPR berencana memanggil pihak-pihak terkait mengenai kabar pemecatan Kepala RSPAD Gatot Soebroto dokter Terawan Agus Putranto pada Senin, 9 April 2018. Pemanggilan untuk mengantisipasi polemik yang berkepanjangan.
"Senin saya akan panggil pihak terkait IDI, MKEK, RSPAD, Terawan, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). KKI akan menyatakan sebetulnya gimana mendudukkan masalah ini," kata Ketua Komisi XI DPR Dede Yusuf di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (5/4/2018).
Tak hanya itu, dia menyebut DPR mencoba menengahi mengenai masalah tersebut. Dengan begitu, masyarakat ataupun pasiennya mendapatkan informasi yang gamblang mengenai kode etik yang seharusnya dilakukan serta solusinya.
Advertisement
"Kami menghormati keputusan majelis untuk beri teguran tetapi ada sisi lain dari sudut pandang masyarakat. Kami mewakili masyarakat, kalau masyarakat butuh metode itu akan kami beri solusi," papar dia.
Karena ha itu, Dede membutuhkan data-data pasien yang pernah ditangani oleh dokter Terawan selama ini. Sehingga dapat membandingkan jumlah pasien yang sembuh dan tidak.
"Saya butuh data, berapa pasien yang sembuh atau tidak. Ini untuk membuktikan metode itu berhasil atau tidak, kalau sudah dari 2006 ini sudah launching, kita tetap memberikan ruang kepada majelis," jelas Dede.
Sementara itu, Mayjen TNI dokter Terawan Agus Putranto mengaku sedih dengan beredarnya berita yang menyatakan bahwa Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (MKEK PB IDI) memberinya sanksi diberhentikan dari keanggotaan, terkait praktik Digital Substraction Angiography (DSA) atau metode cuci otak yang dia lakukan.
Pernyataan ini disampaikan dokter Terawan dalam pertemuannya dengan anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia yang melakukan sidak ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, pada Rabu, 4 April 2018.
"Sungguh kami merasa terhibur dan merasa dikuatkan. Karena sejujurnya, hati saya merasa sedih dan pilu karena rasanya, saya ingin bekerja yang terbaik untuk bangsa dan masyarakat," kata dokter Terawan.
Terawan mengungkapkan belum ada surat dari IDI yang dia terima. Selain itu, dia tidak mengerti masalah apa yang membuatnya melanggar etika kedokteran.
"Kami jadi bingung. Dikatakan tidak ilmiah, tidak evidence based. Kalau syaratnya terpublikasi di jurnal, kita malah di jurnal internasional," tambah dokter Terawan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Sanksi Dokter Terawan
Sebelumnya, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) memberikan sanksi kepada Kepala RSPAD Gatot Subroto Dokter Terawan Agus Putranto. Surat putusan sanksi Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) terhadap dokter cuci otak ini sempat beredar di media sosial pada Selasa, 3 April 2018.
Surat yang ditandatangani Ketua MKEK Pusat Prijo Sidipratomo itu berisi putusan terkait dugaan pelanggaran etik kedokteran berat yang telah dilakukan dokter Terawan.
MKEK menduga, dokter yang identik dengan terapi brain washing melalui metode diagnostik Digital Substraction Angiography (DSA) itu sudah berlebihan dalam mengiklankan diri. Menurut MKEK, tidak sepatutnya dokter Terawan mengklaim tindakan cuci otak itu sebagai tindakan pengobatan (kuratif) dan pencegahan (preventif) stroke iskemik.
Alasan lain yang memperkuat MKEK menjatuhkan sanksi itu karena dokter Terawan melakukan dugaan menarik bayaran dengan nominal yang tidak sedikit. Selain itu, menurut MKEK, janji-janji dokter Terawan akan kesembuhan setelah menjalankan tindakan cuci otak (brain washing). Padahal, terapi tersebut belum ada bukti ilmiah atau Evidence Based (EBM).
Sementara itu, IDI menyatakan belum melakukan pemecatan terhadap dokter Terawan.
"Masalah urusan memecat (dokter Terawan) dari PB IDI masih panjang," kata Mariya Mubarika dari Tim Advokasi Legislatif IDI melalui pesan WhatsApp kepada Health Liputan6.com, ditulis Kamis (5/4/2018).
Sebagai tindak lanjut, IDI juga akan mengundang dokter Terawan untuk melakukan pembelaan atau sanggahan. Hal tersebut dikemukakan Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Ilham Oetama Marsis.
Advertisement